Oleh: Mohammad Sholihul Wafi
Pengajar PP. Shirotul Fuqoha’ Kudus
Kita semua sepakat, pendidikan memiliki kedudukan penting bagi kehidupan manusia. Banyak orangtua menitipkan masa depan cerah anak-anak mereka melalui institusi-institusi pendidikan. Hanya saja, perlu dipahami, pendidikan tidak hanya mencetak manusia pintar agar mudah meraih kesuksesan. Pendidikan pada dasarnya dikembangkan untuk membangun karakter. Membantu dan memberdayakan peserta didik untuk membangun kekuatan bersama, memupuk kohesi, dan solidaritas atas dasar komitmen pada tujuan dan pengertian yang sama, untuk memecahkan persoalan yang dihadapi guna menciptakan kesejahteraan bersama. Pendidikan hadir untuk menciptakan kaum-kaum beradab agar dapat urun rembug dalam membangun bangsa dan negara.
Hanya saja, masih terjadinya kekerasan dan tindakan intoleran di institusi-institusi pendidikan, menunjukkan bahwa karakter beradab dan toleran sesungguhnya belum benar-benar mengakar di lembaga pendidikan. Memang, kurikulum nasional sudah dirancang untuk membangun karakter siswa, namun maraknya kekerasan yang terjadi di lingkungan pelajar menunjukkan bahwa pendidikan karakter untuk membangun toleransi masih gagal diaplikasikan. Tak ayal, marak terjadi aksi tawuran antarpelajar. Dalam kasus pembunuhan pelajar di Jogja dalam aksi klithih misalnya, pembunuhan dilakukan oleh pelajar-pelajar sekolah menengah. Ironi. Pelajar yang seyogyanya harusnya sibuk meraih cita-cita, justru terlibat aksi kriminal. Maka itu, sungguh, pendidikan harus ambil peran dalam membangun pendidikan karakter untuk mencipta generasi toleran dan dapat memanusiakan sesama.
- Iklan -
Di lembaga pendidikan, semestinya terjadi proses pemanusiaan manusia muda —dalam arti proses hominisasi (proses menjadikan seseorang sebagai manusia), dan proses humanisasi (proses pengembangan kemanusiaan manusia). Ini dalam rangka mendapatkan output pendidikan sebagaimana dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003: memiliki karakter pribadi yang berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Proses ini dilakukan dengan cara mentransformasikan nilai-nilai, norma, ajaran agama, dan berbagai hal yang ideal kepada siswa. Dimana semua proses tersebut didesain dalam proses pembelajaran yang akomodatif, sehingga siswa dapat belajar serta mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar menjadi manusia dan mempelajari secara lebih jauh tentang makna hidup dan kehidupan. Agar, mereka tidak hanya memperoleh pengetahuan, namun dapat bersikap arif dalam kehidupan yang mereka jalani. Dan ini, hanya dapat dilakukan jika terdapat pembelajaran berbasis nilai-nilai hidup (living value) dalam desain pendidikan yang inklusif – menerapkan prinsip kesetaraan dan keterbukaan.
Masalahnya, acapkali guru lebih sering memperhatikan perihal kompetensi-kompetensi dasar yang bersifat kognitif daripada aspek afektif dan motorik. Padahal, dua aspek tersebut (afektif dan motorik) juga sama penting untuk dikembangkan agar dapat mendidik karakter positif siswa. Dapat menanamkan nilai antikekerasan, toleran dan kebinekaan. Maka itu, pimpinan sekolah dan stakeholders yang peduli terhadap pendidikan di Indonesia harus berupaya mengembalikan guru dan sekolah sebagai pilar utama pendidikan toleransi di sekolah.
Pertama, menciptakan lingkungan sekolah yang inklusif. Membiasakan siswa dengan beragam perbedaan baik di ruang-ruang kelas ataupun di luar ruang kelas. Ini dalam rangka mempersiapkan karakter toleran yang penting dalam menghadapi pergaulan di luar sekolah. Sehingga, kelak mereka tidak terkejut menghadapi perbedaan dan perselisihan pendapat. Tidak mudah emosi. Berkepala dingin. Mereka bisa memahami fitrah kebinnekaan masyarakat Indonesia. Sebaliknya, apabila mereka dibiasakan dengan praktik pendidikan yang eksklusif, niscaya lingkungan itu justru menanamkan karakter intoleran, mudah marah dan suka berselisih.
Kedua, pendidik bukan hanya terfokus pada target materi kognitif. Hal ini karena pengetahuan mudah saja dipelajari siswa melalui internet atau smartphone yang sangat akrab dalam dunia mereka saat ini. Artinya, dalam rencana pembelajaran yang mereka buat, harus memuat bagaimana menanamkan karakter-karakter baik termasuk nilai-nilai toleransi dalam ruang-ruang kelas. Tanpa itu, pembelajaran kelas yang hanya fokus kognitif, hanya akan menciptakan budaya kompetitif yang berlebihan di ruang kelas. Bahkan, bisa saja demi menjatuhkan temannya, ia bisa melakukan segala macam cara. Sungguh ini sangat tidak diharapkan.
Kedua, revitalisasi peran sentral guru sebagai sosok yang harus digugu lan ditiru. Dalam konteks ini, Ki Hajar Dewantara merincikan dalam trilogi-nya dalam membangun Taman Siswa yang sangat dikenal dalam dunia pendidikan: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. (Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat dan di belakang memberikan daya kekuatan). Itulah sebenarnya peran penting guru di sekolah, yang tidak dapat digantikan oleh kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) saat ini.
Hanya saja, meskipun guru memegang peran sentral dalam terlaksanya pendidikan toleransi di sekolah, tetap saja harus ada sinergitas yang optimal oleh berbagai pihak untuk mencetak generasi bangsa yang berkualitas dan berkarakter baik. Sebab, tugas mendidik yang utuh bukan hanya kewajiban institusi pendidikan, tapi juga menjadi tanggung jawab orangtua dan lingkungan sekitar tempat tinggal siswa. Ketika semua sudah saling bekerja sama menciptakan lingkungan yang kondusif untuk perbedaan, niscaya kita telah mendidik generasi bangsa yang toleran dan nantinya senantiasa menjaga keharmonisan relasi sosial. Wallahu a’lam.