Cerpen Alim Musthafa
Seperti Ramadan tahun lalu, gadis itu datang lagi ke kampung Anyar, tinggal bersama keluarga Kiai Nawawi, dan ikut membantu mengisi kajian-kajian kitab untuk murid-murid yang libur sokolah di pagi hari. Selain itu, gadis itu juga ikut berbagi takjil ke warga sekitar, dengan berkeliling bersama Neng Aisyah sehabis Asar. Dan gadis itu oleh pemuda setempat dikenal dengan panggilan Neng Iffar.
Neng Iffar bukanlah putri Kiai Nawawi sebagaimana Neng Aisyah. Ia hanyalah gadis pendatang dari pulau yang jauh. Namun menurut penuturan warga, ia masih memiliki hubungan keluarga dengan Kiai Nawawi. Karena itulah, setiap Ramadan tiba, ia selalu menghabiskan libur panjangnya di keluarga besar ini sampai mendekati hari raya.
Berbeda dengan Neng Aisyah yang berwajah biasa, Neng Iffar begitu jelita dengan balutan kerudung panjang sampai paha. Ia memang memiliki kecantikan di atas rata-rata hingga tak heran banyak pemuda setempat kerap mencari-cari kesempatan untuk sekadar melihat wajah cantiknya. Entah saat tarawih, saat menyiram bunga, atau saat bagi-bagi takjil.
- Iklan -
Meski begitu, Neng Iffar adalah tipe gadis yang pandai menjaga diri. Setiap kali berpapasan dengan lelaki, ia selalu menundukkan wajah. Kalaupun ada yang menyapa, ia hanya membalasnya dengan senyum ala kadarnya, lalu buru-buru pergi untuk menghindari hal-hal yang tak terduga terjadi. Namun entah kenapa, para pemuda nakal masih saja nekat mengiriminya surat cinta.
Sebab itulah, suatu hari, Neng Iffar curhat kepada Neng Aisyah bahwa ia sudah muak dengan pemuda-pemuda yang suka mengiriminya surat. Ia bahkan minta adik sepupunya itu untuk menyampaikan kepada si pengirim surat bahwa ia tidak akan pernah membalas cintanya, tidak akan pernah membalas surat-suratnya.
“Tapi jangan bilang Kakak tidak tertarik dengan Ustaz Alim, Aisyah tahu Kakak diam-diam sering memperhatikan ustaz ganteng itu,” goda Neng Aisyah saat Neng Iffar sedang kesal-kesalnya.
“Ih, sok tahu kamu, Dik! Siapa juga yang tertarik sama ustaz cuek itu,” balas Neng Iffar dengan senyum malu-malu.
Di lembaga pendidikan yang dikelola Kiai Nawawi, memang ada beberapa ustaz yang juga membantu mengisi program kegiatan Ramadan dengan kajian kitab dan tadarusan. Sebutlah Ustaz Alim dan Ustaz Mahmud di antaranya. Mereka berdua adalah ustaz yang paling aktif mengisi program kegiatan selain Neng Aisyah dan Neng Iffar. Maklumlah mereka berdua memang belum punya tanggung jawab keluarga dan rumah mereka juga dekat dengan lembaga.
Selain mengisi program kegiatan, Ustaz Alim dan Ustaz Mahmud juga mengabdikan diri sebagai khadim bagi keluarga Kiai Nawawi. Tugas mereka biasanya mengisikan air di kamar mandi, menyediakan kayu bakar di dapur, juga mengantar Bu Nyai belanja ke pasar kalau Neng Aisyah dan Neng Iffar kebetulan lagi sibuk dengan urusan lain.
Meski sama-sama mengabdi, Ustaz Alim dan Ustaz Mahmud memiliki karakter dan kecenderungan yang berbeda. Ustaz Alim begitu cuek dengan wanita, sementara Ustaz Mahmud cukup nakal. Namun jangan salah paham dengan kenakalan Ustaz Mahmud di sini. Ia memang suka mendekati gadis-gadis cantik, tapi itu dalam rangka ikhtiar menjemput jodohnya. Dan karena ini, Neng Iffar juga tak luput dari sasarannya, meski pada akhirnya ia harus dibuat kecewa.
Adapun Ustaz Alim selalu tak ambil pusing masalah wanita. Setiap kali ada kerabat atau tetangga menawarkan seorang gadis, ia selalu bilang belum siap berkeluarga. Namun sejatinya ia bukanlah belum siap, melainkan karena gadis yang ditawarkan tak pernah menarik hatinya. Asal tahu saja, Ustaz Alim memang menetapkan kriteria yang ketat untuk calon istrinya, dan itu ia lakukan bukan semata-mata demi dirinya, melainkan lebih demi calon anak-anaknya.
“Saya hanya ingin dapat istri yang bisa menjaga diri, Ustaz. Istri yang taat pada Allah, juga taat pada suami.” Begitulah jawaban Ustaz Alim saat ditanya oleh salah satu ustaz sepuh mengenai kriteria gadis yang diidamkannya.
“Kalau begitu, Neng Iffar sudah masuk dalam kriteriamu itu, Alim. Selain cantik dan alimah, dia juga salihah, insyaallah.”
“Ah, sampean jangan aneh-aneh, Ustaz. Saya ini siapa di hadapan Neng Iffar. Sungguh, saya tidak memiliki keberanian.”
Ustaz Alim sadar betul siapa dirinya. Ia bukanlah keturunan kiai seperti Neng Iffar, bukan pula keturunan priayi seperti kebanyakan teman-temannya. Ia hanyalah anak petani yang hidupnya melarat. Jadi ia tak mau memasang harapan yang muluk-muluk. Sebab, yang terpenting baginya adalah mendapatkan istri yang baik meski bukan Neng Iffar.
Karena itulah, Ustaz Alim tak mau menyia-nyiakan keistijabahan bulan suci Ramadan tahun ini. Di setiap sepertiga malam terakhir, ia selalu berdoa minta jodoh terbaik. Bahkan tak jarang doa itu diiringi linangan air mata setiap terngiang perkataan ibunya yang memintanya cepat berkeluarga, “Nak cepatlah temukan calon, sebentar lagi Lebaran, dan ibu merasa sedih saat mendapati kerabatmu selalu bertanya, kapan nikah?”
Namun, sampai Ramadan hampir usai, Ustaz Alim tak juga merasa mendapatkan petunjuk calon. Setiap hari, ia hanya sering berpapasan dengan Neng Iffar tanpa sengaja, dan gadis cantik itu selalu menampakkan senyum termanis. Tapi Ustaz Alim selalu bersikap cuek, atau lebih tepatnya berpura-pura cuek. Sebab ia tahu diri bahwa Neng Iffar bukanlah gadis yang pantas untuk dimiliki oleh lelaki biasa seperti dirinya.
Hari-hari Ramadan terus berlalu hingga akhirnya tibalah waktunya Neng Iffar harus meninggalkan kampung Anyar. Sebelum pulang, Neng Iffar menyempatkan diri berpamitan sekaligus minta maaf pada setiap warga yang datang, lebih-lebih pada keluarga dalem, para ustaz, juga para murid. Saat itu, wajah Neng Iffar seperti diselimuti mendung menyadari bahwa dirinya tidak akan berkumpul lagi dengan mereka.
Bersama beberapa keluarga dalem, Neng Iffar kemudian berangkat dengan sebuah mobil menuju pelabuhan. Sebelum jauh, ia melihat beberapa murid sempat melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Saat itulah air mata yang sedari tadi ia tahan tiba-tiba pecah. Ia menangis dengan suara yang begitu memilukan, dengan tubuh yang berguncang pelan. Sampai ia melupakan perjalanan. Sampai ia tiba di pelabuhan.
Sementara itu, Ustaz Alim tidak tahu menahu keadaan di luar. Sedari pagi, ia hanya meringkuk di rumahnya. Padahal ia tahu hari itu adalah hari perpisahannya dengan Neng Iffar. Sebagai sahabat, seharusnya ia datang untuk sekadar mengucapkan selamat tinggal. Namun entahlah, apa alasan yang membuatnya memilih untuk tidak menampakkan batang hidung?
Tiga hari sebelum Lebaran, di pagi menjelang siang, Ustaz Mahmud tiba-tiba mengunjungi rumah Ustaz Alim. Ustaz Alim tak terlihat di rumah itu hingga Subakir, ayahnya, yang menyambut dan menemaninya ngobrol. Melihat kenyataan yang tidak seperti biasanya, Ustaz Mahmud lantas bertanya-tanya dalam hati, ke manakah Ustaz Alim? Apa yang sebenarnya telah terjadi? Ia hendak bertanya langsung pada lelaki paruh baya itu. Namun urung karena tiba-tiba Ustaz Alim muncul dari balik pintu.
Subakir kemudian pamit ke belakang setelah Ustaz Mahmud ditemui Ustaz Alim. Ustaz Mahmud merasa terheran-heran melihat keadaan teman karibnya itu tidak seceria biasanya. Wajahnya tampak kusut seperti langit tersaput mendung pekat. Ia pun merasa tidak bisa menahan keinginannya itu untuk tidak bertanya. “Aku lihat keadaanmu tidak baik-baik saja, Lim. Sebenarnya apa yang telah terjadi?” Akhirnya ia memecah keheningan.
Ustaz Alim yang sedari tadi hanya bengong tiba-tiba terkejut. Ia segera menata perasaannya, air wajahnya, juga cara duduknya sebelum akhirnya menjawab, “Aku tidak apa-apa, Mud! Sungguh!” Ustaz Alim berusaha menyangkal.
“Aku tidak bisa dibohongi, Lim. Kita sudah bersama sejak kecil. Tapi tak masalah jika kamu memang tak ingin aku tahu masalahmu. Kedatanganku memang bukan untuk itu. Melainkan untuk menyampaikan titah Kiai.”
“Memangnya Kiai memintamu ke sini untuk apa?” Ustaz Alim bertanya heran setelah terdiam cukup lama.
“Beliau memintamu datang menghadap.”
Ustaz Alim terdiam sebentar. “Baiklah, kamu pergilah duluan. Nanti aku nyusul,” katanya diakhiri embusan nafas berat.
Setelah mandi dan berpakaian lengkap, Ustaz Alim langsung berangkat menuju dalem Kiai Nawawi. Di sepanjang jalan, ia menerka-nerka, sebenarnya ada apa Kiai Nawawi tiba-tiba memanggilnya. Sampai akhirnya ia tidak menyadari telah sampai di pelataran dalem.
Tak disangka, Kiai Nawawi sudah menunggu kedatangannya di langgar.
“Duduk sini, Lim! Kali ini saya ada keperluan khusus sama kamu,” pinta Kiai Nawawi usai Ustaz Alim menguluk salam dan mencium tangannya.
Ustaz Alim manut saja. Ia duduk di sisi Kiai Nawawi seperti titahnya. Dengan hati yang berdebar-debar, ia menunggu apa yang sebenarnya ingin didawuhkan Kiai Nawawi pada dirinya.
“Alim, ibumu kemarin ke sini. Dia minta saya membujukmu, agar kamu cepat nikah.”
Ustaz Alim terkejut. Ia tak mengira ibunya bakal membuat masalah hatinya lebih pelik lagi.
“Bagaimana mungkin, Kiai? Sampai saat ini Alim masih belum punya calon.”
Kiai Nawawi terdiam. Beliau menatap wajah Ustaz Alim seolah-olah sedang membaca hatinya. Membaca rahasianya.
“Kamu tak usah khawatir, Lim. Calonmu sudah ada, Kok!”
Ustaz Alim semakin kebingungan. Ia takut calon yang diajukan Kiai Nawawi nanti tidak sesuai harapannya. Namun Kiai Nawawi bukanlah kiai kaleng-kaleng. Ia bisa menebak dengan tepat, calon seperti apa yang diinginkan santrinya yang satu ini.
“Alim, kamu suka Nduk Iffar, kan?” Kiai Nawawi mulai menodong. Membuat Ustaz Alim terkejut dan tak tahu harus menjawab apa.
“Saya tidak tahu, Kiai,” jawab Ustaz Alim ragu-ragu. Ia merasa benar-benar kebingungan. Jika menjawab “suka”, ia takut akan ditertawakan sebab di situ juga ada Neng Aisyah, dan jika menjawab “tidak” ia akan membohongi dirinya sendiri.
“Mana boleh ada jawaban seperti itu, Lim! Itu bukan jawaban yang saya inginkan!” Kiai Nawawi mencoba menyangkal jawaban Ustaz Alim sembari bergelak ringan.
Ustaz Alim kemudian hanya terdiam. Terdiam cukup lama. Air peluh di keningnya mengurai.
“Baiklah, kalau begitu saya anggap kamu menyukainya.” Kiai Nawawi akhirnya memutuskan.
“Tapi, Kiai….”
“Tidak ada tapi-tapian, Lim. Kamu tenang saja. Semuanya biar saya yang urus. Termasuk lamaranmu untuk Nduk Iffar.”
“Tapi bukankah ini pemaksaan, Kiai? Bagaimana jika justru Neng Iffar tidak menyukai saya?”
“Kamu hanya perlu percaya, Lim. Nduk Aisyah sudah memberitahu saya semuanya.”
Ustaz Alim kembali terdiam. Perasaannya campur aduk antara haru dan bahagia. Haru karena tak pernah menyangka sudah ada calon, bahagia karena Neng Iffar ternyata adalah gadis yang dikirimkan Tuhan untuknya. (*)
Kota ukir, 2021
ALIM MUSTHAFA, lahir dan tinggal di Sumenep Madura. Suka menulis puisi dan cerpen. Karya-karyanya sudah tersiar di pelbagai media cetak dan digital seperti Media Indonesia, Republika, Solopos, Rakyat Sultra, Basabasi.co, Lensasastra.id, dll.