Oleh : Tjahjono Widarmanto**)
/*/
Menulis geguritan sebenarnya sama dengan menulis puisi modern, karena geguritan merupakan bentuk puisi modern dalam bahasa Jawa. Yang membedakannya hanyalah media ekspresi bahasanya saja. Karena pada hakikatnya sama, maka persoalan yang dihadapi para calon penggurit sama dengan yang dihadapi para calon penyair, yaitu mereka selalu mengalami kesulitan bagaimana dan darimana memulainya. Persoalan ini makin pelik bagi para guru bahasa Jawa mereka tidak hanya dituntut untuk bisa menulis geguritan, namun juga harus mampu mengajak dan mengajarkan siswanya agar dapat menulis geguritan. Idealnya para pengajar sastra harus memiliki pengalaman dalam bersastra. Sehingga guru bahasa Jawa, idealnya harus memiliki pengalaman bersastra, yaitu pengalaman mencipta teks sastra Jawa, pengalaman membaca teks sastra Jawa, dan pengalaman menganalisis teks sastra Jawa. Dengan memiliki pengalaman bersastra itu maka diharapkan guru mampu menjadi model yang ideal.
Kesulitan tadi seringkali saya temui dalam berbagai pertemuan sastra, workshop kepenulisan dan yang sejenis itu. Tentu saja jawaban dari pertanyaan ini bisa amat beragam dan amat subjektif. Tiap-tiap penggurit (penyair) atau tiap-tiap orang yang mempunyai pengalaman menulis geguritan akan memiliki jawaban yang berbeda dan beraneka ragam. Demikian juga tulisan sederhana ini akan memaparkan jawaban dari pertanyaan di atas berangkat dari pengalaman pribadi saya yang kebetulan nglakoni menulis puisi dan geguritan hampir lebih dari 20 tahun. Tentu saja, karena berangkat dari pengalaman maka paparan ini jelas sangat subjektif.
Siapa saja bisa menulis geguritan! Siapa pun boleh menulis geguritan, tak pandang bulu apakah dia memiliki profesi sebagai dokter, ustadz, guru, buruh, atau profesi lainnya boleh-boleh saja dan sah-sah saja untuk menulis geguritan. Juga, geguritan boleh ditulis siapapun dan tingkat pendidikan apapun. Seseorang yang menulis geguritan tak harus menunggu dia lulus sarjana Bahasa Jawa. Geguritan boleh ditulis oleh orang berpendidikan SD hingga profesor sekalipun. Bahkan, seeorang yang tak pernah mengenyam pendidkan formal pun boleh-boleh saja menulis geguritan asalkan dia mengerti bahasa Jawa dan memiliki kemampuan berbahasa tulis.
- Iklan -
Mengapa seseorang menulis geguritan? Dorongan atau rangsangan seseorang untuk menulis geguritan banyak sekali. Pada dasarnya, seseorang menulis geguritan karena adanya keinginan untuk berbagi ’pengalaman dan perasaan’. Dia ingin membagi pengalaman atau membagi perasaannya kepada para pembaca. Misalnya, dia ingin berbagi pengalaman dan perasaannya saat kasmaran, patah hati, sumpeg pada dirinya sendiri, marah melihat situasi sosial, marah atau rindu pada Tuhan, optimisme hidup, menangisi diri sendiri, simpati dan empati pada orang lain, menertawakan dan mengajak orang lain tertawa, berbagi filsafah hidup, dan sejuta pengalaman dan perasaan lain. Pada pokoknya geguritan adalah penyampaian ide, pengalaman, dan perasaan.
/1/
Berangkat dari Pelukisan Alam/ Citraan Suasana Alam
Menulis geguritan bisa dimulai dari banyak pintu. Salah satu rangsangan yang paling mudah mudah untuk menulis geguritan adalah berangkat dari pelukisan alam, penggambaran alam atau melukiskan suasana alam tertentu. Ssetiap orang pasti memiliki pengalaman melihat alam di sekelilingnya. Dari melihat alam itu bisa menjadi langkah awal untuk menulis sebuah geguritan. Mari kita lihat contoh di bawah ini:
TEMBANG TENGAH WENGI
(Andi Kosim)
Angin sumilir mbeset kulit
Ing tengah wengi kang saya wingit
Bun padha kumlawe ngawe-awe
Jangkrik wis leren ngerik
Mung manuk dares sing isih methangkring ing kabel telpon
Ngarep kontrakanku…
Kanca-kancaku wis padha turu
Kari aku ing ngarep komputer
Ngrungokake sekar macapat
Ing tengah weng iki
Pamujiku muga ora lali
Marang omah iki
Sing nguntabake sakabehe pangimpen
Dadi kasunyatan jati.
(PS-23/2007)
Kalau kita perhatikan benar, geguritan di atas sebenarnya sangat sederhana. Larik-lariknya lebih banyak mennggambarkan suasana malam yang dingin (angin sumilir mbeset kulit), embun yang melambai-lambai, suara jangkrik yang berderik, hanya ada seekor burung dares yang diam di kabel telpon depan rumah kontrakan. Baru pada bait terakhir diberi sentuhan pengguritnya dengan ungkapan syukur /pamujiku muga ora lali/marang omah iki/sing nguntabake sakabehi pangimpen/dadi kasunyatan sejati. Penggurit di atas memulainya dari citraan alam yang kemudian ditarik ke dalam dirinya atau ke dalam persoalan dirinya.
Contoh berikut menyajikan teknik yang sama namun dengan endapan kontemplatif yang lebih dalam:
SINAU MARANG ALANG-ALANG
(Alie Emje)
pingin dakcecepi embun kang mrentul
ing saben pucuk alang-alang
supaya ati tansah teles memes
sakdurunge srengenge jumedhul
nyebar cahya marang sesuketan
sakdurunge sumelet nrobros dhadha
gampang rengka
sakdurunge dhadha rumpeg gampang cubriya
sadurunge ati runtik lan melik
embun-embun nelesi gegodhongan saka lebu
aku lingsem kaya watu-watu
ndlesep nylamur pandulu
ing sangisore ngrembuyung alang-alang
dudu alang-alang kang ngumpetake watu-watu
memalangi ombere alang-alang
lemah-lemah kang kena pepalang
kanggo pandhelikan satu gegremetan
pengin dakcecepi embun kang mrentul
ing saben pucuk alang-alang
supaya ora gampang sesatru
marang watu-watu.
(Jaya Baya 07/Okt, 2008)
Dari citraan alam yaitu alang-alang tersebut, Alie emje tak hanya berhenti pada pelukisan alam namun ditarik kedalam sebuah renungan ajaran hidup atau filosofi hidup dalam menghadapi realita. Ada juga penggurit lain yang menggunakan teknik pencitraan alam ini dengan menariknya atau menghubungkannya dengan perasaan hatinya saat itu. Saya pernah menulis geguritan dengan teknik semacam ini:
APA KOWE WUS KELANGAN LACAK DALANNE PURBA
ing saurute dalan-dalan kang sepi
katon wewayanganmu lagi namatake garis candhik ala
kang nggarit pucuke surup bang wetan
sumitra, apa kowe isih kemutan marang
tembang-tembang kinanthi, kang ngabarake
kapange gegodhongan marang tumetese bun wanci esuk
apa kowe wus lali marang lelagon dolanan kang
ngawe-ngawe dina kang wus kawuri
o, sumitra, rungokna iku, swara tembange bapa biyung
kang wuyung marang baline putra kinasih
sumitra, delengen telaga-telaga kangen padha mil
ing saurute dalan-dalan wutah getihmu. delengen
telaga kuwi bakal dadi ombak samodra kang tansah
kapang marang gigire bantala
dhuh, sumitra, apa kowe
wus kelangan lacak dalanne purba!
(Jawa Anyar no 14/III/1995)
/2/
Bermula dari Cinta
Di awal tulisan ini sudah saya utarakan bahwa pada hakikatnya menulis geguritan adalah menulis dan membagi pengalaman. Pengalaman yang dimaksud bisa mengacu pada dua jenis pengalaman, yaitu pengalaman realitas dan pengalaman batiniah. Dua jenis pengalaman ini sudah kita miliki. Pengalaman realaitas adalah pengalaman nyata yang pernah kita peroleh dan kita merasakan langsung pengalaman tersebut. Misalnya kita pernah mengalami kemiskinan, lapar, jatuh cinta, patah hati dan sebagainya.
Pengalaman jenis kedua, yaitu pengalaman batiniah (sering diistilahkan dengan pengalaman imajiner) diperoleh dari hasil mengamati, menghayati, dan membaca.
Contoh, kita akan menulis geguritan tentang mati, tentu saja kita tak harus mati terlebih dahulu, namun kita bisa menghayatinya saat takziah, menjenguk orang sakit, membaca buku tentang alam kubur, membaca buku tentang psikologi kematian, dan sebagainya.
Geguritan pastilah merupakan ekspresi pengalaman personal penulisnya sehingga walau yang ditulis mungkin pernah dialami orang lain namun dalam ekspresi bahasanya jelas berbeda satu dengan yang lainnya. Cinta, misalnya, merupakan pengalaman yang setiap orang pasti pernah mengalami. Pasti kita pernah jatuh cinta, kasmaran, atau wuyung pada kekasih hati. Saat kita jatuh cinta, suasana hati pasti sedang peka. Saat inilah bisa menjadi pijakan untuk mulai menulis geguritan.
TATAPAN TRESNA
(Alie Emje)
Surup ngipas-ngipaske godhong pelem
Angin tetembangan
Terus nglangut
Tatapan mripat amem
Ati terus
Wicara
Apa iki pinangka tandha ketaman asmara.
(Panjebar Semangat, 29/2007)
Bisa pula ditulis dengan agak nakal, seperti yang ditulis oleh Sugeng Wiyadi:
YEN SABEN KANGEN
Yen saben kangen tambane rangkul-rangkulan
sliramu lungset ing rangkulanku
yen saben kapang obate ambung-ambungan
lambeku memet jroning lambemu
yen rangkul-rangkulan lan ambung-ambungan
wis dadi pakulinan
apa wis tuntas kangen lan kapang?
kulitku lan kulitmu sakala mlepuh
jalaran kulit kesinungan rasa
mula rilakna kangenku angkrem ing angen-angen
lan kapangku ngrembyang ing awang-awang
amrih kulitku lan kulitmu tetep jinaga
ora kobong dening ubaling geni asmara
1994
(antologi Pisungsung, 1995)
Cinta, tentu saja tak hanya dimaknai sebagai perasaan sayang seseorang kepada lawan jenisnya, namun bisa menyentuh dimensi yang lebih luas, misalnya cinta seserorang kepada ibunya seperti pada geguritan yang dianggit alm. Yudhet di bawah ini:
Ibu
dakpocok saujung godhonge gedhang raja
lan dak gelar samburine lawang tumuju marganing gegayuhan
kathi ening lan eneng dakselehake jasadku gumlethak ing
gapuraning tresnamu
ibu,
koksawurake rahmat ing sakojur wakku
kokelus sukmaku nganggo alusing tangan sihmu
kabuntel karep kagenggem tekad
karumat kinurmat dadi jimat
minangka cagakke gegadhangan
ibu,
tirta seta saka pangepuhing pinjung sutra
kang tumetes saka telenging sukmaku
tangeh lamun bakal tinebusan
sanajan aku kuwawa mbendung samodra
lan caos pisungsung sawakul cepaka
ibu,
sineksenan ibu bumi bapa angkasa
bapa rina ibu bengi
amung siji prasetyaku
dakgulawentah putu-putumu
kaya pangrengkuhe ibu marang aku
kareben tansah siyaga ing jurit
unggul ing pabaratan
minangka bektiku marang ibu
(Srbaya Post, 26 Februari 1995).
Cinta pada Tuhan bisa diekspresikan pula dalam bentuk geguritan, menjadi tema religius seperti di bawah ini:
TAHAJUD
(mm.Bhoernomo)
Sajadah warisane ibu tansah gumantung ing canthelan
kumlebat kena panyuntake kipas angin
setya nggugah ngorok sesengguran
kalela-lela impen katalompen
hawa ancles wiwit rumesep
aku dhendhepe karep
dosa-dosa iki kudu walaka marang sapa
marang saben ngaling-alingi
dosa-dosa kang tansah dukjumputi dakcelengi
ing sepine wengi
ora ana sapa-sapa
ing telenge ati
aku bisa walaka
sajadah warisane ibu kang tansah gumantung ing canthelan
kumlebat nuduhake cathetan-cathetan
saka sajadah tansah daksimak
panyendhu saha panyurunge ibu
kang tansah nyuntak-nyuntak.
(PS/02/2008)
ALIF
(Inggih Sunarto)
alif laam mim
wola wali aku sinau ngaji
gumeter ngapalake alif Paduka
gumrobyos kringet ndulu alif Paduka
alif laam mim
dakambal-ambali anggonku ngaji
liwat alif aku tepung
liwat alif aku Tresna
marang alif aku aora duwe daya
dhuh Paduka
ALLAHUAKBAR
/3/
Refleksi Diri dan Filosofi Hidup
Geguritan bisa ditulis untuk hal yang remeh temeh atau sebaliknya untuk mengekspresikan hal yang serius seperti untuk merefleksikan diri atau untuk menawarkan sebuah filosofi hidup. Refleksi diri, penggurit mengandaikan dirinya sebagai ‘sesuatu’ yang memiliki nilai filsafah hidup. Penggurit boleh membayangkan dirinya sebagai samodra, raja, presiden, daun, pohon, matahari, embun bahkan setaraf empu sekalipun. Seperti yang ditulis penggurit David harijono yang mengidentifikasikan dirinya sebagai pangpang (ranting):
GURIT PANGPANG URIP IKU
pangpang aweh pepadhang
awit gegodhongan alum garing
padha runtuh katendhang
warayang
pangpang ateges ngrembaka
awit uwit gedhe cilik
urip anglur selur
nunggak semi
pangpang iku watwating budaya
mracihnani isih makantare budi
kwagang mikul sasanggeman
nadyan jaman nyakramanggilingan
singset muter pangpang
tetep dadi gondhelan
samangsa kemladheyan ngajak sempal
pangpang uwotw panggayung
nahan
pingget perih tekan getih
ngampet pasiksan curesing pamrih
pangpang
dadi bunci dadi celengan
pating krantil sing pengin golek pencokan
pangpang mesem perih
aku iki sangpepadhang
awit urip iku ana ing aku
pangpang
(Jaya Baya 29/Maret 2008)
Tak hanya sekedar merefleksikan diri, sang penggurit bisa menulis geguritan untuk menawarkan filsafah hidup yang dia miliki. Dengan kata lain melalui geguritan dia ‘mengajarkan” sebuah pandangan hidup kepada para pembacanya, seperti yang dilakukan Rini T Puspo
MANGSA NGERTIA
Ditangisana mangsa`weruha
dioyak mangsa ngertia
ora bakal mandheg tumoleh
saderma miling tembung warisan
ora kleru, ngetut lakune jaman
mbujung impen lan kekarepan
awit jantraning ngaurip
manut obah osiking kahanan
pitakonku:
nganti kapan anggonmu lumayu?
nganti ancik-ancik menara gadhing?
ngemut legine gula
eman nglepeh yen manis dirasa
aja dadi pepalang tembung kang karungu
terus, terusa jumangkah
mapag esem guyu
wanti-wanti elingku: keduwung tibane mburi.
(PS-24/2007)
Saat merefleksikan diri, penggurit tidak selalu merefleksikan diri sebagai seseorang yang “hero“, namun bisa pula mereflesikan diri sebagai manusia biasa yang kadang-kadang bahkan satire atau sinis terhadap diri sendiri. Hal ini seperti ditulis oleh Mbah Brintik:
AKU IKI PENGGURIT
Aku iki penggurit kecepit
nanging sugih anggit
Aku iki penggurit ora duwe ajang,
nanging isih bisa dhigar
Aku iki penggurit Jawa,
uripku kaningaya,
naging isa bisa nebah dhadha
adoh kang tak jangka
Dhuh Gustiiii…
apa aku bisa nggayuh rembulan
tanpa elar kang megar?
apa aku bisa nguwot ogal-agil
tanpa sikil?
Aku pancen penggurit …
(PS-02/2008).
/ 4/
Melalui Hasil Pengamatan/Observasi Fenomena dan Realita Sosial
Segala sesuatu yang bisa kita lihat bisa menjadi bahan yang menarik untuk dijadikan geguritan. Di sekeliling kita banyak fenomena sosial yang bisa menjadi rangsangan untuk dijadikan geguritan. Suatu contoh misalnya, setiap lebaran kita melihat fenomena mudik yang bisa ditulis menjadi geguritan seperti di bawah ini.
LEBARAN
(Sus S Hardjono)
BALI MULIH
Bali mulih ing susuhe dhewe-dhewe kaya
Manuk-manuk sing wis mabur lunga
Ing benua liya
Mulih bali ana ing asale
Nyuwun berkah pangestu karo simboke
Kebak dosa lan salahe
Sakwise siyam ing wulan Ramadhan
Mulih bali ing fitrah
Suci maneh tanpa dosa
Mbukak lembaran anyar
Kaya kain mori putih
Wonten ing taubatan nasuha
Gusti nyuwun pangapura
Sedaya dosa igkang disengaja lan mboten sengaja
Tasbih dan dzikir kagunganMu
Sedaya jagat khidmat memuji asmaMu
Takbir lan tahmid ing ArsyMu
Sujud lan syukur kagem Paduka
Lapangan, mesjid, sujud
Ing dina Fitri
Resik kaya kapas
Jembare ati segara
(PS-44/2007)
Seringkali kita juga tak puas bahkan protes terhadap fenomena sosial yang tergelar dihadapan kita. Ketidakpuasan tersebut bisa kita ekspresikan menjadi geguritan yang mengandung kritik sosial, seperti di bawah ini:
AKU, ANAKKU, LAN TV
(Tjahjono Widarmanto)
Aku
lan
anakku
kelangan lacak ana ing tabung kaca kuwi
saben detik salin rupa, mancala putra mancala putri
: aku dadi batman
anakku dadi robin
anakku
malih mac giver
aku
macak dadi jet lee
aku kebak gaya, nganggo jas kaya mentri penerangan
lan anakku
malih dadi suryadi, nyandhing kursi
dumadakan, salin rupa dadi penyanyi
njerit heavy metal
lan
nangis nguguk ing telenovela
saiki, aku, anakku
gemeter nglari ana ing ngendhi
rupa sing aseli.
Sawangen, tanganku, tangan anakku
Kebak getih, tali, lan tangis!
(Mekar Sari, Juli 1997)
Kadang-kadang kita pernah berkunjung atau tinggal di sebuah kota dan tersentuh oleh keberadaan dan kenangan pada kota tersebut. Mungkin karena makanan khasnya, gadis-gadis cantiknya, keidahan kotanya, dan sebagainya. Itu menjadi bahan untuk ditulis menjadi geguritan
BADUNGAN
(M.Moersito)
Biyen
Kalimu mili getih
Getihe para pejuang kamardikan
Biyen
bathang gemlethak sak dawane lurung
jasade para pahlawan pindha sawung
Saiki
Setan genthayangan ngumbar swara
Jejogedan turut dalan
Sinambi ngelus ngelus dhadha
Wanita pelanyahan
Bandungan…oh Bandungan
Jenengmu moncer kumandhang
Dosamu sundhul wuwungan
(PS-51/2006)
/5/
Menggali dari Legenda, Dongeng, Mitos atau Folkklore
Mursal Estern pernah berteori bahwa sastra memiliki peluang menampakkan arkaisme atau kepurbaan. Sastra bisa menjadi wahana untuk menceritakan kembali sebuah legenda. Cerita pewayangan, misalnya, bisa menjadi bahan yang menarik untuk diciptakan kembali dalam bentuk geguritan. Tak hanya menceritakan kembali dalam bahasa geguritan namun penggurit bisa memaknai kembali atau memberi penafsiran yang mungkin amat berbeda dengan tafsie sebelumnya. Mari kita lihat geguritan di bawah ini
Bethara Kala
(Sunardi KS)
kama kang nglambrang nalika isih jejaka
saiki ndedel gedhe dadi bethara kala
uluk-uluk jroning dhadha winga-winga
tanpa suwara
kang katon wicaksana kae jalaran
kokruket pinangka kanca
kang pinilih pinercaya
ngembani panguwasa
wisa rasa gula
kama kang nglambrang saparan-paran
dadi memala nuwuhake pageblug
ndedel mendhuwur comondhok dhadha
keklambrangan sirah
mlebu metu mripat, irung saha kuping
ngawe-awe nglancipake kuku
kama kang nglambrang saparan-paran
ndedel dadi bethara kala
ang dadi memangsane
ora ateges diklethak saraga balunge
(JB. No 39/Mei 2008)
Legenda, mitos, dongeng atau folklore yang bisa digali sebagai bahan geguritan tak hanya diperoleh dari khazanah tanah air saja, namun bisa menggali dari sumber tradisi lisan manca negara. Seperti yang dilakukan oleh I Kunpriyatno yang menggali dongeng Yunani Kuno Oeidipus Rex:
CANGKRIMANE SPHINX
Sphinx teka ing negara sing tansah dikebaki
kasedhihan lan kasangsaran kuwi banjur kandha
”bedheken cangkrimanku. Yeng ana sing bisa
mbedhek negara iki bakal pulih kaya wingi uni
lan kowe kabeh bakal slamet uripmu.
cangkrimanku mangkene: apa sing nalika esuk
sikile papat, nalika awan sikile loro
lan nalika wayah sore sikele telu?”
satemene wangsulane cangkriman mau ora liya
perlambange manungsa. Nanging wong-wong ing negara
kuwi ora ana sing bisa mbedhek
jalaran pancen wis padha lali marang
hakekate dhewe kadidene manungsa
sphinx banjur lunga nggawa ati sing perih
lan cuwa. Ninggalake negara sing nganti seprene
panggah dikebaki bencana lan mala sing tansaya ndadi
(apa jenenge negara kuwi ya lan ing ngendi
Panggonane? Ah, aja-aja…..)
(JB. No 50 Agustus 2007)
/6/
Akrostik (Sandi Asma)
Akrostik adalah geguritan yang huruf-huruf pangkalnya bila dibaca dari atas ke bawah menjadi nama orang, yang biasanya adalah nama pengguritnya. Sebenarnya tak hanya nama pengguritnya, namun bisa nama orang lain, pacar, misalnya, atau nama kota,
nama peristiwa dan sebagainya. Kita lihat geguritan Dukut di bawah ini:
PANYEBAR SEMANGAT
Pambudidaya mrih luhuring bangsa
Arih angudi lestarining basa jawi
Nrajang sela-selaning kabudayan manca kang wus sumebar
Yektine pra mudha mudhi wus koncatan aruming basa jawi
Eman-eman yenta sirna kalindhih
Babar pisan tanpa tilas
Ayo kanca rowang gumolong gilig ing tekad
Rawe-rawe rantas malang-malang putung
Sedyane ngleluri aruming basa
Esthine iku kwajibanira
Mendhep mantep tanpa kuciwa
Andhap asor syarat lakunira
Netepi darmaning agesang
Guyup rukun bebarengan
Angudi kamulyaning bangsa
Tetep teguh ngregem basa jawi.
/7/
Humor
Andaikan keenam pintu masuk menulis geguritan tersebut di atas, dianggap sulit dan membuat jidat berkerut, kita bisa masuk melalui pintu ke tujuh yaitu humor. Kita bisa menulis geguritan dengan cara yang cair, jenaka, main-main, dan sedikit nakal, seperti Slamet Mul di bawah ini:
Kabuka
Angin sumilir
Semriwing
Nyingkap rok
Keton pupune kuning
Aku mrindhing
Deweke njerit
Njenggirat
Membaca geguritan’nakal’ di atas mau takmau kita akan tersenyum. Bisa pula kita kembangkan dengan cara ‘meledek’ teman kita dengan cara lucu, main-main tapi tak boleh kasar. Syaratnya tentu saja yang diledek tidak boleh marah. Jika sungkan meledek teman, maka kita bisa meledek diri sendiri, menertawakan diri sendiri sambil menyindir orang lain. Seperti yang dilakukan Turiyo Ragilputra:
WETENG
Aku duwe weteng
Saben dina daktutupi
Dakklambeni dakkaosi
Karepku ben ora ngisin-isini
Wetengku iki
Saben dina mundhak gedhi
Bunder metheng-metheng
Kaya wetenge wanita isi bayi
Embuh weteng apa
Kok mekungkung kaya gunung
Yen dakklambeni
Mblendhis kaya kuwali
Wetengku iki isine warna-warna
Sega sate jangan
Oseng-oseng opor kuluban
Pancen weteng
Sing apa bae bisa mlebu bleng
Banyu lan panganan
Panggangan apadene goreng
Uga aspal krokos lan semen
Bandar usuk lan kusen
Wetengku iki
Saya suwe saya mledhing gedhi
Nanging isine dudu jabang bayi.
(PS-26/2008)
/**/
Kita sudah melihat ada tujuh pintu yang bisa kita lalui untuk memasuki penciptaan geguritan. Pintu mana yang dipilih tentu saja amat bergantung pada pribadi masing-masing. Kalau ternyata ketujuh pintu tersebut masih merupakan lorong yang gelap kita bisa mencari kemungkinan-kemungkinan lain. Bahkan, bisa membuat pintu sendiri. Yang penting agar trampil menulis geguritan kita harus banyak membaca. Membaca.Membaca berbagai geguritan dan tak putus menulis.menulis. dan Menulis.
Untuk mengakhiri catatan ini perlu saya sampaikan bahwa seorang yang menulis geguritan tidak harus untuk jadi penggurit (penyair). Namun, kita sebagai seorang guru harus menulis geguritan untuk mencicipi pengalaman bersastra sehingga kita bisa menularkannya pada anak didik kita. Paling tidak kita bisa bercerita atau menampilkan geguritan kita sebagai sebuah model. Dan, saya yakin anak akan mempunyai kebanggaan bila guru juga mampu menulis geguritan. Dan, yang lebih penting lagi, dengan menulis geguritan kita bisa mengaktualisasikan diri sendiri, memahami diri sendiri, memahami orang lain, memahami manusia, kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Selamat menempuh jalan kreatif!********
*) Tjahjono Widarmanto, adalah seorang penyair dan guru di SMA 2 Ngawi. Beberapa kali memenangkan lomba penulisan karya sastra