Oleh : Fadhel Fikri
Puasa Ramadan adalah ibadah yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada para kaum muslimin selama sebulan penuh. Bulan Ramadan adalah bulan yang dimana, dilipat gandakan pahala. Maka dari itu banyak kaum muslimin yang berlomba lomba mencari kebaikan di bulan yang penuh berkah ini.
Namun pernahkah kita berpikir, kenapa hanya di bulan Ramadan saja, kaum muslim banyak melakukan ibadah? Kenapa di bulan lainnya justru tidak sebanding dengan bulan Ramadan? Kebanyakan masjid-masjid memiliki jama’ah yang banyak hanya pada bulan Ramadan, namun tidak pada bulan lainnya.
Bagi saya, hal di atas merupakan suatu tanda tanya besar yang beberapa tahun, selama Ramadan mulai saya pikirkan. Saya sering bertanya kepada guru ataupun ustadz yang saya temui, namun jawabannya belum cukup memuaskan rasa penasaran saya. Kebanyakan dari mereka hanya menjawab bahwa bulan Ramdhan adalah bulan dilipat gandakan pahala. Dari situ saya mulai berpikir apakah kita beribadah karena pahala atau karena Allah? Bagi saya dua hal tersebut adalah dua entitas yang berbeda, Allah adalah pemberi pahala dan pahala adalah imbalan yang diberikan dari Allah.
- Iklan -
Saya akan memberikan perumpamaan atau analogi dari pembahasan ini, yaitu ketika kita menyukai atau jatuh hati kepada lawan jenis. Banyak dari kita, ketika menyukai lawan jenis dari parasnya yang indah, dari situ kita mulai memberikan segenap apa yang kita punya kepada orang yang kita sukai karena memikirkan keutungan yaitu untuk mendapatkan seseorang yang indah.
Namun hanya sedikit dari kita yang melanjutkan perasaan tersebut ke jenjang rasa cinta dimana akan melakukan segalanya tanpa memikir keuntungannya apa, menerima segalah kekurangan dan kelebihan, dan lain sebagainya. Karena pada dasarnya, bukan karena seseorang itu indah makanya Ia dicintai, melainkan karena Ia dicintai maka Ia menjadi indah.
Perumpaan di atas, saya tarik kembali ke pembahasan ini, dimana kita beribadah hanya mengharapkan keuntungan. Hitung hitungan pahala mulai dilakukan. Bukan mengklaim semata, namun inilah yang sering saya temui disekitar saya. Banyak ceramah ataupun nasihat yang di layangkan, berupa seruan untuk mencari keuntungan, atau bahasa kesehariannya, beribadaha mengincar pahala yang berlipat ganda.
Saya tidak menggap hal di atas adalah salah. Malah saya berpikir hal di atas adalah suatu yang wajar bila dialami oleh kebanyakan orang, layaknya awal mula menyukai lawan jenis karena keindahan. Tapi saya menggap, hal di atas itu masih kurang, jika ajakan atau seruan yang disampaikan hanya sebatas mencari pahala yang dilipat gandakan.
Ali bin Abi Thalib, pernah menjelaskan bahwa seseorang yang beribadah memiliki tiga ciri yaitu; ibadah seorang budak, ibadah seorang pedegang, dan ibadah seorang pecinta.
Pertama, Ibadah seorang budak, adalah ibadah karena takut masuk neraka atau karena takut dimarahi seseorang, mislanya orang tua. Kemudia ibadah yang kedua, yaitu ibadah seorang pedagang, dimana ibadah mulai memikirkan keutungan berupah pahala, atau bahkan yang lebih na’asnya supaya dapat pujian. Sedangakn yang ketiga, adalah ibadahnya seorang pecinta, yaitu tidak mengharapkan apapun selain mengharapkan keridhaan yang dicintai. Tidak memikirkan surga ataupun neraka, tidak memikirkan pahala ataupun dosa, melainkan lillahi ta’ala.
Kita masih banyak berada pada posisi ibadah kedua, yaitu ibadahnya para pedagang. Hal ini dapat dilihat pada penjelasan lapangan yang saya uraikan di bagian atas. Bahkan di sisi lain, tidak jarang yang justru berpuasa di depan umum namun membatalkan puasa saat di kesendirian. Padahal nyatanya Allah Swt, maha melihat. Seharusnya, kita sebagai seorang muslim, haruslah mulai meningkatkan niat ibadah kita ke jenjang pencinta.
Seperti halnya Rabiah Adawiyah, yang membuat syair bilah ibadahku karena ingin surga, maka tutup pintu surga itu untuk ku. Bila ibadahku karena takut neraka, maka bakar aku dengan apinya. Namun bila ibadahku demi kau semata, ketahuilah aku rindu menatap keindahan mu.
Seorang pencinta, seperti yang saya gambarkan pada perumpaan di atas, tidak lagi memikirkan keuntungannya apa ataupun kelebihannya apa. Yang ada pada niat dan pikiran hanyalah ibadah demi dia (Allah swt) yang kita cintai. Kita seharusnya mulai kembali kepada bacaan sehari kita, “sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah”. Ingat untuk Allah, bukan untuk pahala ataupun surga.
Apabilah kita kembali kepada bacaan tersebut, dan meningkatkan ibadah kita menjadi seorang pecinta, haruslah tanpa memikirkan apakah ini bulan Ramadan ataupun bulan lainnya, kita akan tetap beribadah, memenuhi masjid-masjid, mengkhatamkan Al-Qur’an, dan berlomba-lomba mengerjakan kebaikan setiap bulannya. Karena pada dasarnya, bukan karena bulan istimewa maka kita bermesraan dengan yang kita cintai (Allah swt), melainkan karena kita bermesraan dengan yang kita cintai (Allah swt) maka semua bulan menjadi istimewa.
Menurut pandanngan subjektif saya pribadi, bertemu langsung dengan sang Rabb, jauh lebih nikmat dari pada hanya berada di surga. Bahkan nerakapun akan menjadi nikmat jika dari sana saya bisa melihat langsung sang Rabb.
Semoga dari sini, kita mulai belajar, apakah ibadah kita hanya berhenti sebatas memikirkan pahala dan surga ataukah kita akan melatih lagi untuk sampai ke jenjang ibadah sang pecinta. Semoga, dari sini, akan mulai di narasikan ke berbagai nasihat kegamaan tentang beribadah atas dasar cinta, yaitu beribadah karena lillahi ta’ala. Semoga bulan Ramadan ini menjadikan kita lebih baik lagi dari sebelumnya.
Tulisan ini akan saya tutup dengan pertanyaan sederhana, “jika di bulan Ramadan, pahala tidak dilipatgandakan, apakah kita akan segiat ini dalam beribadah?”. “jika surga dan neraka tidak pernah ada, apakah kita akan menyembahnya?”.
-Fadhel Fikri Co-Founder Sophia Institute Palu, dan Mahasiswa Filsafat.