Oleh: Abdul Warits*
Judul : Kitab Ta’limu Mutaallim
Penerjemah : Abdul Majid, LC
Penerbit : Turos Pustaka
Cetakan : Maret, 2022
Tebal : 229 halaman
ISBN : 978-623-732-75-61
Dalam proses menuntut ilmu, seorang pembelajar tidak hanya menyerap pelajaran dari seorang guru dalam majelis ilmu. Akan tetapi, terdapat beberapa etika dan proses yang harus dijalani agar ilmu yang diperoleh menjadi ilmu yang bermanfaat dalam kehidupan umat manusia. Proses dan tahapan-tahapan yang ditempuh dalam menuntut ilmu ini merupakan tradisi dari para ulama-ulama terdahulu sehingga terbentuk manusia pembelajar dengan kapasitas keilmuan dan budi luhur yang baik di tengah-tengah masyarakatnya.
Etika dalam menuntut ilmu tersaji lengkap di dalam kitab terjemahan Ta’limul Mutaallim ini. Dilengkapi dengan syair-syair yang menggugah dari Imam Syafii, buku ini hadir dalam khazanah keilmuan Islam dengan beragam pembahasan. Di antaranya panduan akhlak dalam menuntut ilmu, metode belajar yang benar dan baik, kiat memperoleh ilmu yang bermanfaat, serta motivasi-motivasi agar menjadi insan pembelajar dalam situasi apapun dan kapanpun.
- Iklan -
Ilmu agama menempati kedudukan tertinggi. Sebab, menurut Imam Az-Zarnuji, ada ilmu yang dibutuhkan pada waktu tertentu, hukumnya fardu kifayah. Artinya, jika sebagian masyarakat dalam satu wilayah sudah menunaikannya, kewajiban itu gugur bagi sebagian lainnya. Sedangkan mempelajari ilmu agama dibutuhkan setiap waktu (ilmu al-hal). Imam Az-Zarnuji mengibaratkan ilmu agama sama dengan makanan. Tidak seorang pun dapat lepas darinya. Sementara, ilmu yang hanya dibutuhkan dalam kondisi tertentu kedudukannya sama dengan obat yaitu dikonsumsi pada saat diperlukan saja (hal. 34). Beda dengan pendapat Imam Syafii yang membagi ilmu menjadi dua bagian. Pertama, ilmu fiqih untuk mendalami agama. Kedua, ilmu kedokteran untuk mengetahui kondisi badan (hal. 35)
Seorang pembelajar yang mematuhi etika yang dijelaskan di dalam buku ini maka bisa dipastikan akan menjadi manusia yang dipenuhi dengan gelimang ilmu serta kebijaksanaan. Karena seorang penuntut ilmu selain dianjurkan mengulang beberapa pelajarannya di waktu-waktu istijabah, juga dianjurkan agar selalu bermusyawarah dalam setiap mengambil keputusan (hal. 52). Artinya, seorang penuntut ilmu tidak boleh lepas dari tiga aktivitas penting: membaca, menulis dan berdiskusi atau musyawarah dengan teman.
Hal menarik di dalam buku ini bahwa seorang penuntut ilmu tidak boleh sembarangan dalam memilih teman dan guru. Memilih guru dianjurkan memilih yang paling alim, paling wara’ dan paling tua. Oleh sebab itu, memilih guru harus diamati selama dua bulan dan dianjurkan untuk tidak pindah guru dan tempat belajar sebelum semuanya berhasil dituntaskan dengan baik.
Sebagaimana dikisahkan, seorang bijak dari Samarkand menganjurkan agar tidak tergesa-gesa dalam perbedaan pendapat para ulama. Sebaiknya seorang penuntut ilmu bersabar selama dua bulan agar bisa mengamati dan memutuskan untuk memilih guru yang tepat. Karena jika seseorang mendatangi seorang alim dan terburu-buru belajar kepadanya, boleh jadi tidak akan tertarik dengan pelajarannya sehingga berpotensi bisa mencari guru lain. Jika cara yang dilakukan oleh penuntut ilmu seperti ini maka tidak akan memperoleh keberkahan (hal. 54)
Seeorang pembelajar yang baik hendaknya melakukan bentuk-bentuk penghormatan kepada ilmu dan gurunya agar memperoleh kemuliaan dari etika-etika yang telah dilakukannya selama menuntut ilmu. Sebab penghormatan ini akan menyampaikan seorang penuntut ilmu kepada tujuannya. Hal ini dikisahkan oleh Syekh Imam Sadidudin Asy- Syairazi bahwa siapa saja yang menginginkan anaknya menjadi seorang yang alim, hendaknya memberikan perhatian kepada para ulama yang tengah mengembara. Menghormati, memuliakan dan memberi mereka sesuatu. Jika putranya tidak jadi orang alim, maka cucunya yang akan menjadi orang alim (hal. 65)
Setidaknya ada tiga peran urgen yang sangat mendukung terhadap kesuksesan orang yang sedang menuntut ilmu. Pertama, seorang pelajar yang memiliki cita-cita, kesabaran dan ketekunan yang tinggi dalam belajar serta senantiasa mengulang setiap apa yang dipelajari dengan baik. Seorang pembelajar harus berdiskusi dan bertukar pertanyaan karena hal ini lebih besar manfaatnya dari sekadar hanya mengulang pelajaran seorang diri. Di samping berfungsi mengulang pelajaran, mengajukan pertanyaan juga menambah pengetahuan baru (hal. 115). Peran kedua adalah seorang guru yang sangat alim dan bisa mengarahkan seorang penuntut ilmu untuk memperoleh tujuan-tujuannya. Peran ketiga adalah orangtua yang masih ada sebagai bentuk dukungan dan dorongan dalam memperoleh ilmu dengan penuh kesungguhan.
Keunikan lain dari buku terjemahan ini terdapat sajian peta penjelasan dan kesimpulan di masing–masing bab sehingga memudahkan pembaca untuk menelaah pesan-pesan penting dalam proses menuntut ilmu. Buku ini secara komprehensif sangat detail memaparkan proses seorang penuntut ilmu dari awal hingga akhir seperti mengatur pola makan saat belajar ilmu, pola hidup, waktu belajar, masa belajar, urgensi mencatat atau menulis ilmu yang telah diperoleh serta standar pembelajaran yang harus dikuasai terlebih dahulu dan urutannya, serta etika yang baik sebagai salah satu penunjang dalam memperoleh keberkahan ilmu. Buku ini dilengkapi dengan syair-syair Imam Syafi’I dan teks asli kitab ta’limul muta’allim.
*Abdul Warits, Penulis lepas, lahir di Grujugan Gapura Sumenep Madura, 07 Maret 1997. Mahasiswa Pascasarjana Studi Pendidikan Kepesantrenan, Instika,Guluk-Guluk Sumenep Madura.