Oleh: Suwanto
Islam merupakan agama yang sempurna (syamil). Islam menjelaskan semua hal serta mengatur segala aspek kehidupan, termasuk kaitannya dengan penyandang difabel. Dalam perspektif Islam, sebagaimana disebutkan oleh Aminul (2020), difabel identik dengan istilah dzawil ahat, dzawil ihtiyaj al-khashah, atau dzawil a’dzar, yang berarti orang-orang yang mempunyai keterbatasan, berkebutuhan khusus, atau memiliki udzur.
Kaum difabel ini dalam Islam mempunyai kedudukan yang sama dengan yang lainnya. Difabel juga mempunyai hak yang sama untuk bermasyarakat dan bergaul dengan semua orang. Apalagi, telah kita ketahui bersama, manusia yang paling mulia dihadapan Allah SWT bukan karena rupa atau fisik, tetapi mereka yang paling bertakwa. Kesempurnaan fisik bukanlah menjadi hal yang prioritas dalam hal pengabdian diri kepada Allah SWT, melainkan kebersihan hati dan kekuatan iman kepada-Nya.
- Iklan -
Adapun beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang mengamanatkan pembelaan terhadap kaum difabel diantaranya Q.S. An-Nur ayat 61 yang artinya, “Tidak ada halangan bagi tunanetra, tunadaksa, orang sakit, dan kalian semua untuk makan bersama dari rumah kalian, rumah bapak kalian atau rumah ibu kalian ….”
Menurut Ahmad Muntaha AM (2015) sebagai dilansir islam.nu.or.id, ayat tersebut secara eksplisit menegaskan kesetaraan sosial antara penyandang difabel dan mereka yang bukan penyandang difabel. Mereka harus diperlakukan secara sama dan diterima secara tulus tanpa diskriminasi dalam kehidupan sosial, sebagaimana penjelasan Syekh Ali As-Shabuni dalam Tafsir Ayatul Ahkam (I/406).
Substansi firman Allah SWT, Q.S. An-Nur ayat 61 tersebut yaitu bahwa tidak ada dosa bagi orang-orang yang punya udzur dan keterbatasan (tunanetra, pincang, atau sakit) untuk makan bersama orang-orang yang sehat (normal). Sebab Allah SWT membenci kesombongan dan orang-orang sombong. Allah SWT menyukai kerendahhatian dari para hamba-Nya. Bahkan, dari penafsiran ini menjadi jelas bahwa Islam mengecam sikap dan tindakan diskriminatif terhadap para penyandang difabel. Terlebih diskriminasi yang berdasarkan kesombongan dan jauh dari akhlakul karimah.
Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13, yang artinya, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti”
Ayat tersebut meski tidak secara langsung, paling tidak menunjukkan kenyataan bahwa difabel merupakan bagian dari komposisi kehidupan manusia dan Al-Qur’an telah mengakomodasi keberadaannya. Lebih lanjut, para ulama terdahulu dalam karya-karya mereka juga telah memberikan embrio bagi kajian lebih lanjut mengenai keberadaan kelompok difabel ini. Terutama ketika memberikan syarahan ayat-ayat dengan term-term difabel dalam Al-Qur’an.
Kalau diperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai difabel, ditemui bahwa ayat-ayat tersebut justru merujuk pada makna perlindungan dan pengayoman. Surat ‘Abasa [80] ayat 1-2 misalnya, secara umum mengajarkan untuk bersikap ramah terhadap siapapun, termasuk kaum difabel. Kita dianjurkan untuk memperlakukan kaum difabel secara adil dan tidak diskriminatif. Mengingat mereka juga adalah sesama manusia.
Di sisi lain, Surat ‘Abasa [80]: 1-2 ini juga memberikan dukungan moral serta tanggung jawab kepada Rasulullah SAW agar tidak mengabaikan kelompok masyarakat yang dianggap memiliki strata sosial rendah. Lebih dari itu, kesahajaan dan perhatian Rasulullah SAW terhadap wong cilik sejatinya merupakan sikap arif serta keteladanan yang menjadi pegangan dan panutan bagi pemimpin masyarakat. Rasulullah adalah suri tauladan kita semua dalam berperilaku terhadap orang lain tanpa memanda SARA dan strata sosial.
Dengan demikian, pengayoman yang dimaksudkan oleh ayat-ayat berkenaan dengan difabel dalam al-Qur’an tersebut dapat dikatakan sebagai upaya mendobrak atau merekonstruksi stigma negatif masyarakat pada waktu itu. Stigma bahwa difabel adalah manusia kelas dua harus kita patahkan dan hilangkan jauh-jauh dalam benak kita. Mereka kaum difabel juga berhak diperlakukan sama dengan kita yang non-difabel.
Kalau kita telusuri Al-Qur’an juga datang untuk membebaskan para kelompok marjinal (mustadh’afîn) dari keterbatasannya. Kesemuanya itu tidak hanya sebatas teori yang mengawang-awang. Melainkan telah dibuktikan dalam bentuk praktis dan membumi oleh Rasulullah SAW.
Perhatikan bagaimana Rasulullah SAW memberikan kesempatan dan posisi cukup strategis kepada salah seorang sahabatnya yang menyandang kecacatan, yaitu Abdullah bin Ummi Maktum sebagai salah seorang muadzin, selain dari Bilal bin Rabah. Keteladanan Rasulullah SAW ini mengajarkan kepada kita untuk tidak diskriminasi, bahkan seharusnya tugas kita mengayomi kaum difabel tanpa membeda-bedakan dengan yang lainnnya.
-Suwanto, Guru di MTs Negeri 6 Bantul