Cerpen Prima Yuanita
“Dan apa yang telah terjadi pada orang tuamu, jadikan kaca benggala buatmu!”
Begitulah kalimat itu diulang-ulang. Aku tahu bapak bermaksud menasihatiku, tapi entah kenapa, kurasa dialah yang lebih butuh nasihat dariku.
Di usianya yang lebih dari separuh abad, bapak hidup sebatang kara di sebuah ruangan masjid yang berada di ujung gang sempit. Setiap hari dia mengumandangkan azan dan membersihkan kawasan tempat ibadah. Bukan karena kurang kerjaan, melainkan itulah pekerjaannya sekarang.
- Iklan -
“Anggap saja Bapak sedang tobat!” ucapnya setengah tertawa.
Dia begitu hati-hati menyikati keramik kamar mandi dan tampak kikuk sekali. Dulu, biasanya bapak hanya duduk di kursi goyang sembari membaca koran, lalu ibu akan membuatkan secangkir teh panas tawar dengan sepiring ubi rebus lunak. Jarang sekali tangan bapak itu menyentuh pekerjaan rumah.
“Tapi Bapak juga harus jaga kesehatan,” sahutku, pelan.
Kulihat dia mengelap keringat yang membulir di pipi dengan punggung tangannya. Kaus pendek putih yang dikenakannya pun jenuh cairan asin itu. Mungkin bapak sudah kerja keras sejak pagi tadi. Matanya cekung dan keruh sekali.
Ah, andai saja dia tidak tergoda janda muda beranak dua itu, sampai saat ini dia pasti masih akan duduk di kursi goyang dan menikmati sajian yang ibu hidangkan. Tapi begitulah manusia yang digandrungi nafsu dunia—dia bagaikan mengejar bayang-bayang: dilihat ada, ditangkap hilang.
“Bapakmu itu kena guna-guna, Yun!”
“Pasti perempuan itu pakai ilmu hitam!”
“Ajian jaran kepang!”
Desas-desus tetangga pada waktu itu terngiang-ngiang di telingaku. Ibarat satu orang mengucap telur, selanjutnya menjelma menjadi bubur. Awalnya aku tidak ingin percaya, karena sebagaimana sebutan para gadis lain di dunia, bagiku bapak adalah cinta pertama.
Aku sempat melihat telaga kasih yang deras di matanya. Aku pernah merasakan tangan hangat yang memelukku erat; melindungiku dari kepanasan; meniupkan balon kesukaan; juga membelikan biskuit manis yang mengenyangkan. Meskipun di suatu waktu, kusaksikan tangan itu berubah seperti tukang bangunan yang berisik; tapi aku tahu bapak begitu menyayangiku. Dan aku masih tak percaya jika pada akhirnya dia meninggalkanku, juga ibuku. Aku masih tak percaya, sungguh!
“Lapangkan hatimu, Yun! Mungkin sampai di sini saja perjodohan antara Bapak dan Ibumu,” ujar nenekku sembari mengelus-elus rambut cokelatku yang halus. Kala itu usiaku enam belas. Aku suka memberontak dan berteriak-teriak.
“Katanya wanita itu jauh lebih muda ketimbang Ibu. Orang-orang pernah melihat mereka berboncengan, tapi wanita itu yang di depan,” kata ibuku pasrah. Matanya terlihat berawan, tak lama kemudian turunlah hujan.
Aku sedih bila melihat ibu sedih. Kupikir hanya orang yang rabun hatinya yang tega menyia-nyiakan ketulusan cinta seorang wanita seperti ibu. Dan aku tak menyangka bapakku sendirilah yang melakukannya.
Walaupun bekerja sebagai guru di sekolahan swasta seperti bapak, ibu selalu bangun lebih pagi dari kami. Dia menyiapkan sarapan yang lezat dan seragam yang licin untuk kami. Ibu gemar bersolek di depan kaca dan menyemprotkan minyak wangi ke tubuhnya yang ramping. Dia juga bisa melakukan banyak hal yang, terkadang, ibu-ibu lain tidak bisa melakukannya—seperti mengangkat galon air; memasang tabung gas; juga mengganti bohlam lampu di ruang tamu. Lalu apa yang kurang dari ibuku?
“Kalau sampai Bapak memilih janda itu, aku akan jadi anak bengal yang tidak tahu malu!” ancamku dengan nada terengah-engah.
Sore masih menurunkan hujan. Aku mengejar bapak yang tengah mengemudikan sepeda motor dengan menyunggi tas besar di punggungnya. Kubiarkan blus tebal hitamku basah dan celana capri cokelatku yang bercipratkan tanah.
“Terserah kau! Apa pun yang ingin kaulakukan, lakukanlah!” seru bapak sambil terus melajukan kendaraan roda duanya.
Dia tak peduli padaku. Dia menebas jalanan berkerikil di kawasan kebun jati desaku. Memburu. Menderu-deru. Tanpa kutahu ke mana yang dituju.
Aku tak lagi mengenali bahwa lelaki tambun itu benar-benar bapakku. Dia semakin jauh. Tak terengkuh, lantas lenyap terbalut muntahan langit yang kelabu. Hujan berderai panjang dan terasa semakin panjang. Kendaraan di sekitarku berlalu lalang seumpama lintasan burung kolibri yang jarang-jarang.
Semenjak itu, aku baru percaya—dan memang harus percaya—bahwa bapak telah berubah. Aku jadi benci dengan bapakku sendiri. Aku mengutuknya berkali-kali agar dia hidup sengsara bersama istri barunya, dan aku hidup bahagia bersama ibuku yang malang.
Alih-alih menjadi yang aku ancamkan pada bapak; aku malah rajin belajar. Ingin kubuktikan pada bapak bahwa kami bisa hidup bahagia tanpanya. Perlahan Tuhan pun mengabulkan apa yang kupanjatkan. Ibuku yang malang itu diangkat menjadi kepala sekolah, dan aku diterima sebagai salah satu ASN di Dinas Kesehatan.
Sementara yang kudengar dari orang-orang—karena aku tak pernah lagi berkomunikasi dengan bapak lantaran nomor ponselnya yang susah dihubungi—bapak menghilang dari rumahnya, tak lagi tinggal bersama istri barunya.
“Apa sudah diajukan ke pengadilan?” tanyaku pada bapak yang sedang mengguyuri air ke dinding kamar mandi yang terlihat lebih cerah ketimbang sebelumnya.
“Belum, surat nikah kami disembunyikannya.” Ringan bapak menjawab seakan-akan itu adalah hal lumrah yang sering dilakukan. Dalam hati aku menerka-nerka, sepertinya wanita itu lebih cerdik dari seekor rubah merah.
“Kau sendiri?” Sejenak bapak menatapku, “tanggal tujuh nanti jadi, kan?”
Aku mengangguk pelan dan tersenyum masam. Kuedarkan pandang ke sekeliling kamar mandi masjid yang terletak di samping kanan ruangan bapak. Di sisi kanannya merupakan tempat parkir yang seluas lapangan tenis, dengan latar barisan tanaman singkong yang tingginya setara dengan ilalang, sedangkan ruangan bapak sendiri, menurutku, terlampau kecil untuk disebut sebagai tempat tinggal—maka aku menyebutnya ruang.
Dari luar, tampak sebuah kasur tipis digelar, bersebelahan dengan kursi plastik yang tertindih penanak nasi berukuran mini. Kata bapak, untuk menjejali perutnya yang tak lagi buncit itu, saban hari dia membeli sayur matang dan gorengan; atau kadang-kadang, jika ada pengajian, jemaah akan menyisakan satu bungkus nasi campur dengan sebotol air mineral untuknya. Mendengar pengakuan dari bapak: seketika hatiku serasa dicincang-cincang, seperti daging sapi yang siap dijadikan saus spageti.
Sebetulnya, kedatanganku menemui bapak di hari itu dikarenakan ada perihal penting yang ingin kusampaikan. Jika tidak, barangkali selamanya aku akan memilih mengetahui kabar bapak dari orang-orang. Bapak memang bukanlah selebriti, tapi semenjak berpisah dengan ibu, dia menjadi selebriti dadakan yang kehidupannya banyak dikecam orang.
Dan berkaca dari kehidupan anak selebriti yang kerap tayang di televisi, yang di saat dewasa pada akhirnya dia menikah, dan orang tua kandungnya yang telah berpisah hadir di acara pernikahannya yang meriah: aku pun belajar memaafkan apa yang pernah bapak lakukan. Karena aku sendiri juga akan menikah bulan depan.
Jika anak selebriti itu bisa memaafkan ibu kandung yang dianggap pernah melukai hatinya bertahun-tahun, mengapa aku tidak bisa memaafkan bapak? Lagi pula aku juga butuh bapak sebagai wali nikah; aku butuh kepastian bahwa bapak benar-benar akan datang. Oleh karena itu, aku harus menemuinya secara langsung. Dan karena tak tahu keberadaan bapak, maka aku mencari masjid yang sering dibicarakan orang-orang. Aku pun pergi ke masjid di ujung gang sempit di hari Minggu lalu yang terik.
“Kenapa Bapak bisa di sini? Apa mereka tahu Bapak masih punya keluarga?” selidikku ketika pertama kalinya datang ke masjid. Bapak sedang duduk di ambang pintu ruangannya: berwajah tenang, kulitnya arang.
“Ustaz Yasin yang membawaku ke sini. Beliaulah ketua yayasan yang membangun masjid ini.”
Aku memang pernah mendengar nama Ustaz Yasin disebut orang-orang. Katanya beliau orang yang dermawan. Kuharap bapak sudah mempertimbangkan matang-matang keputusannya untuk pergi dari wanita beranak dua itu. Sebagaimana apa yang seringkali diucapkannya padaku, seharusnya dia bisa mengambil pembelajaran dari apa yang pernah dilakukan sebelumnya: ketika dia meninggalkan ibuku, istri pertamanya. Waktu itu hatiku masih bergemuruh hebat. Tidak mudah menyulam luka yang menganga ke sekian lama.
Tapi untuk kali ini, di saat aku datang untuk yang kedua kali dan mendapati bapak tengah membersihkan kamar mandi: hatiku mulai luluh dengan perubahan sikap bapak yang tampak lebih bijaksana.
Bapak meletakkan alat penggosok di sudut kamar mandi, lantas keluar dan mengajakku duduk di teras, tepat di depan ruangannya. Lagi-lagi kupandangi tempat bapak menghabiskan hari-harinya yang disiram cahaya remang-remang itu, hatiku serasa ditabuh keras sekali: seperti tabuhan bedug yang berdiri kalem di tengah-tengah beranda masjid. Aku sadar bapak pernah menancapkan belati yang tajam di hatiku, juga ibuku. Tetapi melihat keadaannya sekarang, aku jadi merasa iba.
“Seburuk-buruknya Bapakmu, dia tetaplah Bapakmu!” kata guru ngajiku yang mengenalkanku dengan Mas Halim, calon suamiku.
Perlu waktu lama sekali bagiku untuk memutuskan menikah. Apa yang dilakukan bapak terhadap ibu, membuatku berulang kali menolak banyak lelaki. Dari yang paling banyak ubannya hingga paling klimis rambutnya, semua berusaha merebut simpatiku. Namun, seakan-akan ada kaca besar nan tebal yang tumbuh di dadaku. Bayangan-bayangan masa lalu seringkali berkelibat: masa lalu yang membuatku kehilangan cinta pertama; masa lalu yang membuat ibuku berhari-hari puasa dan menyebut penciptanya; masa lalu yang membuat nenekku meludah acapkali mendengar nama “Bagus” melintasi telinganya; masa lalu yang membuat orang-orang gemar memakan bangkai saudara mereka sendiri demi kepuasan yang fana. Bayangan masa lalu itu bertahan lama di sana, terpantul terang benderang menutupi apa-apa yang ingin lelaki-lelaki itu sampaikan.
Namun entah kenapa dengan Mas Halim kali ini kurasa berbeda. Dia datang dengan wajah yang tidak terlalu tampan. Dia mengaku pekerjaannya pun masih serabutan. Tetapi cara bicara dan sikapnya yang memuliakan ibuku seketika meruntuhkan kaca itu. Mas Halim menatapku sejenak dan tersenyum, dengan senyuman yang membawaku berdiri di antara tanaman perdu yang meranggas lebat. Bunga-bunga merah muda bermekaran. Kupu-kupu riang beterbangan. Lalu hujan berjatuhan.
Di teras masjid yang bercat hijau muda itu, bapak menanyakan banyak hal tentang Mas Halim padaku. Dia tidak memuji, apalagi mencaci: hanya berpesan agar aku bisa menjadikan kisah masa lalu orang tuaku sebagai kaca benggala untuk pernikahanku. Bapak terus mengulang-ulang kalimat itu, sampai-sampai aku jengah dan ingin muntah. Tapi anehnya, justru bapak yang tiba-tiba muntah di depanku. Dia mengaku jika lambungnya kerap bermasalah.
“Apa perlu kuantar periksa?”
“Tidak usah,” katanya, “aku masih menyimpan obatnya di lemari.”
Wajah bapak bagaikan orang yang lupa mandi berhari-hari: kering dan pasi. Setelah mengganti pakaian dan membersihkan cairan yang membludak dari mulutnya tadi, dia memintaku pulang.
“Sebentar lagi hujan,” katanya.
“Bapak tidak apa-apa?” Dia melengkungkan bibirnya, dalam.
Sebenarnya aku paling tidak tega melihat orang sakit, tapi jika bapak menyuruhku pulang, maka kuputuskan untuk segera pulang. Aku pun berjalan ke luar masjid seperti seorang pengantin wanita yang diboyong keluarga suaminya. Sesekali menoleh ke belakang—kulihat raut tua itu tetap bertahan dengan senyumnya di sana. Kubayangkan betapa tidak gampang di usianya sekarang untuk hidup sendirian.
Dan sebagaimana orang-orang tua yang hidup sendirian, mereka tidak hanya merawat kesunyian, tetapi mereka mampu memupuk kesabaran dan menjulangkan keberanian. Seringkali masalah dihadapi tanpa memikirkan risiko yang akan terjadi. Bagi mereka: mereka kuat. Meski kenyataannya sudah tua; sudah renta—tapi hati mereka buta.
Seperti apa yang telah terjadi siang itu. Pukul sebelas tiga tiga. Sebuah kabar dari seorang lelaki yang tak kukenal, yang menyampaikan bahwa bapak pingsan di depan toko bangunan, telah membuktikan dugaanku bahwa hidup bapak benar-benar dirundung kesulitan.
“Kenapa Bapak tak bilang kalau butuh uang?”
“Bapak takut merepotkanmu, Yun.”
“Lalu sekarang apa namanya? Sama saja, kan?
“Maafkan, Bapak,” rintihnya, “Bapak bingung mau menghubungi siapa.”
“Jangan sampai terulang!” ucapku tegas, “ingat umur Bapak!”
Bapak menunduk, sebagaimana tunduknya terdakwa yang diadili hakimnya. Tapi bapak tak bersalah, aku yang salah karena telah menelantarkan bapak: begitulah yang orang-orang tadi katakan.
Semenjak kejadian hari itu, aku jadi sering memikirkan bapak. Kiranya apa yang bisa kuberikan untuknya? Apakah uang mampu mencukupi segalanya? Sementara di sisi lain, aku juga harus menjaga hati seseorang yang pernah disakitinya. Seseorang yang melambaikan tangannya tinggi-tinggi ketika kuminta foto bersama bapak di hari pernikahanku. Dia masih menyimpan lukanya bertahun-tahun. Dan aku tak mau menambah luka lagi di hatinya.
Tapi, rupanya bapak lebih mengerti apa yang harus dilakukan. Dia mengaku akhir-akhir ini kerap berkunjung ke tempat Ustaz Yasin. Tampaknya sedang ada yang serius dibicarakan: sesuatu yang dianggap bisa mendatangkan perubahan untuk kehidupannya mendatang.
***
Aku melihat lelaki berkemeja hitam dan bersarung hijau pekat itu mengantar minuman kepada dua pelanggan yang duduk di atas kursi rotan. Dari balik kaca mobil, aku terus memerhatikannya. Tak lama berselang, datang pula seorang perempuan berkerudung ungu sebahu yang membawa dua mangkuk putih di atas nampan. Di dalam warung makan yang berdiri di seberang masjid itu, ada lima orang yang ingin menyantap soto ayam. Lelaki dan perempuan itu tampak sibuk melayani mereka: tanpa senyum, juga tawa. Seketika air mataku menetes begitu saja.
“Kau tidak turun dan menemuinya?” Lembut Mas Halim bertanya seolah alunan langgam Jawa. Aku menggeleng patah-patah.
Kembali kuingat saat terakhir kali berjumpa dengan lelaki itu di masjid. Setiap kali aku bercerita sesuatu, dia senantiasa mengangguk-angguk dan tersenyum. Entah apa yang ada di benaknya, yang jelas dia seperti menerima apa pun yang ada di kepalaku. Kini seolah keadaan sebaliknya; aku harus menyetujui apa pun keputusannya.
“Jauh-jauh ke sini kau hanya melihatnya dari balik jendela?” tanya Mas Halim lagi. Aku tersenyum ganjil sembari terus mengamati mereka.
Sore masih panjang, namun seperti ada kabut tebal yang menutupi kaca jendela sehingga malam seolah-olah telah datang. Aku pun menyadari sesuatu: ternyata mereka yang hidup di dunia ini bisa membuat kita kehilangan berkali-kali, daripada mereka yang sudah mati. (*)
Tentang Penulis:
Prima Yuanita, seorang ibu rumah tangga yang berkeinginan menjadi guru ngaji. Peraih juara 1 Lomba Karya Jurnalistik PKK tahun 2020 di tingkat Provinsi Jawa Tengah ini memiliki akun Facebook: Prima Yuanita dan Instagram: prima_yuanita.