Cerpen Aliurridha
Dama tidak pernah cinta kepada ayahnya. Lebih dari itu, ia membenci ayahnya tersebab lelaki itu tidak pernah kurang menyakitinya. Sering ketika marah, ayahnya mengutuk-ngutuk Dama, menyebutnya anak kurang ajar, nakal, tidak tahu diuntung, dan sebutan-sebutan menyakiti hati lainnya. Namun tidak jarang juga ia melakukan lebih dari itu, memukuli Dama ketika laju emosinya tak terkendali.
Sejak kebencian itu membibit di hatinya, Dama tidak pernah kurang memupuknya. Bibit-bibit kebencian itu kemudian tumbuh subur dalam pikirannya. Pernah Dama hampir melawan ayahnya ketika sudah jengah dipukuli. Namun urung dilakukannya karena ia teringat perkataan guru ngajinya: “Hanya anak durhaka yang melawan orang tua. Dan setiap anak durhaka akan masuk neraka.” Karena takut masuk neraka, Dama tidak jadi balas memukul ayahnya. Sampai kemudian ia mendapati cara lain untuk melawan, yang lagi-lagi ia dapat dari guru ngajinya.
Ketika itu Dama sedang mengaji di musala dekat rumahnya. Ia mengaji setiap sore selepas Asar hingga menjelang matahari terbenam. Setelah selesai membaca Al-Qur’an, guru ngajinya akan memberi ceramah kepada murid-muridnya. Dama selalu mengantuk setiap mendengar ceramah. Tapi tidak sore itu. Apa yang dikatakan guru ngajinya sore itu, menendang pergi kantuk yang datang sembunyi-sembunyi seperti pencuri. Tiba-tiba Dama merasa bergairah begitu mendengar kalau ada tiga golongan orang yang doanya tidak akan ditolak Allah, dan Dama merasa dirinya adalah golongan yang terakhir, golongan orang-orang teraniaya.
- Iklan -
Dama pulang dengan bibir merekah. Selama ini setiap pulang mengaji wajahnya selalu cemberut. Hal ini membuat ibunya yang sedang menyapu di teras rumah menatap anaknya dengan heran. “Tumben kamu senyum-senyum pulang ngaji? Ada cewek yang kamu taksir ya?” goda ibunya. Dama terkesiap. “Apaan sih, Bu? Nggak penting banget,” kata Dama setengah membentak. Suaranya sampai ke telinga ayahnya yang saat itu sedang duduk menonton televisi di ruang tamu. Lelaki itu langsung bangkit menuju teras.
“Pulang ngaji malah membentak Ibu, apa itu yang guru ngajimu ajarkan?” tanya ayahnya. Lelaki itu berdiri di pintu ruang tamu. Cahaya senja lamat-lamat menerpa wajahnya, membuatnya terlihat sedikit lebih tua dari biasanya. Dama memperhatikan wajah lelaki yang selalu ditakutinya. Kumis bapang yang melintang di antara bibir tebal dan hidung serupa jambu air itu membuat Dama takut menatap lama-lama. Apalagi jika ditambah dengan kedua biji mata yang selalu melotot.
“Habisnya Ibu …”
“Melawan lagi? Kamu tidak tahu apa ibumu itu capek-capek mengurus rumah yang terus-menerus kamu berantakin.”
“Sudah, Yah. Biarkan Dama masuk dulu. Tidak enak dilihat tetangga,” kata ibu Dama. Sekilas ia menoleh ke depan rumahnya. Tepat di depan gerbang, di bawah pohon ketapang, dilihatnya ibu-ibu tetangga sedang berkumpul mengelilingi pedagang jamu keliling.
“Anak ini tidak bisa dibiarkan. Beraninya dia membentak orang tua.”
Dama kesal mendengar omelan ayahnya. Ingin rasanya ia melawan. Tapi ia tidak berani. Ia sangat mengerti jika ia membalas perkataan ayahnya, maka ayahnya tidak cukup hanya berkata. Jadi ia sediakan saja telinga kanannya untuk mendengarkan, lalu membuangnya lewat telinga kiri. Setelah puas marah-marah, lelaki itu langsung balik badan dan kembali duduk di kursi menonton televisi.
Melihat Dama yang berdiri tegang, ibunya mendekat dan mengelus punggungnya, “Ayahmu sedang banyak pikiran, Nak. Jadi kamu harap maklum.”
Dama menarik bahunya dan berjalan ke dalam rumah.
Malam itu, sayup-sayup, Dama mendengar keributan dari kamar orang tuanya. Ia tahu ayah dan ibunya sedang bertengkar. Setiap mereka bertengkar, hampir bisa dipastikan selalu menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Lalu akan terdengar perang mulut yang berusaha ditahan-tahan. Setelah itu suasana akan hening, kemudian terdengar suara tangis seorang wanita. Ia tahu kalau ayahnya baru saja menyakiti ibunya. Mungkin dengan kata-kata, atau mungkin juga lebih, seperti yang sering dilakukan lelaki itu kepadanya. Jika sudah seperti itu, Dama ingin sekali mendobrak pintu kamar dan balas memukul ayahnya. Tapi ia sadar diri, ia masih kecil dan tidak mungkin bisa melakukannya.
Berbekal pengetahuan yang baru didapat dari guru ngajinya, Dama berdoa agar ayahnya kecelakaan dan cacat. Ia berdoa dengan begitu khusyuknya karena ia percaya betul apa yang dikatakan guru ngajinya: doa orang-orang teraniaya pasti akan terkabul.
Tiga hari setelah itu ayahnya benar mengalami kecelakaan. Motornya menabrak pembatas jalan. Akibatnya kakinya patah, dan ia terpaksa diamputasi. Berhari-hari, tiada henti ibunya menangis setiap melihat ayahnya yang terbaring lemah tidak berdaya. Dama bersusah payah menahan senyum yang mendesak keluar dari kedua belah bibirnya.
Dua bulan telah berlalu sejak kecelakaan itu. Ayah Dama yang dulu terlihat besar dan sangar, kini begitu kecil dan lemah; ia menyusut di atas kursi rodanya. Lelaki itu juga lebih banyak mengurung diri di kamar sejak perusahaan tempatnya bekerja merumahkannya. Ia sudah jarang marah-marah. Tapi itu tidak berlangsung lama.
Ketika itu Dama tengah bosan. Ia duduk berselonjor di sofa depan televisi. Tangannya tidak berhenti memainkan remot, mengganti-ganti channel. “Kamu ini kerjanya malas-malasan,” kata ayahnya. “Bantu ibumu bersih-bersih di halaman, sana.”
“Baru juga saya nonton,” balas Dama menggerutu. “Kenapa tidak Ayah saja yang bantu? Ayah kan tidak kerja sekarang.”
Lelaki itu terbelalak. “Dasar anak kurang ajar.” Ia memutar roda pada kursi rodanya dan mendekat ke anaknya. “Ayah hitung sampai tiga,” ancamnya sambil mengangkat tangan, menggertak anaknya.
“Ayah mau apa?” kata Dama. Wajah Dama menantang. Refleks ayah Dama mengayunkan tangan. Pipi kana Dama kena tampar. Dama kaget bukan main. Ia berdiri. Kedua tangannya terkepal. Kini, ia terlihat lebih tinggi dari ayahnya yang duduk di kursi roda. Tapi tatapan ayahnya tidak terlihat seperti orang kalah.
Ketika Dama sudah siap meninju ayahnya, sebuah teriakkan wanita terdengar: “Apa-apaan ini?” Ibu Dama kemudian berlari ke tengah dan berdiri di antara sepasang ayah dan anak yang sedang bersitegang. Melihat tangan anaknya yang terkepal, wanita itu refleks melayangkan sebuah tamparan ke pipi kiri anaknya. Dama kaget bukan main. Ia berlari meninggalkan ruang tamu. Untuk pertama kali seumur hidupnya, ia ditampar ibunya.
“Maafkan dia, Mas!” kata wanita itu memeluk kaki suaminya. “Dia hanya anak-anak, dia belum mengerti.”
“Aku sudah memafkannya jauh sebelum itu.”
Dari teras rumah Dama mendengar percakapan sepasang suami-istri itu. Ia kesal mendengarnya. Ia tidak habis pikir dengan ibunya. Bagaimana mungkin ia masih saja mau membela lelaki itu. Apa yang bisa diharapkan dari lelaki cacat itu. Lelaki pemalas yang kerjanya hanya duduk di depan laptop. Hari itu Dama sudah berniat untuk meninggalkan rumahnya.
Namun niat itu tidak jadi dilakukannya.
Malamnya, ketika sedang mengemas baju-bajunya ke ransel, Dama dikejutkan oleh ketukkan di pintu kamar. “Dama ini Ibu, Nak. Buka pintumu.” Lama Dama menimbang-nimbang sampai akhirnya ia membuka pintu. Ketika masuk ke dalam kamar, wajah ibunya terlihat sembab. Kelopak matanya bengkak seperti orang yang terlalu banyak menangis.
“Ibu dipukul lagi sama ayah?” tanya Dama.
Wanita itu kaget, “Kenapa kamu berpikir seperti itu?”
Dama kemudian menjelaskan alasannya, bagaimana malam itu, ia mendengar pertengkaran ayah dan ibunya. Kemudian tidak lama setelah pertengkaran itu, terdengar suara tangis ibunya. Saat Dama menceritakannya, mata wanita itu kembali berkaca-kaca. “Kamu salah paham, Nak. Ayahmu bukan lelaki seperti itu. Mungkin ia sedikit kasar dan pemarah, tapi ia lelaki bertanggung jawab.” Kemudian pecahlah tangisnya. Ibu Dama tidak mampu lagi melanjutkan kata-katanya. Dama menatap wajah ibunya dengan perasaan heran.
Setelah agak tenang baru wanita itu menjelaskan bahwa malam itu mereka tidak bertengkar, melainkan berbicara dengan penuh emosi. “Sebenarnya ibu tidak mau menceritakan hal ini. Ayahmu selalu melarang ibu menceritakannya. Dia tidak mau kamu sampai terbebani oleh hal ini. Itulah alasannya kami selalu membicarakannya di kamar. Tapi sepertinya kamu perlu tahu,” kata wanita itu. Kemudian wanita itu menjelaskan kalau ayah Dama pernah berhutang ketika Dama masih kecil. Saat itu Dama jatuh sakit dan mereka tidak punya uang untuk biaya rumah sakit. Akhirnya mereka meminjam uang di rentenir agar cepat cair. Kemudian meminjam lagi di bank untuk membayar rentenir. Bunganya memang lebih kecil, tapi tetap saja mencekik. Meski telah bekerja dengan sangat kerasnya, ayah Dama tetap juga tak mampu melunasi hutangnya. Gajinya tak pernah cukup, dan hutang-hutang kredit makin lama makin menumpuk. Kemudian ia mendaftarkan asuransi jiwa dan terjadilah kecelakaan.
“Aku tidak mengerti maksud, Ibu,” kata Dama.
Wanita itu menghela napas panjang. Lalu ia menjelaskan bahwa ayah Dama sengaja menabrakkan dirinya demi mendapat asuransi. Lalu dengan uang asuransi dan uang pensiun, ayah Dama melunasi hutang-hutangnya. Dama terkejut mendengarnya. “Ayahmu bukan pemalas. Dia masih bekerja. Dia bekerja dari rumah sebagai penyunting buku, menulis, dan menerjemah,” lanjut ibunya.
Dama terbelalak mendengarnya. Ia baru tahu kalau ternyata ayahnya lebih teraniaya daripada dirinya. Seketika itu juga Dama terpikir akan sesuatu. Ia hendak meminta ayahnya untuk berdoa agar keluarganya bisa kaya. (*)
Tentang Penulis:
*Aliurridha, Menulis esai, opini, dan cerpen. Karyanya tersebar di pelbagai media. Cerpen-cerpennya telah terbit di Kompas, Tempo, Jawa Pos, Republika, Pikirian Rakyat, Ceritanet.com, Magrib.id, dll. Ia bergiat di komunitas Akarpohon.