Oleh : Saiful Bahri
Pesantren di Indonesia menjadi dambaan yang fundamental di dalam menata kehidupan umat beragama. Baik dari segi proses kegiatan belajar mengajar maupun metode pembelajaran yang sama sekali tidak meninggalkan tradisi lama namun mengapresiasi perubahan-perubahan metode baru. Generasi emas bukan mereka-mereka yang selalu teguh pada nilai adat kuno, tapi mereka-mereka yang kaya akan akal dan pikiran melalui inovasi-inovasi baru tanpa menampik kebiasaan lama.
Khazanah sufistik pesantren dan idealisme logika akhlak menjadi tanggung jawab ustaz maupun ustazah di dalam menjaga keberlangsungan tradisi peradaban santri. Sanat keilmuan santri boleh-boleh saja kita pertajam dengan hiasan pernak-pernik mutiara yang kemudian mampu dikolaborasikan dengan aliran-aliran metode yang aktual. Itu semua tergantung tujuan kita ke mana. Maka saya pikir, pondok pesantren di seluruh tanah air inilah yang memang menjadi bekal paling urgen bagi tindak tanduk keberlangsungan dan tantangan milenial di masa yang akan datang.
Sisi tasawuf pesantren selalu tampak kapan saja dan di mana saja. Kalau mau melihat sisi kultur tawaduk, beradab tinggi, wara’, ikhlas dan bertakwa serta identik dengan karakter-karakter kejujuran, di pesantren adalah tempatnya. Karena sampai saat ini penulis belum menemukan kesederhanaan jiwa yang terkontrol selain di laman-laman pesantren.
- Iklan -
Saat ini, santri milenial banyak dijumpai di pesantren-pesantren yang sangat sulit dikasih arahan. Contoh kecilnya menegur santri dengan cara yang dibentak misalnya, dengan cara yang kurang relevan ini malah dirasa tidak etis di kalangan milenial. Maka di sinilah perlu adanya metodologi-metodologi pembelajaran kongkret melalui pendekatan-pendekatan emosional di pesantren yang harus cerdas dalam hal menghadapi sikap santri milenial. Selain memang dikarenakan sulit menghadapi santri milenial, para guru dirasa perlu mengubah tatanan zaman yang sekiranya kolaboratif dan tetap adaptif sesuai zamannya.
Amukan zaman 4.0 kini semakin hari semakin terjajah dari tatanan yang serba gurauan ketika kemudian tidak dipikirkan bersama-sama. Maka tak heran ketika di zaman yang serba cepat ini sering kali kita temui santri milenial susah diatur, sama halnya seperti kedisiplinan masuk kelas setiap hari. Siapa yang akan bertanggung jawab kalau tidak guru, ustaz, ustazah, dan para kiai-kiai pesantren. Meski ini sepele, penting kita ajarkan di pesantren dan madrasah-madrasah yang tujuannya untuk tetap menumbuh kembangkan tanggung jawab pelajar selama belajar.
Kalau boleh saya bercerita, di pesantren tempat saya mengabdi mempunyai metode menarik untuk menanamkan norma kedisiplinan kepada pelajar. Kedisiplinan ini gampang diucapkan tetapi sulit dilakukan. Sebagai upaya mengajak santri dan siswa aktif di madrasah, kami secara struktural dan seluruh abdi secara intensif mengajak para santri mengaji surah Yasin setiap hari, katakanlah sebelum KBM (kegiatan belajar mengajar) dimulai.
Saya pikir memang sangat susah mengajak santri untuk disiplin. Ini semua tentu harus dilakukan oleh guru dan pengajar terlebih dahulu sebagai uswah bagi santri. Walau butuh waktu yang sangat lama untuk beradaptasi dengan metode sufisme moral, tapi setelah melekat justru menjadi brand bagi lembaga Pesantren Miftahul Huda itu sendiri, yakni tempat saya mengabdi. Bahkan bisa saja, nanti ditiru oleh lembaga-lembaga lain jikalau sekiranya sangat membantu kepada siswa yang selalu lambat masuk sekolah.
Sesuai pengamatan saya dan kepala sekolah, membutuhkan waktu kurang lebih empat tahun untuk terbiasa. Saya merasa bahwa metode sufistik moral ini tidak hanya ditujukan kepada siswa, bahkan ustaz dan ustazah yang mempunyai bagian jam pertama dituntut untuk memimpin mengaji Yasin. Para abdi, alhamdulillah sangat tertarik dengan kebijakan kepala sekolah.
Tujuan dari diadakannya mengaji Yasin sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai, selain kita bisa tawasul kepada pendiri Nahdatul Ulama beserta pendiri pesantren Al-Huda, kita juga menyambung sanat keguruan yang dirasa tembus langsung kepada kanjeng Nabi Muhammad SAW. Itu semua dilakukan seperti di awal pembahasan, walau saat ini saya pikir sulit diimplementasikan. Peraturan ini tidak hanya dilakukan dan ditujukan kepada siswa saja, tapi juga kepada guru di lembaga.
Nah, di sini kita menemukan sinonimi peribahasa yang sering kita dengar “banyak jalan menuju Roma” begitu pula dengan proses KBM di pesantren, tergantung bagaimana kiai dan guru yang akan menjadi uswah tolak ukur bagi santri. Ketika guru cerdik dalam mengambil pelajaran yang ideal, maka boleh-boleh saja kita terapkan di mana saja dan kapan saja. Bahkan itu semua dipastikan bisa cepat diterima oleh seluruh para santri milenial.
Gapura Timur, 17 November 2021.
Tentang Penulis
Saiful Bahri, kelahiran Sumenep-Madura, O5 Februari 1995. Ia mengabdi di Madrasah Al-Huda. Selain menulis, ia juga seorang aktivis di Komunitas Literasi Semenjak. Ada pula Fok@da (Forum komunikasi alumni Al-Huda), Organisasi Pemuda Purnama. Pengasuh ceria di grup (Literasi Indonesia) dan pendidik setia di komunitas (Literasi Kamis Sore). Serta aktif di organisasi PR GP Ansor Gapura Timur dan Lesbumi PAC Gapura. Disela-sela kesibukannya ia belajar menulis Puisi, Cerpen, Cernak, Esai, Resensi, Artikel, Opini, dll. Tulisannya pernah dimuat di koran Lokal maupun koran Nasional, seperti: Jawa Pos (pro-kontra), Republika, Riau Pos, Bangka Pos, Palembang Ekspres, Radar Madura, Radar Surabaya, Radar Banyuwangi, Radar Bojonegoro, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Malang Voice, Majalah Simalaba, Analisa Medan, Radar Cirebon, Kabar Madura, Jurnal Asia-Medan, Banjarmasin Pos, Budaya Fajar-Makassar, Radar Pagi, Dinamikanews, Denpost Bali, Website Redaksi Apajake, Catatan Pringadi, Jejak Publisher, Ideide.id, Iqra.id, Magrib.id, Gokenje.id, Majalah Pewara Dinamika Jogja, Koran Cakra Bangsa, Media Semesta Seni, Website maarifnujateng.or.id, Becik.id, MJS Colombo Jogja, Duniasantri.co, Banaran Media, Ruagsekolah.net, Koran Rakyat Sultra, Jurnaba.co, pcnusumenep.or.id.