Oleh Mufti Wibowo
Dia adalah seorang guru di sebuah sekolah menengah swasta di Purwokerto, Banyumas, sebuah kota yang dikenal dengan dua hal, bahasa Jawa dialek penginyongan (eufemisme dari ngapak) dan kuliner mendoannya. Sebagaimana seorang guru, tugasnya tidak sesulit yang dikerjakan Bandung Bodowoso untuk memenuhi permintaan Rara Jonggrang dalam folkror masyhur itu, tetapi bukan juga sejenis pekerjaan sia-sia dan bodoh yang dilakukan perempuan Ji’ranah yang disebut dalam kitab suci Muslim—mengurai benang yang sudah dipintal.
Setelah sekian purnama hanya bisa bertatap muka secara virtual karena pandemi, di pertengahan semester gasal (September 2021), ia dapat kembali bertatap muka dengan anak-anak didiknya di sekolah. Betapapun tatap muka itu masih terbatas 50 persen, ia gembira. Kegembiraan itu datang dari sesuatu kesadaran yang dipungutnya dari memori jangka menengah mengenai peristiwa kecil dan sederhana di dalam kelas, perjumpaan secara fisik. Kegembiraan yang sesungguhnya menjelaskan betapa letihnya mental karena menghadapi hambatan-hambatan teknis dalam pembelajaran daring.
Di kelas 9, dia harus mengajarkan tema cerpen. Tentu saja materi itu berkaitan dengan materi teks narasi (baca: cerita fantasi dan fabel) yang telah dipelajari pada tingkat sebelumnya. Pada akhir materi, dia mewajibkan anak didiknya untuk menulis cerpen sebagai nilai keterampilan. Ketika pertama kali menyampaian rencana belajar proyek itu, ia mendapat reaksi yang normal dari mereka tak punya habit membaca yang baik—semacam kecemasan yang melanda anak-anak burung emprit ketika pertama kalinya meninggalkan sarang induknya untuk belajar terbang. Saya melihat sorot mata mereka yang mendadak redup saat itu juga.
- Iklan -
Saya tahu mereka sedang membayangkan sesuatu yang sangat pelik akan menghadang. Menentukan tokoh, latar, hingga alur. Merumuskan sudut pandang dan menerapkan kalimat bermajas bukan perkara sederhana pasti. Sulit? Tentu. Mustahil? Tidak. Mengapa? Setelah menjeda pembicaraan, seolah memberi kesempatan mereka berselancar dengan asumsi-asumsi, guru itu melanjutkan diskusi.
“Pernah nonton film?”
Sebagian menjawab, “Suka.” Sebagian lagi hanya mengangguk. Paling sedikit tak bereaksi, tapi tatapan mereka fokus pada sang guru.
“Film apa yang kalian tonton?”
“Anime, drakor, (sineteron) azab, …” begitu jawaban abege-abege itu secara acak.
“Bagaimana kalau kalian menulis cerpen berdasarkan cerita film?”
Sorot mata yang tadi sempat redup mulai kembali berbinar.
“Upin Ipin boleh?”
“Totoro boleh?”
Pertanyaan-pertanyaan itu berlompatan dengan nada semangat dan penuh pencerahan.
Guru itu mengangguk. Kalau novel saja banyak yang difilmkan seperti Laskar Pelangi, Dilan 1990, Bumi Manusia, dsb tentu saja mencerpenkan film pun bisa dong(?)
“Boleh pengalaman pribadi?” seorang menimpali dengan wajah seserius Soekarno dalam sidang Dokuritsu Junbi Iinkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
“Boleh saja, tapi dengan sudut pandang orang ketiga,” jawab guru itu sedingin Park Seo Joon.
Setelah itu, mereka merancang pengerjaan proyek menulis cerpen, mulai dari menonton film hingga tahap penyuntingan dan presentasi.
Sebulan kemudian, projek itu selesai dengan kesimpulan sebagian anak—untuk tidak mengatakan semuanya—terjebak pada pengutipan data yang diperoleh dari sumber bebas di internet tanpa upaya serius pengolahan data. Sebagian yang lain tampak serius menggarap dengan ketekunan yang membuat saya terkesan dan bangga. Tentu saja tolok ukur yang saya pakai menyesuaikan level kognitif dan kebahaan usia mereka. Film-film yang dicerpenkan didominasi produksi asing, terutama Korea untuk drama, serat Jepang dan Amerika untuk genre anime.
Pengalaman itu memberi pelajaran berharga pada guru itu bahwa membaca tidak menjadi kebiasaan utama anak-anak kita. Pada saat yang sama, kanal-kanal yang memasok informasi bagi mereka justru lebih banyak dalam format audio visual, kita bisa menyebut media sosial intagram, youtube, hingga tiktok. Kita bisa membayangkan figur otoritatif di sekolah dan rumah telah menemukan saingan serius. Sebagai kontra narasi fenomena itu, sang guru menampilkan cerpen-cerpen terpilih karya anak-anak itu di website sekolah. Lebih dari itu, karya itu dijadikan sumber belajar alternatif.
Budaya populer ala Korea terasa begitu lekat dengan anak-anak remaja hari ini, terutama perempuan. Mulai dari kegemaran menonton drama Korea, membaca fiksi Alternate Universe di aplikasi wattpad atau twitter, atau boy group dan girl group musik, sebagai misal demam BTS masih terngiang di ingatan kolektif kita. Maka, jangan heran kalau mereka semua lebih mengidolakan artis Korea dari pada altet peraih medali emas di Olimpiade Tokyo lalu, lebih mengenal biografi artis korea daripada pahlawan nasionalnya. Identifikasi terhadap idola mereka itu dapat dilacak dari hal sederhan macam foto profil akun WA.
Tak melulu anak-anak, rekan profesi guru itu ternyata adalah juga pecinta-aktif K-Pop. Menurut pengakuan mereka yang menggumuli K-Pop sejak usia remaja awal K-Pop dipandang sebagai realitas virtual yang diidealkan. Dalam wacana posmo, kritik terhadap modernitas salah satunya adalah kegagalan manusia untuk mampu dalam membedakan realitas nyata dangan realitas virtual. Bahayanya adalah mereka menganggap kedua hal itu sama saja. Penggunaan istilah “K-Pop” dalam tulisan ini dimaksudkan untuk menyebut segala bentuk budaya populer dalam industri hiburan Korea dengan watak konsumtif.
Tentu saja tidak ada salahnya dari menggemari budaya asing, semacam K-Pop. Kawan seperofesi guru itu adalah contoh yang baik. Lebih dari sekadar mengidolai artis secara personal, ia mempelajari budaya Korea dalam konteks yang lebih umum sekaligus mendalam. Ia mempelajari bahasa Korea. Bukankah orang Jawa mengatakan bahasa adalah pakaian sebuah bangsa? Dengan mempelajari bahasa asing, seseorang sesungguhnya sedang menganali jati diri suatu bangsa, dengan begitu akan muncul sikap menghargai budaya sendiri. Dalam beberapa hal, menurut kawan guru itu, ada kesamaan dalam bahasa Jawa dan bahasa Korea, yaitu honorifik.
Pandemi covid-19 yang konon berasal dari Tiongkok dan K-Pop yang meranjingi remaja kita hari ini seolah mengafirmasi apa yang disebut oleh Harari dalam bukunya Lesson 21 bahwa kita adalah masyarakat yang memiliki DNA global, sesuatu yang menuntut karakter universal sekakigus watak multikultural. Dengan begitu guru itu merasa cukup lega, setidaknya dia tak sekecewa Bandung Bondowoso alih-alih memberi kebebasan memilih kepada anak-anak itu untuk mempelajari apa, dari sumber apa, hingga metode yang sesuai dengan karakter mereka. Sesuatu yang diinspirasi dari konsep homo puppy dalam buku ilmiah populer Humankind itu.
-Mufti Wibowo, lahir dan berdomisili di Purbalingga.