Setelah Kematian Tokoh Utama
Nyonya Willy terlalu tua untuk minum vodka
ditatapnya hujan mengaliri kaca jendela.
Dia duduk di ruang depan, rumah yang baru saja
selesai dari adegan tembak menembak.
Jasad orang-orang kepercayaan dan beberapa mayat
telah diseret ke ambulan
Nyonya Willy menyondongkan tubuhnya ke meja
mengecup darah beku di dada putranya.
Ia berkata: “Aku telah selesai mengajarimu
untuk tidak menangis atas kematian siapa pun
tapi hari ini aku benar-benar menangis.”
Kekacauan politik menjatuhkan korban tak terduga.
Suara kemenangan di luar menciptakan raksasa baru.
Angin laut berguling di baling-baling helikopter
- Iklan -
penyandang dana.
Drama yang baru selesai,
dimulai.
2020
Tentang Mural yang Dihapus dari Sebuah Dinding
“Tuhan aku lapar!”
Hanya suara lirih pada dinding buta tuli
ditulis dengan huruf tegak lurus
tapi segera tangan-tangan yang takut
menghapusnya.
Jadi ini hidup berbangsa seperti dalam ilusi
bocah manja yang membenci cat rumah
dan renda jendela selain berwarna putih.
Berdatangan orang bijak mengapit
kitab-kitab rujukan utama kebenaran
yang berdebu, yang lamur huruf-hurufnya
yang sembah sujud setiap lembarnya
pada blueprint citra-citra penguasa.
Jangan ganggu ketenteraman negara,
kata mereka sambil berdenyar-denyar
menatap baliho yang megah.
Ke-bhinneka-an dalam seruan bertamsil
kepak sayap burung jadi asing.
Seperti seorang pikun yang berusaha mengingat
letak bayangannya pada pusat cahaya
sambil terus menolak untuk menoleh
pada sisi gelapnya sendiri.
“Tuhan aku lapar!”
Dalam layar televisi orang-orang besar
menemukan bahan untuk berdebat
berdandan dan duduk manis di bawah sorot
lampu, sementara orang-orang kecil
yang bersuara pada dinding diburu,
entah untuk diberi makan atau dibawa ke bui.
Ketakutan yang suntuk berkelebat sepi
hari sibuk dibayangi wabah meringkik
menciptakan bisik:
+ Ini gerakan vandalis, apapun alasannya.
– Vandalisme adalah perbuatan merusak,
termasuk menghapus karya seni
Masalahnya, kalian memahami keindahan
hanya sebatas bunga mekar belaka.
Kota koyak. Hunian kumuh.
Bulan berdarah. Musim kacau balau.
Semua adalah karya seni di tangan seniman.
+ Ada dalang di balik layar bagi para wayang.
– Kita kini dalam keremangan yang jelas
siapa dalang dan siapa wayang
tak dapat dibuktikan oleh kenyataan.
Kenyataan telah ditangkap kata-kata
para pemenang saluran utama.
+ Temukan mereka untuk ketenteraman kita.
– Siapa perlu ditangkap, siapa menangkap?
+ Bagaimana kalau kita ganti topik?
– Terlalu banyak topik di sini, aku mulai mual.
+ Jangan ribut melulu, ada yang orang sakit.
– Hus!
Hanya suara lirih pada dinding buta tuli
dihapus dan melahirkan suara-suara lain
di dinding yang lain. Ada orang-orang
tak dikenal menggambar wajah
mirip presiden, penuh warna cerah
tapi suara yang diperdengarkan
semuram Agustus berbadai.
Ada orang-orang menggambar tokoh kartun
yang gempal, gemuk, dan sehat
tapi di situ yang tampil suara kesakitan.
Entah mengapa, untuk apa, dan agar apa,
tak ada yang sungguh-sungguh tahu
walau tahu yang sesungguhnya.
Seperti mainan kanak yang mudah usai
karena tiba jam makan, saluran internet
yang tak berdaya mengusir orang ceroboh
dan saluran yang juga ceroboh
dipenuhi pembuat konten yang menghilangkan
kejadian untuk bermain-main dengan pikiran
sendiri. Akun-akun asli, akun-akun bodong,
dan para robot menciptakan tsunami suara.
Di beranda siapa saja, kekisruhan berkelebat
seniman jalanan berpegang pada narasi
ketertiban umum yang kumuh dan cerewet
sementara para pembawa berita layar televisi
di saluran yang berbeda menghadirkan bahan
pertengkaran bagi para pemirsa budiman.
Mural telah dihapus, orang-orang terperentah berjaga
pada banyak dinding di semerata kota.
Di situ, kata mereka, akan lahir dosa.
Gagak mengakak sepanjang malam
anjing-anjing peliharaan tidur dalam kandang.
“Tuhan aku lapar!”
Indonesia, 2021
Di Pesawahan yang Dijaga
Di pesawahan yang dijaga orang-orang bersenjata
para petani menyanyi. Indonesia Raya bangkit
dari beku kubur. Nada-nada tanah air – tumpah
darah bergeletar di bawah plang bertuliskan:
“Di sini ada pembangunan!”
Para petani dalam bernyanyi merayapi mimpi
yang bangun terlambat di bawah tekanan.
Seperti gandarusa roboh payah dalam tua diasingkan
di musim baru-baru kini, pertanian hanya desis ular
pucuk bambu di hari pembakaran hutan.
Di sepanjang pematang dan rumpun ilalang terluka
para petani melayat tubuh mereka sendiri.
Udara paceklik di muka sungai kering meneteskan airmata
saat burung-burung datang mengenang rimbun bunga
padi yang hilang.
2017
Adakah Manusia Indonesia di Sana?
“Adakah manusia Indonesia di sana?”
tanya Indonesia mengetuk-ngetuk
pintu gedung dewan yang terhormat
kala cuaca dipenuhi kelelawar
berjuta buruh tengadah di bawah matahari
merasakan betapa kepala mereka penuh ledakan
karena penghinaan dan pengkhianatan.
Dan beratus juta pasang mata–
mereka yang ditakut-takuti wabah–
nanar menatap dari layar telepon genggam
lalu diam-diam bertanya:
“Adakah manusia Indonesia di sana?
Terasa semakin dekat dan penuh telinga kami
dengan suara monyet, meski kami tak yakin.
Kami sedang takut-takutnya begini
kehilangan kerja hari-hari,
diancam kelangkaan pangan
didesak jadwal sekolah anak-anak kami
sambil membayangkan betapa menakutkan
masa depan di dalam ketidakmenentuan,
mereka berpaling dari suara kami
menggelar sidang atas nama kami
dan memutuskan hajat kami
dengan telinga dan mata tertutup.
Adakah manusia Indonesia di sana?”
Seekor garuda terbang di langit
mengitari gedung yang kehilangan kesakralan.
Mengepak ia dengan kepakan yang pilu dan marah.
Menderu-deru ia di udara dan dari mulutnya,
pekik yang tertahan adalah tangisan panjang
untuk ruh para pahlawan–mereka yang mati
di garis juang diludahi kini hingga kubur.
Dan sambil jauh menembus langit ia bertanya
“Adakah manusia Idonesia di sana?”
Hanya tiang dan dinding-dinding tua
menatap garuda itu pergi
dengan haru dan tak berdaya.
Jauh dari dari lekuk tiang dan dinding-dinding itu
berjuta buruh berarakan
menerjang bayang-bayang wabah
Karena menolak dikutuk anak cucu
bila mewariskan sejarah
mati karena tidak berdaya,
dirongrong amarah yang lemah.
Ke gedung itu, berjuta buruh mengajukan
pertanyaan: “Adakah manusia Indonesia di sana?
Belanda menyiksa leluhur kami dengan kerja rodi.
Jepang yang mula kedatangannya
dikira memberi angin pembebasan
memperbudak dengan romusha
dan kini, kalian, saudara-saudara kami
sedarah dan setanah; seibu dari kandung pertiwi
perbudakan macam apa yang akan diciptakan
dari ketukan palu atas nama kami itu?
Adakah manusia Indonesia di sana?
Manusia Indonesiakah di sana?”
Tanpa jawaban, berjuta buruh terus berarakan
dan di luar teks-teks Pancasila
juga dari setiap mereka yang menghafalnya,
Pancasila memasuki kolong jembatan
dan lorong-lorong orang miskin penuh sesak.
Berlari ia. Terus berlari.
Makin jauh, makin gila rasanya.
Ia temui tubuh-tubuh buruh.
Ia temui pertanyaan itu.
Ia bertanya: “Di manakah aku ditegakkan
di antara tubuh-tubuh buruh ini?
Benarkah aku ada dalam urat nadi Indonesia
bila orang-orang yang menghafal
dan mempropagandanku
sebagai ideologi tak mendengar mereka?
Adakah manusia Indonesia di sana?”
Indonesia mengetuk-ngetuk pintu gedung dewan
tapi tak ada yang mendengar
karena di dalamnya orang gaduh sendiri dan merasa
paling Indonesia sendiri-sendiri
sambil mengabaikan ketukan tangan ‘
Indonesia depan pintu.
Keriuhan itu–perasaan ke-Indonesia-an
yang abai dan pongah–mengusir Indonesia.
Pergilah ia menemui setiap derap langkah
buruh, degup jantung ketakutan
orang-orang di dalam rumah.
Memeluk Pancasila, menatap garuda
yang telah jauh pergi
dan bertanya: “Adakah manusia Indonesia di sana?”
Tiang dan dinding-dinding meratap tak kuasa
lagi mendengar suara-suara manusia Indonesia
yang berbicara dengan bahasa Indonesia
dan berkhianat pada Indonesia.
Catatan Indonesia 2020