Oleh S. Prasetyo Utomo
SESUNGGUHNYA pergelaran wayang kulit di Indonesia telah dikembangkan dalang dengan reproduksi budaya pada tiga hal: religiusitas, filosofi, dan mitologi. Penciptaan kembali religiusitas, filosofi, dan mitologi dalam pergelaran wayang inilah yang menyebabkan pertunjukan ini tak bisa dipandang dari sudut sempit kaum puritan agama, yang memunculkan fatwa: mesti dimusnahkan. Para dalang yang beragama Islam telah melakukan penciptaan kembali pergelaran wayang selaras dengan napas spiritualitas, pandangan hidup, dan mitos-mitos semanjak zaman Walisongo.
Terciptalah dialog antara MUI Jawa Tengah dengan Pepadi pada 26 Februari 2022 di Gedung Baznas, Jalan Menteri Supeno 28 Semarang. Dialog ini dirancang dan dilaksanakan untuk mencari titik temu konflik antara dalang dan ulama. Dari dialog itulah kemudian tercapai titik temu pandangan dan kesadaran baru akan masa depan pertunjukan wayang kulit dan syiar agama.
Dijelaskan Bambang Sulanjari bahwa pergelaran wayang telah berkembang semenjak abad 9. Wayang dalam bentuk pipih sudah diciptakan semenjak zaman Majapahit. Karena pergelaran wayang lebih dulu hadir sebelum syiar Agama Islam, terciptakah reproduksi budaya, yang memaknai kembali religiusitas, filosofi, dan mitologi. Dalam pandangan Prof. Dr. Sri Puryono, KS MP, reproduksi budaya pertunjukan wayang zaman Islam mencakup bentuk fisik wayang, iringan, sunggingan, cerita, filosofi, tokoh baru yang diciptakan (punakawan), dan perkembangan karakter tokoh.
Wayang yang terus-menerus dikembangkan dalam wilayah estetika, dengan ajaran adiluhung, bermuatan spiritualitas – meskipun kemudian dikemas dalam dunia hiburan – sungguh menjadi paradoksal dalam pandangan kaum puritan agama. Padahal religiusitas pergelaran wayang yang bersifat profetik, kesufian, telah dikembangkan dalam lakon “Dewa Ruci” dan “Wahyu Makutharama”.
***
DALAM dialog antara Komisi Seni Budaya MUI Jateng dan Pepadi itu disingkap juga kesadaran bahwa sesungguhnya pergelaran wayang selaras dengan harmoni kehidupan masyarakat Jawa, yakni rukun dan rasa hormat pada sesama. Dalang berperan sebagai dalan, petunjuk bagi manusia yang memerlukan kebenaran hidup. Karena itu, diperlukan komunikasi antara dalang dan ulama agar wayang dipahami sebagai penerang jalan hidup manusia.
- Iklan -
Diperlukan reproduksi budaya, bahkan dekonstruksi agar pertunjukan wayang tidak menjadi arogan, sarkastis, atau mencipta konflik-konflik beragama. Wayang bertolak dari kisah Ramayana dan Mahabharata, yang dikemas kembali agar bisa mewarnai syiar Islam dengan metafora. Tentu saja syiar Islam itu dikemas secara kontemplatif, lembut, dan persuasif.
MUI dan Pepadi mencapai kesepatan untuk mengambil langkah memberi kesadaran pada pihak-pihak ulama yang belum memahami benar syiar Islam yang selama ini dikembangkan dalam pergelaran wayang. Akan diciptakan dialog secara berkala di antara tokoh-tokoh ulama dan dalang wayang kulit, untuk mengukuhkan harmoni syiar Islam.
Wayang sebagai budaya adiluhung perlu dilestarikan sebagai kreativitas sejalan dengan perkembangan teknologi. Kreativitas ini akan memberikan ruang bagi pertunjukan wayang untuk dipahami kalangan masyarakat luas, termasuk kaum ulama, anak-anak, dan generasi muda yang sedang tumbuh dan berkembang.
MUI dan Pepadi perlu mengadakan diskusi antara dalang dan dai dalam lingkup nasional agar tak terjadi kesalahpahaman dalam pandangan dan penafsiran terhadap pertunjukan wayang. Wayang yang dibawakan begitu banyak dalang, dari berbagai sumber, aliran, dan kepentingan pergelaran, telah memunculkan berbagai ragam pergelaran dan penafsiran penonton. Karena itu, perlu diciptakan dialog, agar pertunjukan wayang tidak dianggap sebagai tradisi yang menyimpang dari ajaran agama dan mesti dimusnahkan.
***
BEBERAPA rekomendasi muncul dan berkembang dalam dialog MUI dan Pepadi. Di antaranya muncul gagasan dari Pepadi agar profesi dalang memperoleh perlindungan dari ketajaman fatwa ulama. Hujatan yang disampaikan ulama, bahkan somasi ulama yang ditimpakan pada pertunjukan wayang yang dilakonkan dalang, menjadi sebuah ancaman daya cipta mereka. Akan tetapi, di sisi lain, para dalang pun perlu melakukan reproduksi budaya secara metaforis. Dalam pandangan Triyanto Triwikromo, syiar Islam itu perlu “menitis” secara estetis dalam pergelaran wayang agar pertunjukan tidak vulgar dan sarkastis.
Berkembang pula kesepakatan antara MUI dan Pepadi bahwa perlu mediasi antara tokoh-tokoh yang berseteru dalam pertunjukan wayang kulit. Perseteruan dan konflik ini tak menguntungkan bagi dalang, ulama, dan masyarakat sebagai penonton dan penafsir wayang.
Kegelisahan MUI dan Pepadi yang paling mendasar justru fokus pada gagasan untuk melakukan sosialisasi wayang pada anak-anak dan generasi muda. Triyanto Triwikromo dengan sangat cemerlang membuka kesadaran akan daya cipta wayang yang bisa dikembangkan dengan banyak kemungkinan dan media untuk sampai pada masyarakat penikmatnya. Daya cipta itu dikembangkan seiring dengan syiar Islam yang kontemplatif.
***
*) S. Prasetyo Utomo, Komisi Seni Budaya MUI Jateng, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.