Oleh Setyaningsih
Di keluarga, beberapa ibu untuk kali kedua, melahirkan anak-anak sebagai pembaca. Ibu memerantarai keputusan penting, menerima buku untuk disukai atau dibenci selayaknya susu, mainan, sayuran, jajanan ringan, atau seorang teman. Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1978-1983) dalam novel biografis Emak (2005) bercerita Emak yang serba bisa. Emak memberikan sepetak lahan kecil di sekitar rumah untuk bertanam sekaligus membuka lahan kecil pada jiwa anak-anak untuk menyemai aksara.
Meski tidak mulus jalan membeli buku, meminjam jadi cara lain memiliki buku. Membaca memang tampak soliter berurusan dengan diri, tapi setelah buku ada waktu-waktu kebersamaan bercerita di tengah keluarga. Daoed Joesoef menulis, “Aku mulai menjadi pelanggan yang setia dari sebuah perpustakaan swasta yang ada di Kapiteinsweg. Karena tarif sewa buku relatif mahal, emak bersedia menambah uang saku asalkan kupergunakan untuk membiayai peminjaman buku-buku. Acapkali sehabis makan malam, manakala tidak ada pekerjaan rumah yang harus kuselesaikan, emak memintaku menceritakan cerita atau dongeng yang sudah kubaca. Seringkali bapak turut serta mendengar.”
Anggapan maskulin terkadang memang bertahan. Pengasuhan (intelektual) meletakkan sang tokoh utama bapak. Ilmu dan pengetahuan bersifat maskulin. Bapak lebih tahu dan dekat buku-buku. Bapak menjadi peletak kecintaan berpikir dan ibu lebih memberesi masalah perasaan serta moralitas. Ibu biasanya ada di pinggiran untuk memberi anjuran atau pelaksana dari keputusan-keputusan dari pihak yang lebih berotoritas. Di tahun ajaran baru misalnya, banyak ibu berani berani bertarung membelikan buku pelajaran, buku tulis, atau buku tambahan untuk keperluan sekolah.
- Iklan -
Ibu menerbitkan kenangan bersamaan kehadiran buku-buku yang dinikmati bersama. Kelak ketika buku diwariskan, anak bisa mengulangi apa yang pernah ibu lakukan dulu. Begitu membaca pelawatan Muthia Esfand dari negara ke negara di Eropa melalui buku Dari Toko Buku ke Toko Buku (2021), orang-orang boleh iri sekaligus kagum pada kekukuhan mata rantai perbukuan. Tidak saja para ibu melahirkan anak pembaca. Lingkungan (masyarakat) tempat tinggal dan toko buku, melahirkan ibu-ibu pembaca. Mampir di toko buku Buchhandlung Buchers Best di Louisenstraᵝe 27, Dresden, Jerman, misalnya, Muthia Esfand bertemu dengan karyawan pemagang bernama Eva. Magang di toko buku adalah impian yang dipupun lama, mungkin sejak belia tanpa benar-benar Eva sadari sebagai cita-cita.
Di (toko) buku singgah kenangan, hadiah, hiburan, dan waktu. Toko buku bertahan dari gempuran bisnis buku digital karena orang-orang rutin mendatangi. Orang-orang menjadikan toko buku sebagai rumah kolektif. Muthia menulis tentang Eva, “Ibunya pecinta buku, selalu mengajaknya ke toko buku ini minimal sebulan sekali, padahal rumah mereka sedikit jauh di pinggir kota. Katanya suasana toko ini nyaman, kucingnya juga ramah. (Kucing lagi!), lalu ketika dia wajib magang untuk salah satu tugas mata kuliah, ia memilih magang di sini. Karena ia suka buku, karena ia suka toko ini. Menurutnya mustahil orang yang tidak suka buku, tidak baca buku bisa benar-benar menikmati pekerjaan yang berhubungan dengan buku.”
Biografi beraksara dan berbuku yang menokohkan ke ibu, ada intelektualitas yang terasa kuat tapi hangat dan elegan. Bahkan sebelum hambatan administratif dari luar keluarga, pergulatan datang dari rumah di antara anak dengan orangtua. Dari Tara Westover lewat buku biografis Educated (2021), seorang ibu membuka kunci pintu. Anak memutuskan dan memilih diam, membuka pintu sedikit untuk melongok, atau melangkah ke dunia di balik pintu.
Tara lahir di keluarga penganut Mormon di pegunungan Idaho, Amerika. Bukan hanya agama membuat bapak Tara percaya Hari Kemurkaan Tuhan akan segera tiba, ia juga percaya segala yang dilakukan pemerintah, rumah sakit, atau sekolah adalah konspirasi jahat. Tara dan kakak-kakaknya tidak dikirim ke sekolah. Ibu mengajari membaca dan belajar, tapi keputusan ini tidak sepenuhnya terbingkai dalam persepsi yang sama dengan bapak Tara. Saat bapak berkeras menggiring para putra dan bahkan Tara ke lahan rongsokan untuk bekerja, ibu pernah kukuh anak-anak harus di rumah untuk membaca.
Tara menulis, “Ibu menyimpan rak buku di ruang bawah tanah, yang penuh dengan buku-buku tentang herbalisme serta beberapa novel. Ada beberapa buku pelajaran matematika yang dipakai bersama dan sebuah buku sejarah Amerika yang tidak pernah kulihat ada yang membacanya kecuali Richard. Ada juga buku sains yang pasti untuk anak-anak kecil karena dipenuhi dengan gambar ilustrasi mengkilap. Biasanya butuh setengah jam untuk menemukan semua buku, lalu kami membagi buku-buku itu dan pergi ke kamar terpisah untuk “bersekolah”. Aku tidak tahu apa yang saudara-saudaraku kerjakan selama bersekolah itu, tetapi aku benar-benar membuka buku matematika dan menghabiskan sepuluh menit untuk membalik-balik halamannya sambil menekan jari-jariku di tengah lipatannya. Jika jariku menyentuh lima puluh halaman, aku melapor pada Ibu bahwa aku sudah mengerjakan lima puluh halaman buku matematika.”
Berumah di pegunungan yang terpencil, aksara berpendar pelan-pelan. Terkadang, menjelma kemewahan dan sumber konflik di tengah himpitan rongsokan atau dogma. Bahkan ibu Tara tidak sengaja apalagi berharap aksara atau buku yang disajikan di masa belia, kelak menuntun Tara dan dua kakak laki-laki ke dunia luar; meninggalkan pegunungan, mengaburkan rumah, menghindari bapak, berpisah dari ibu, dan yang paling ditakutkan—menjauhi Tuhan. Ada tempat lain di luar sana yang akan membuat aksara berpendar lebih terang justru dengan konsekuensi “kehilangan” tempat permulaan mereka dilahirkan untuk mencintai pengetahuan.
Terkadang, saya membayangkan apa yang dipikirkan Kartini saat menghadapi halaman buku beraksara latin dalam bahasa Belanda, bukan aksara dan bahasa Jawa. Perempuan awal-awal pembaca buku (cetak) itu mungkin merinding, terpesona, dan merasa sendirian. Kartini mungkin cukup mesem saat aktris Dian Sastrowardoyo berpura-pura menjadi dirinya untuk film Kartini (2017). Kartini dalam film ditanya oleh ibu-emban, apa yang tidak diajari oleh aksara londo. Tidak ada jawaban. Ibu bilang, “bakti”. Kartini dalam film tampak bimbang. Namun yang Kartini pikir dan percaya, di sana ada kebebasan.
-Setyaningsih, Esais dan penulis Kitab Cerita 2 (2021)