Oleh; M. Faidh Fasyani
Untuk sekarang ini, tamsil keberagaman memang tidak bisa dielakkan lagi. Di satu sisi, dengan ragam bahasa, budaya, suku bahkan agama, menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki ciri dan gaya khas tersendiri dibandingkan negara lain. Namun di sisi yang lain, dengan keberagaman yang ada, tidak menutup kemungkinan akan menjadi faktor utama pecahnya suatu negara. Tentunya, ini akan terjadi jika dalam kultur dan dinamika kehidupan warga negara, tidak ada rasa kasih sayang dan toleransi. Oleh karena itu, penting dalam menumbuhkan kedua sikap ini semata untuk tujuan mempertahankan, merawat, dan menjaga stabilitas negara.
- Iklan -
Namun harus diakui, realita yang terjadi di lapangan sangat jauh dari ekspektasi. Tamsil keberagaman yang terkesan religius padahal mengandung tendensi fanatisme banyak terjadi dewasa ini. Dengan kata lain, isu-isu terkait kekerasan atas nama agama lebih mendominasi dalam dinamika kehidupan bernegara. Ditambah lagi, hari demi hari media cetak maupun online getol memberitakan kekerasan akan hal ini. Seperti halnya isu radikalisme, terorisme dan sebagainya.
Sedikit manifestasi, di tahun 2021 saja, setidaknya tercatat ada dua kasus terorisme. Pertama, saat terjadi di Gereja Katedral Makassar Sulawesi Selatan (28/03/2021); dengan model aksi bom bunuh diri. Kedua, terjadi di kompleks Mabes Polri Jakarta (31/03/2021); ketika seorang wanita berumur 25 tahun menyerang dengan menggunakan senjata api. Dan berdasarkan hasil penelusuran polisi, kedua kasus ini sama-sama berangkat dari kasalahan dalam beragama. Dalam artian, mereka (pelaku teror) terjebak dalam interpretasi kaku sebagian ajaran agamanya. Sehingga, dalil atas nama “jalan kebenaran” yang digaungkannya, menjadi koreksi/peringatan untuk kita lakukan verifikasi atau tabayyun secara mendalam.
Di tahun 2022 ini, setidaknya telah tercatat dua kasus dalam tindak pidana terorisme. Pertama, dilansir dari Detiknews.Com, Densus 88 Anti Teror Polri menembak mati seorang dokter asal Sukoharjo Jawa Tengah kemarin (09/03/2022). Penembakan ini dilakukan karena dalam penangkapannya pelaku melawan. Kedua, dilansir dari koran Jawa Pos, Densus 88 Anti Teror Polri menangkap seorang PNS di Tangerang Banten kemarin (15/03/2022).
Tenggang waktu yang relatif berdekatan (baca: Maret), kasus-kasus di atas sangat cukup untuk menjustifikasi, bahwa kasus terorisme sampai saat ini masih menjadi problem terbesar terkait kekerasan atas nama agama. Oleh karenanya, hal ini tentu kembali mengorek kesadaran kolektif kita, bahwa terorisme menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.
Faktor Penyebab
Tentu jelas, faktor yang melatarbelakangi kasus-kasus di atas, berangkat dari kesalahan dalam memahami ajaran beragama. Termasuk dalam menginterpretasikan sebuah ayat yang bernuansa radikal. Meskipun dalam Islam sendiri, ada indikasi ayat yang radikal, tetapi esensinya tidak lantas demikian. Sehingga dalam proses interpretasiannya dibutuhkan proses tabayyun dan diskusi secara mendalam, tidak lantas diinterpretasikan secara subjektif dan eksklusif. Hal ini pula yang menjadikan suatu ajaran agama menjadi fatal, dan “kebenaran sejati” seolah-olah ada dalam diri pelaku.
Dalam hal ini, mantan Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin ikut beromentar dalam prolog buku Moderasi Beragama. Menurutnya, hal ini disebabkan dengan adanya tindakan mengeksploitasi ajaran agama untuk memenuhi kepentingan hawa nafsunya, kepentingan hewaninya, dan tidak jarang juga untuk melegitimasi hasrat politiknya. Sikap inilah yang berimplikasi terhadap ketidakseimbangan dalam kehidupan beragama.
Dalam diskusi Forum Ahadan STAI Al-Anwar, Mantan Polri dan Jihadis Sofyan al-Tsaury juga mengatakan, bahwa hal ini dilatarbelakangi oleh terjebaknya pelaku dalam satu dalil, sehingga menafikan dalil-dalil yang lain. Ditambah lagi, tidak bisa memadukan antara fiqih dalil dan fiqih realitas, asbabun nuzul, dan nasakh-mansukh ayat.
Dan teori semiotik pragmatis oleh filsuf Charles Sanders Peirce juga bisa dihadirkan, di mana terdapat tangkapan makna fenomologis atas suatu ajaran yang menghasilkan suatu interpretasi semu melalui proses kognitif dan analisis objek yang kurang tepat (interpretan).
Sebuah Ikhtiar
Dalam upaya menjawab hal ini, tentu kita bisa kembali terhadap hakikat agama itu sendiri. Di mana, tidak ada agama di dunia ini yang mengajarkan tentang kekerasan. Semua agama sepakat menentang kekerasan atas dalil apapun, lebih-lebih dalil dakwah. Sehingga, ketika terdapat sebuah ajaran agama yang bernuansa radikal, perlu dilakukam verifikasi lebih lanjut. Melihat prinsipnya, semua agama sama-sama mengedepankan rasa kemanusiaan, dan rasa persaudaraan yang tinggi.
Oleh karena itu, sangat perlu, kita sebagai warga negara Indonesia bisa menumbuhkan dan mengedepankan rasa toleransi di tengah tamsil keberagaman yang ada. Lebih-lebih di antara para pemeluk agama demi menjunjung tinggi cita-cita bangsa; Bhinneka Tunggal Ika. Wallahu A’lam.
*Mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir, STAI Al-Anwar Sarang Rembang.