Oleh Hamidulloh Ibda
Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri telah menembak mati Dokter Sunardi lantaran melakukan perlawanan kepada petugas yang dapat membahayakan petugas dan masyarakat sekitar. Peristiwa penembakan itu terjadi di Jalan Bekonang Sukoharjo depan Cendana Oli pada Rabu, 8 Maret 2022.
Penangkapan Dokter Sunardi awalnya karena disinyalir bahwa ia adalah sebagai anggota dalam jaringan teroris Jamaah Islamiyah (JI) yang pernah menjabat sebagai amir khidmat, deputi dakwah dan informasi. Dari pemberitaan di media massa, Sunardi merupakan seorang difabel.
Selama ini Sunardi berjalan dengan alat bantu karena mengalami cedera saat gempa Yogyakarta. Pada gempa yang terjadi di Yogyakarta pada 2006 itu, Sunardi menjadi salah satu relawan yang terjun langsung membantu korban bencana. Saat itu Sunardi mengalami kecelakaan yang membuat kakinya cedera sehingga harus menggunakan alat bantu berjalan seumur hidupnya. Hingga akhirnya ia ternyata menjadi target penangkapan Densus 88 Anti Teror.
- Iklan -
Status Tersangka
Polri mengungkap dr Sunardi sudah berstatus tersangka tindak pidana terorisme sebelum dilakukan penangkapan. Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan menjelaskan bahwa status tersangka SU sebelum dilakukan penangkapan adalah tindak pidana terorisme, bukan terduga. Sebelum dilakukan penangkapan, status Saudara SU adalah tersangka tindak pidana terorisme, bukan terduga (Detik.com, 11/3/2022).
Ramadhan menjelaskan sejumlah keterlibatan Sunardi dalam jaringan teroris di Tanah Air. Menurut Ramadhan, dr Sunardi merupakan anggota Jamaah Islamiyah (JI). Dia pernah menjabat sebagai Amir Khidmat JI, Deputi Dakwah dan Informasi, penasihat Amir JI, dan penanggung jawab Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI).
Hilal Ahmar Society ini adalah sebuah yayasan atau organisasi terlarang yang terafiliasi dengan jaringan organisasi terorisme JI yang tugasnya adalah merekrut, mendanai, dan memfasilitasi perjalanan pengikut FTF (foreign terrorist fighter) ke Suriah. Yayasan ini berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakpus pada 2015 adalah organisasi terlarang.
Apapun yang telah terjadi, dr. Sunardi adalah cambuk bagi kita harus waspada terhadap virus terorisme. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencegah virus ini, karena rumusnya mencegah lebih baik daripada mengobati.
Mencegah Virus Terorisme
Radikalisme menjadi embrio lahirnya terorisme. Pemahaman radikalisme selama ini hakikatnya salah kaprah. Harusnya, radikal dalam berpikir diharuskan karena ia radic atau dari akar. Namun yang dilarang adalah radikal terorisme karena ingin melakukan perubahan cepat dengan menghalalkan segala macam cara. Bahkan, mengatasnamakan agama juga tidak masalah karena yang penting ada perubahan secara cepat. Hal inilah yang harus dicegah sejak dini.
Menerapkan pola dan sikap hidup yang ilmiah. Apa saja yang didapatkan dari media internet, Youtube, dan orang-orang yang baru dikenal harus difilter sejak dini. Sebab, virus terorisme itu menjalar kepada siapa saja termasuk kepada orang-orang yang dekat dengan sains, teknologi bahkan dunia medis. Artinya, semakin tinggi dan paham terkait sains dan teknologi tidak menjadi jaminan seorang dapat terbebas dari terorisme.
Langkah berikutnya memilih wahana belajar dan agama dari sumber yang otoritatif. Era disruspi seperti ini memudahkan semua orang dapat mengakses apa saja tanpa batas. Maka pemilihan sumber ilmu dan ajaran agama harus dari yang otoritatif seperti kiai, guru, dosen, dan tokoh yang jelas rekam jejaknya.
Kita juga harus membandingkan antara sumber satu dengan yang lain ketika ada khilafiyah (perdebatan). Sebab, pemahaman agama tiap orang berbeda dan jangan sampai kita salah memahami ayat atau informasi keagamaan yang dipalsukan.
Ideologi dan nasionalisme kebangsaan juga harus dikuatkan karena spirit radikalisme cenderung menolak semangat cinta tanah air. Kita juga harus waspada ketika ada orang atau kelompok yang suka melakukan gerakan takfiri (mengafirkan), tabdi’ (membidahkan), dan tasyri’ (menyirikkan).
Meluruskan paradigma bahwa beragama, berbudaya, dan bernegara adalah hal paradoks. Padahal, beragama hakikatnya juga berbudaya dan bernegara. Orang ketika salat harus menutup aurat dengan baju. Baju adalah produk kebudayaan. Maka beragama sangat membutuhkan mesin jahit.
Simulasi sederhana inilah yang harus dipahami bahwa beragama, berbudaya dan bernegara adalah satu tarikan nafas. Ketika kita sudah percaya bahwa beragama harus berbudaya, maka tidak mungkin kita akan terpapar virus radikal terorisme.
Sudah seharusnya agama itu menjadi rahmat bagi semua alam. Tidak ada agama apapun menyuruh pemeluknya melakukan kekejaman dan pengeboman. Jika ada ustaz atau tokoh agama meminta jemaahnya melakukan hal itu, maka hakikatnya itu bukan perintah agama. Jika ada jemaah yang melakukan pengeboman karena diperintah pemimpinnya, maka mereka sudah terpapar terorisme.
Pencegahan terorisme harusnya menyeluruh dan berjemaah. Model pentahelix atau multipihak harus diterapkan dalam pencegahan radikalisme. Amar (2022) menjelaskan model pentahelix adalah pelibatan unsur pemerintah, akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media massa berjemaah mencegah terorisme.
Skema ini sangat urgen diterapkan karena radikalisme bukan hanya tugas BNPT dan FKPT. Namun semua pihak wajib mencegah terorisme. Mari bersama-sama mencegah terorisme sesuai kapasitas masing-masing. Jika tidak sekarang lalu kapan lagi?
–Penulis adalah Ketua Bidang Media Massa, Hukum, dan Humas FKPT Jateng 2022-2025, Wakil Rektor I INISNU Temanggung, PJs Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) Temanggung TV.