Oleh: Untung Wahyudi
Judul Buku : Menjaga Citra Agama
Penulis : Adib Gunawan
Penerbit : Buku Republika
Cetakan : Kedua, Oktober 2021
Tebal : xxxvi + 278 Halaman
ISBN : 9786027595934
Selama ini kasus intoleransi begitu marak terjadi. Sebagian penganut agama masih belum memahami secara benar ajaran agamanya sendiri. Sehingga, begitu mudahnya menyalahkan praktik ibadah orang lain yang tidak sama dengan ibadahnya. Bahkan, tidak sedikit yang suka mengolok-olok sesembahan agama lain, yang sebenarnya sangat jauh dari ajaran agama itu sendiri.
Indonesia terdiri dari banyak suka bangsa, ras, dan agama. Kehidupan masyarakatnya tidak lepas dari praktik sosial dan keagamaan yang beragam sehingga bisa saling menghormati antara satu sama lainnya. Tidak elok rasanya jika kita bertindak arogan dan mengatakan bahwa kita yang paling benar dan praktik agama kita yang paling baik.
- Iklan -
Islam adalah agama yang ramah dan mendatangkan kedamaian. Rasulullah Saw. tak pernah mengajarkan kekerasan pada umatnya. Bahkan, kepada penganut agama lain, Nabi Muhammad selalu menampakkan sikap welas asih. Dalam menyampaikan dakwah, Rasulullah Saw. senantiasa menyampaikan dengan ramah sehingga, tak sedikit orang tergugah dan pintu hatinya terketuk untuk memeluk agama Islam.
Kehadiran buku Menjaga Citra Agama karya Adib Gunawan bisa menjadi khazanah keilmuan sekaligus bahan berdiskusi seputar kehidupan beragama dalam kehidupan masyarakat masa kini. Buku ini mengajak pembaca untuk lebih memahami makna keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia. Bahwa perbedaan bukan jalan untuk mendatangkan permusuhan.
Adib Gunawan menjelaskan, salah satu cara menciptakan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat adalah dengan menumbuhkan sikap toleransi. Dengan saling menghargai, maka akan tercipta ketenangan yang membuat kehidupan lebih nyaman dan tenteram. Tidak ada gesekan-gesekan yang bisa menimbulkan perpecahan.
Seperti lazim diketahui, di zaman teknologi dan informasi, banyak orang begitu mudah menciptakan kegaduhan di antara masyarakat. Lewat berbagai postingan media sosial, seseorang bisa memancing kemarahan orang lain. Berita yang belum jelas kebenaranya, alias hoax, dengan mudah disebarkan. Tanpa filter, warganet juga saling membagikan postingan hoax sehingga menciptakan kegaduhan-kegaduhan yang dapat memecah persatuan.
Belum lagi postingan orang-orang yang mengaku penceramah, tetapi materinya sangat dangkal tak bernas. Dengan modal mengaji pada Google, mereka sudah merasa paling ahli untuk menyalahkan orang lain. Dengan mudahnya mengharamkan sesuatu yang sebenarnya ada yang lebih berkompeten untuk memutuskan suatu masalah.
Postingan bernada amarah dan provokatif pun tidak terbendung. Sehingga, orang yang mendengarkan atau menonton “dakwah” Ustaz karbitan tersebut mudah terpengaruh dan dengan mudah membenarkan perkataannya. Padahal, berceramah itu butuh ilmu. Ada referensi yang harus dipahami dan dipelajari sehingga, materi yang disampaikan tidak dangkal. Ada panduan atau tata cara berdakwah dengan baik dan benar, yang sesuai dengan ajaran agama.
Pemuka agama adalah representasi dari agamanya. Ia seharusnya bersikap lebih hati-hati karena, kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukannya bisa menjadi besar di mata umat. Kesalahan yang dimaklumi apabila diperbuat oleh orang lain, bisa menjadi terlihat besar dilakukan olehnya. Selain representasi dari agamanya, pemuka agama adalah panutan bagi pengikutnya. Tanggung jawabnya pun lebih besar (hal 9).
Dakwah ala Rasulullah Saw.
Nabi Muhammad adalah nabi yang terkenal sebagai orator ulung. Dakwahnya membuat banyak orang terpengaruh untuk mencintai dan memeluk Islam dengan suka rela, bukan karena terpaksa. Hal itu karena, selain menjelaskan konsep-konsep agama, akidah, ibadah, dan ritual yang berlandaskan pada ayat-ayat Al-Quran, beliau lebih dulu mengamalkannya.
Sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul, Nabi Muhammad terkenal dengan sifat Al-Amiin. Saat berdagang, beliau dikenal dengan kejujurannya yang mengagumkan. Tak heran jika banyak kaum yang menaruh hormat pada Sang Nabi dan secara suka rela mengikuti ajaran yang dibawanya, yakni Islam.
Inilah yang perlu dilakukan oleh kaum Muslim saat ini. Menyampaikan dakwah tidak harus dengan amarah, caci maki, ataupun dengan mengolok-olok orang lain. Jangan sampai kita menjadi sebab orang lain membenci agama Islam yang dikenal dengan agama yang welas asih dan rahmatan lil-alamin.
Buku setebal 278 halaman ini bisa menjadi referensi serta bahan diskusi tentang bagaimana merawat dan menjaga citra agama dengan baik. Bahwa persatuan dan perdamaian bisa tercipta jika kita bisa saling menghargai perbedaan dan kepercayaan orang lain. Buku ini juga menghadirkan konsep kehidupan beragama yang sesuai dengan Al-Quran dan sunnah. Paparan-paparan yang disampaikan penulis buku ini bernuansa Islam moderat, berdasarkan logika sederhana dan sintesa atas kitab-kitab ulama terdahulu. (*)
*) Untung Wahyudi, lulusan UIN Sunan Ampel, Surabaya