Oleh Nur Hadi
Judul Buku : Dari Krakatau Sampai Akhir Hidup Sukarno
Penulis : Hendra Sugiantoro
Penerbit : Matapadi Pressindo
Cetakan : Pertama, 2021
Tebal : XViii + 212 halaman
ISBN : 978-602-1634-49-3
Membaca Sukarno adalah membaca “sejarah (yang) ditulis oleh para pemenang”, mengingat banyaknya buku-buku yang menulis ulang kisahnya hanya dari satu sisi. Model penulisan seperti ini seperti “kehilangan” objektivitas dalam memandangnya sebagai manusia biasa. Menulis—yang tentu saja sekaligus membaca Sukarno, adalah membaca sebuah nama besar.
Nama besar, akan cenderung dikisahkan dengan cara heroik, mengingat ketabuan mengungkap sisi lain dari sang tokoh. Namun demikian, sebagaimana rambu yang sudah diberikan dalam pengantar buku ini, membaca nama besar tak melulu harus silau dengan jasa besar sang tokoh seraya menafikan sisi-sisi lain dan peran besar tokoh-tokoh lain di sekitarnya.
- Iklan -
Membaca Sukarno adalah membaca mistisisme orang Jawa yang senang mengaitkan hal-hal besar dengan pertanda yang diberikan oleh alam. Tokoh ini dilahirkan sepekan sesudah Gunung Kelud Meletus. Sebuah “pertanda” sang anak akan jadi tokoh besar. Sebagaimana H.O.S. Tjokroaminoto yang lahir tepat ketika Gunung Krakatau yang terletak di tengah Selat Sunda meletus dengan hebatnya.
Bayang-bayang mistisisme ini bisa kita endus pula dalam pamor ketokohan sang “Raja Jawa tanpa Mahkota” (julukan H.O.S Tjokroaminoto) itu dalam setiap orasi politiknya. Bahkan tercium juga dalam setiap tokoh yang muncul ke permukaan dan begitu berani melawan imperialisme. Konon, suara baritonnya yang dapat didengar ribuan orang tanpa mikrofon mampu membawa khalayak menjadi gefascineerd, mabuk tergila-gila. Kita pun menjadi bertanya-tanya, benarkah hal semacam itu adalah anugerah dari langit? Bukan sesuatu yang bisa diasah Sukarno yang semakin terasah kemampuannya setiap kali menggantikan orasi Pak Tjokro? (hal. 17-18).
Membaca Sukarno adalah membaca sosok-sosok perempuan di sekelilingnya. Dari mulai Utari yang kekanak-kanakan dan hanya “merepotkan”, Inggit Ganarsih yang dengan segala ketabahannya mengantarkan ke pintu gerbang kekuasaan, Fatmawati yang menjadikannya seorang bapak secara denotatif, Hartini yang setia sampai mati, hingga istri-istri lainnya yang memiliki daya pikat tersendiri di mata Sukarno.
Kita pun jadi teringat humor Gus Dur perihal presiden pertama yang gila perempuan, presiden kedua gila harta, presiden ketiga gila ilmu pengetahuan, dan presiden keempat yang sering membuat orang gila. Buku ini bisa saja mengubah pandangan kita terhadap bapak pendiri bangsa itu.Membaca Sukarno adalah juga membaca Mohammad Hatta yang dalam kesehariannya terkesan kaku lantaran lebih suka tenggelam dalam buku-buku sehingga “sulit mendapatkan perempuan”, sementara Sukarno kebalikannya.
Buku ini merekam beberapa konflik (baik dalam pandangan politik maupun personal) serta bagaimana kedua tokoh itu menyikapi serta menyelesaikannya hingga kita benar-benar menginsyafi mereka sebagai dwitunggal. Tajamnya perdebatan Sukarno-Hatta dalam hal konsep pendidikan kader politik, atau perihal kenekatan Sukarno dalam menasionalisasikan PKI, kritis namun mesra. Tapi, dalam perkara jodoh, Hatta jelas berhutang budi dengan Sukarno. Romantisme hubungan mereka bisa dijadikan pembelajaran yang baik untuk para politisi zaman sekarang. Membaca Sukarno adalah membaca ulang kesalahan-kesalahan politik penguasa yang tak boleh terulang lagi.
Meski penulis mengakui tak ada yang baru dalam buku ini, namun kesengajaan serta ketelatenannya memotret ulang kejadian-kejadian penting sepanjang hidup Sukarno akan membuat kita merasakan nuansa baru atas sosok presiden pertama kita. Bisa dirasakan bahwa buku ini tak coba mendewakan sosok Sukarno namun juga tak menafikan jasa besarnya terhadap Indonesia. Buku ini berusaha meletakkan Sukarno pada posisinya sebagai manusia, meski sebenarnya sifat buku biografi (kebanyakan) cenderung tak memanusiakan manusia.
Tentang Penulis:
*NUR HADI, Beberapa kali menjuarai lomba menulis cerpen, cerbung, puisi, dan esai. Karya-karyanya telah tersebar di pelbagai media nasional dan lokal.