Judul Buku : Aroma Wangi Anak-anak Serambi
Penulis : Marwanto
Penerbit : Poiesis Indonesia
Cetakan : Pertama, November 2021
Tebal : vi + 102 halaman
ISBN : 978-623-97730-9-0
Buku ini merupakan kumpulan cerita pendek (cerpen) karya Marwanto, salah satu sastrawan garda depan Kulon Progo Yogyakarta. Salah satu cerpen di buku ini, yang berjudul Aroma Wangi Anak-anak Serambi –kemudian dijadikan judul buku- berhasil memenangi dalam Lomba Menulis Cerpen Tingkat Nasional 2021 bertema “Membumikan Nilai-Nilai Pancasila’ yang diadakan Universitas Negeri Malang, membuktikan kepiawaiannya dalam menulis cerpen.
Buku yang terdiri dari lima belas cerita pendek ini ditulis dalam rentang waktu yang lama (2004-2021). Dari lima belas cerpen di buku ini, dua belas diantaranya pernah dimuat media cetak dan online (Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Koran Merapi, Majalah Gong, Basabasi, dan Cendana.news), dua cerpen dokumentasi penulisnya dan satu cerpen memenangi lomba sastra tingkat nasional.
Cerpen-cerpen dalam buku ini mengangkat beragam tema. Tema cerita yang disajikan sebagian besar tentang Lebaran, sebuah momentum penting dan sakral bagi kaum muslim di Indonesia. Ada 4 judul cerpen yang mengangkat tema besar Lebaran yaitu Seperti Lebaran Tahun Lalu, Teriakan Hari Raya, Oleh-oleh Lebaran dan Nostalgia Lebaran.
- Iklan -
Tema lain yang diangkat adalah terorisme. Dalam cerpen Tetangga Baru yang menggambarkan kecurigaan masyarakat terhadap pendatang baru di desa yang berperilaku berbeda dengan masyarakat lokal. Pada cerpen berjudul Tak Sederas Air Mata Riza persoalan jodoh tidak terjebak dalam kisah percintaan, tetapi penulis mampu membalutnya dengan dilematika antara cinta dan penghormatan kepada orang tua menjadi racikan cerita yang cukup manis sekaligus mengharukan.
Kemudian cerpen yang berjudul Kado Kemenangan, penulis mencoba mengangkat tema eksistensi diri. Sebuah perjalanan seorang teman yang sedang berproses untuk menemukan jati diri dalam mencari Tuhannya. Cerpen ini cukup berat dari segi tema dan penceritaannya dibandingkan dengan yang lain. Muatan-muatan dalam dialog yang dibangun padat, filosofis dan puitis.
Tema lain adalah tema dinamika keagamaan. Ini tampak dalam cerpen Menunggu Suara Azan dan Aroma Wangi Anak-anak Serambi. Dalam Menunggu Suara Azan tergambar ‘pertarungan’ praktek keagamaan dalam menyikapi antara tradisi dan pembaharuan. Dan dengan kearifan dan kesabaran terbukti dapat menyelesaikan persoalan. Sedang dalam cerpen Aroma Wangi Anak-anak Serambi mencoba memberikan sebuah contoh menyikapi aturan tidak dengan saklijk tetapi dengan pertimbangan lain yang lebih arif dalam menyikapi perbedaan keyakinan.
Ada juga tema pernak-pernik kehidupan politik tanah air yang ditampilkan dalam cerpen Tongkat Mbah Fattah, serta tema romantika rumah tangga dan keluarga seperti tampak dalam cerpen Pulang Haji dan Di Beranda Jika Saatnya Tiba.
Bersahaja Penuh Hikmah
Bersahaja. Kata itu mungkin tepat untuk mewakili dari keseluruhan kumpulan cerpen ini. Dengan kata-kata yang sederhana dan latar cerita pedesaan dengan penceritaan yang santun, alur cerita mengalun dengan cukup lancar. Alur yang ditampilkan mengalir datar. Tidak ada letupan-letupan yang cukup berarti ditampilkan dalam setiap cerpennya. Di tiap paragraf, konflik yang diciptakan mengalir apa adanya tanpa dipaksakan untuk menjadi konflik yang memuncak.
Dengan menampilkan tokoh orang desa yang sederhana, penulis mencoba untuk menggambarkan situasi dan konflik dengan kacamata yang sederhana dan lugas. Penulis tampak sangat lekat dengan atmosfir kehidupan pedesaan Jawa sehingga dengan jeli mampu memotret kehidupan orang desa dengan problematikanya. Ini nampak kental sekali dalam penggambaran dan nama tokoh dan suasana yang digambarkan dalam setiap cerpennya. Bahkan secara eksplisit dapat menerangkan tempat secara detil.
Di balik kebersahajaan penceritaan, penulis sebenarnya sedang menggali kandungan hikmah di setiap cerpennya. Dalam tema lebaran misalnya, penulis tidak semata-mata mengangkat persoalan dari segi keagamaan, tetapi menggali lebih dalam persoalan dilema kehidupan rakyat kecil yang terjepit dalam persoalan himpitan ekonomi, perubahan tradisi yang menggerus kesakralan momen Lebaran. Persoalan-persoalan yang diangkat Marwanto memang terkesan klise; problem masyarakat sub-urban. Persoalan ekonomi yang dialami oleh masyarakat pedesaan yang mulai menggerogoti sendi-sendi kehidupan agraris dan memaksa untuk berpindah profesi dengan yang lain seperti menjadi pembantu atauTKI/TKW di negeri orang.
Begitu juga dengan cerpen-cerpen yang lain. Penulis cukup peka dalam melihat titik persoalan dengan melihat momentum sesuai dengan ‘tren’ pada saat itu, seperti tren tanaman hias (Oleh-oleh Lebaran), terorisme (Tetangga Baru), nasib TKW (Seperti Lebaran Tahun Lalu).
Catatan lain, di beberapa cerpen penulis mengakhiri ceritanya dengan ending mengambang. Tidak tuntas untuk menggambarkan akhir dari cerpennya. Mungkin ini disengaja sebagai gaya penulisan. Penulis dapat memilih gaya ending pada ceritanya dengan harapan akan menjadi salah satu daya tarik dari pembaca. Tetapi di beberapa cerpennya ada kesan ending-nya ‘kurang tepat sasaran’.
Di luar catatan tentang ending, gaya penceritaan bersahaja cerpen-cerpen di buku ini mampu menghadirkan kepolosan yang memikat: bagai seorang anak yang masih lugu dan naif, tapi sarat dengan bau harum. Pembaca pun seperti menyedu minuman beraroma wangi saat menikmati cerita dalam buku ini –dan tanpa harus mengernyitkan dahi.
Tentang Penulis:
Tri Apriyadi, penikmat buku sastra. Sesekali menulis cerpen dan ulasan buku. Beberapa cerpennya dimuat di buku antologi bersama : Kluwung, Lukisan Maha Cahaya (2020), Seekor Burung dan Mantan Tahanan dalam Bus Kota (2020), dan Duhkita (2021). Buku kumpulan cerpen tunggalnya Maafkan, Aku Ingin Menikah Lagi (2020). Tinggal di Wates Kulon Progo.