Oleh: Abdul Warits*
Judul : Nasihat Pernikahan Imam Ghazali
Penulis : Imam Abu Hamid Al-Ghazali
Penerbit : Turos Pustaka
Cetakan : 2021
Tebal : 311 halaman
ISBN : 978-623-7327-431
Menikah adalah perbuatan yang dianjurkan dalam Islam. Membujang adalah perbuatan yang pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu. Menikah dan membujang di dalam buku ini sama-sama memiliki alasan rasional dari kisah-kisah dan sabda para ulama’, ayat Al-Quran, dan teks hadits. Walaupun, pada akhirnya menikah tetap menjadi prioritas dalam hidup manusia karena secara alamiah manusia memang butuh dalam menyalurkan syahwatnya agar terhindar dari kemaksiatan.
Selain menjelaskan tentang motivasi pernikahan dan menjauhinya, keuntungan menikah dan kesulitannya, akad nikah dan syaratnya, kewajiban dan hak suami-istri, kiat-kiat menekan syahwat, Imam Ghazali memberikan satu titik pemahaman bahwa pernikahan tidak hanya dipahami untuk menyalurkan syahwat. Ia menekankan agar pernikahan menjadi salah satu wasilah dalam memfokuskan beribadah kepada Tuhan. Dijelaskan di dalam buku ini menikah ada dua pemahaman. Pertama, menikah sebagai bagian dari ibadah. Kedua, menikah sebagai penyempurna ibadah (hal. 12)
- Iklan -
Imam Ghazali dengan tegas di dalam buku ini memaparkan bahwa menikah akan menjadi tidak wajib jika kemudian melalaikan dirinya kepada Allah. Karena segala sesuatu yang melalaikan dari Allah berupa istri, harta dan anak, maka itu adalah kerugian bagi seorang hamba. Intinya ialah tidak ada nukilan hadits dari seorang pun yang menganjurkan untuk tidak menikah secara mutlak, kecuali anjuran tersebut disertai alasan. Sedangkan motivasi atau anjuran untuk menikah, jelas selalu bersifat mutlak dan terkadang disertai dengan alasan. Tugas seorang hamba adalah menelusuri sisi positif dan negatif pernikahan (hal. 19)
Menurut Imam Ghazali, selain pernikahan menghadirkan ketenangan dan keharmonisan diri, suatu saat pasti akan ada kesulitan yang muncul akibat pernikahan. Setidaknya ada tiga kesulitan yang akan dihadapi oleh seorang dalam menjalani pernikahan. Pertama, sulitnya mencari nafkah yang halal. Kedua, tidak mampu memenuhi hak-hak para istri dan tidak mampu bersabar atas akhlak mereka. Ketiga, keberadaan istri dan anak yang menyibukkan hingga melalaikan Allah dan menjerumuskannya mencari dunia (hal. 66)
Buku yang diterjemahkan oleh Fuad Syaifuddin Nur ini merupakan gabungan dari dua kitab yaitu adabun nikah dan kasr asy-syahwatain. Kekayaan pengetahuan tentang pernikahan dan konsekuensi negatif dan positifnya sangat dirasakan ketika Imam Ghazali menjelaskan tipologi perempuan yang harus dinikahi. Dari sisi agama, Imam Al-Ghazali melarang untuk menikahi empat jenis wanita. Pertama, Al-Mukhtali’ah yaitu wanita yang selalu minta cerai setiap saat tanpa sebab. Kedua, al-Mubariyah yaitu wanita yang berbangga-bangga dengan hal-hal duniawi. Ketiga, Al-‘Ahirah yaitu wanita fasiq yang suka berselingkuh. Keempat, An-Nasyiz yaitu wanita yang bersikap tinggi hati dari suaminya dalam hal perkataan maupun perbuatan (hal. 85). Belum lagi, persoalan kecantikan yang dibahas dengan pemahaman yang bijaksana di dalam buku ini.
Selain memberikan pertimbangan matang tentang pernikahan, Imam Ghazali juga mengulas tentang kiat-kiat dalam menekan dua syahwat yaitu syahwat perut dan kemaluan serta bagaimana strategi dalam mengendalikan keduanya. Imam Ghazali menerangkan pertimbangan tentang kebaikan rasa lapar dan keburukan rasa kenyang serta manfaat lapar dan bahaya kenyang. Karena rasa lapar merupakan konsekuensi yang harus dijalani oleh orang yang tidak mau menikah agar bisa mengontrol terhadap syahwat yang bergejolak dalam dirinya.
Rasa lapar memberikan sisi positif terhadap fisik dan psikologi seorang manusia. Salah satu yang disebutkan di dalam buku ini rasa lapar dapat menghancurkan syahwat maksiat secara total dan mengurangi nafsu yang selalu memerintah diri kepada kejahatan. Sebab, sumber segala maksiat ialah syahwat dan kekuatan sedangkan sumber kekuatan dan syahwat merupakan makanan. Karena itu, mengurangi makan dapat melemahkan setiap kekuatan dan syahwat (hal. 211). Meski begitu, Imam Ghazali memberikan keterangan lebih lanjut tentang kondisi lapar yang dialami oleh masing-masing orang.
Menahan dari rasa lapar harus juga diseimbangkan dengan tabiat normal seorang manusia. Meskipun beberapa kisah dari para sahabat di dalam buku ini sebagian menceritakan tentang bagaimana sahabat melaparkan diri selama beberapa hari. Akan tetapi, Imam Ghazali di akhir bab memberikan satu penjelasan yang bijaksana bahwa hendaknya seseorang makan dengan kadar yang tidak sampai memberatkan perutnya, juga tidak merasakan sakitnya lapar bahkan seakan-akan ia melupakan perutnya sehingga setelah makan ia tidak merasakan lapar yang sebenar-benarnya. Karena, tujuan makan ialah menjaga keberlangsungan hidup dan untuk mendatangkan kekuatan untuk beribadah (hal. 254)
Buku ini begitu rinci dalam menerangkan bagaimana seseorang dalam menghadapi dunia pernikahan dan membujang dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya. Menikah dan membujang memiliki satu tujuan utama agar seorang hamba tidak melalaikan Allah dan terhindar dari kemaksiatan dan kekejian. Jika seseorang tidak bisa menahan syahwatnya, maka ia dianjurkan untuk menikah. Meski begitu, seseorang yang menikah hendaknya tidak menyibukkan diri dengan kehidupan dunia sehingga melalaikan dirinya kepada Allah. Sebab, inti dari pernikahan adalah beribadah.
*Abdul Warits, Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Program Pascasarjana Studi Pendidikan Kepesantrenan, Instika, Guluk-Guluk Sumenep Madura.