Oleh Saidun Fiddaraini
Bagi seseorang yang pernah mengenyam pendidikan di lembaga pesantren, istilah kitab kuning tentu sudah tak asing lagi di telinga. Pasalnya, kitab kuning memperoleh posisi cukup strategis di pesantren. Selain karena menjadi prioritas utama dalam proses pembelajaran, juga sebagai ciri khas yang dapat membedakan antara pendidikan pesantren dengan pendidikan Islam lainnya (non-pesantren). Walaupun, belakangan sudah ada sebagian lembaga formal yang mulai tertarik untuk mengkaji dan mendalami kitab kuning, namun masih jauh dari model pengkajian pesantren dikarenakan keterbatasan waktu dan bukan prioritas utama dalam pembelajaran.
Sementara itu, di pesantren kitab kuning tak sekadar menjadi bahan bacaan wajib bagi para santri, tetapi ia juga difungsikan sebagai referensi utama dalam menjawab serta menyikapi segala problem kehidupan yang dihadapi manusia, terutama umat Islam sendiri. Tidak mengherankan, apabila didapati suatu persoalan hidup kitab kuninglah yang menjadi tumpuan penyelesaiannya. Artinya, laku hidup umat (Islam) harus merujuk pada kitab kuning. Hal ini dikarenakan, kitab kuning dianggap dokumen paling otoritatif bahkan isinya tidak perlu untuk dipertanyakan kembali.
Dengan demikian, kitab kuning harus tetap terjaga dan dilestarikan sampai kapan pun. Selain dipahami sebagai mata rantai keilmuan Islam yang bersanad atau bersambung kepada pemahaman keilmuan Islam masa tabiin dan para sahabat, juga bersanad hingga pada Nabi Muhammad Saw. Karena itu, memutus mata rantai kitab kuning, berarti memutus sejarah intelektual umat Islam sendiri.
- Iklan -
Lantas pertanyaan yang muncul dalam benak kemudian, mengapa harus kitab kuning yang menjadi rujukan utama pesantren dalam menyikapi segala problem kehidupan? Seolah-olah kitab kuning selalu relevan terhadap perkembangan zaman, sehingga patut diprioritaskan.
Mungkin, sebagian orang (pesantren) akan menjawab bahwa: sebagai upaya untuk melestarikan dan mengikuti jejak dari tradisi para ulama terdahulu dalam mengkaji dan mendalami kitab kuning, dikarenakan sanadnya sudah jelas. Sepintas, jawaban ini ada benarnya. Namun dari sisi lain, argumen tersebut tak cukup memadai untuk menjawab pertanyaan di atas, sehingga diperlukan suatu analisis yang serius.
Alasan Memilih Kitab Kuning
Seperti diketahui bersama bahwa kitab kuning yang berkembang cukup pesat di lembaga pesantren Indonesia kiwari, pada dasarnya merupakan produk pemikiran para ulama terdahulu (salaf al-saleh) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17 M. Kemudian, dinamakan kitab kuning, karena kitab ini dicetak di kertas yang berwarna ke kuning-kuningan. Dan, inilah yang menjadi ciri khas utama kitab kuning, selain juga isi tulisannya tidak berharakat, alias gundul. Dengan modelnya demikian, maka hanya orang-orang tertentu pula yang dapat membaca dan memahami isi dari kitab kuning.
Sementara dalam proses penulisannya, para ulama tetap bertolak atau bersandar pada sumber pokok ajaran Islam, Al-Quran dan Hadis. Segala isi yang terdapat di dalam kitab kuning, kesemuanya berasal dari kedua sumber tersebut. Dengan kalimat lain, kitab kuning merupakan representasi dari isi yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadis. Sebagaimana dinyatakan Kiai Said Aqil Siradj, bahwa kandungan kitab kuning merupakan penjelasan yang siap pakai dan termasuk rumusan ketentuan hukum yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis yang tengah dipersiapkan oleh para mujtahid di segala bidang.
Dengan merujuk pada pernyataan ini, bisa dipahami bahwa alasan pesantren menjadikan kitab kuning sebagai referensi utama dalam menyikapi segala persoalan hidup sekaligus menjadi pedoman laku hidup umat (Islam), sekurang-kurangnya meliputi dua hal. Pertama, isi kandungan kitab kuning kebenarannya sudah tidak diragukan lagi bahkan tak perlu untuk dipertanyakan kembali. Sebab, sumber rujukannya berasal dari Al-Quran dan Hadis Nabi.
Apabila ada seseorang yang berkeinginan hendak memahami kedua sumber ini tanpa melalui perantara (mengkaji Al-Quran dan Hadis secara langsung), mustahil ia dapat memahaminya. Bahkan, bisa terjerumus dalam kesalahan dan kekeliruan. Pasalnya, isi kandungan keduanya masih bersifat global yang tentu saja memerlukan suatu interpretasi agar mampu menangkap pesan-pesan yang terdapat di dalamnya. Salah satunya adalah dengan mempelajari dan mengikuti isi dari kitab kuning.
Kedua, sebagai penopang (instrumen) dalam proses memahami ilmu keagamaan secara mendalam, sehingga mampu merumuskan serta melahirkan penjelasan atau hukum baru yang sangat dinamis dan sesuai dengan perkembangan zaman, tetapi tidak ahistoris terhadap sumber pokok ajaran Islam; Al-Quran dan Hadis Nabi. Sebab, kitab kuning mencerminkan sebuah pemikiran yang lahir dan berkembang sepanjang sejarah peradaban Islam.
Dari sini, jelaslah bahwa menjadikan kitab kuning sebagai rujukan primer terutama bagi kalangan pesantren bukan berarti mengabaikan kedua sumber pokok ajaran Islam (sebagaimana yang kerap dilontarkan oleh kelompok Wahabi dalam setiap kesempatan), justru pada hakikatnya lebih mengamalkan terhadap ajaran keduanya.
Demikianlah, alasan memilih kitab kuning yang bisa diulas dalam tulisan pendek ini. Dan, tentu argumen ini juga tak dapat mewakili alasan pesantren menjadikan kitab kuning sebagai rujukan utamanya. Kritik dan saran sangat diperlukan dalam tulisan ini. Wallahu A’lam.
– Alumnus Pesantren Nurul Jadid, Paiton, kini mengajar di Pesantren Zainul Huda, Arjasa Sumenep. Juga penikmat kajian keislaman dan filsafat.