Oleh Isna Maulida Ahmad
“Urip rekasa kuwi ana ing pondok”. Saya teringat secuil kalimat yang masih membekas di hati. Kalimat yang beresensi mengenai makna hidup di pesantren. Hidup di pesantren identik dengan “sarung, peci, dan kerudung”. Sejauh mata memandang saat berkunjung di lingkungan pesantren pasti banyak menemukan orang memakai identitas itu.
Rekasa bisa dimaknai sebagai hidup susah payah atau secara ringkasnya berarti hidup sederhana. Se-sederhana dalam memaknai tujuan hidup sebagai santri. Menimba ilmu rupanya telah menjadi marwah dari tujuan seseorang yang memutuskan tinggal di pesantren. Sebelum menimba ilmu, santri perlu menyiapkan hati, fisik, dan fikiran untuk siap hidup sederhana.
Kesederhanaan tersebut bisa dilihat dari berbagai aspek, mulai dari bentuk fisik bangunan, sumber daya manusia, hingga budaya belajar pesantren. Kesederhanaan telah menjadi gaya hidup pesantren. Dahulu daerah pedalaman banyak dipilih sebagai lokasi pendirian pesantren karena suasananya yang tenang dan nyaman sebagai tempat belajar
Tempat yang tersembunyi itu sampai-sampai membuat penjajah menaruh curiga terhadap Pendidikan Agama Islam tersebut. Akibatnya Belanda pernah membuat aturan perizinan pendirian pondok pesantren yang dikenal “godsdienstleeraar”
Pemilihan lokasi di pedalaman juga bertujuan untuk menghindari kehidupan duniawi yang terlalu mewah. Hidup diperkotaan jelas akan mendapat banyak kemudahan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Lingkungan yang heterogen dianggap kurang fokus bagi santri yang ingin menimba ilmu.
- Iklan -
Hidup di pedalaman jauh dari fasilitas umum. Kondisi itu menuntut santri untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan. Mereka memang tidak dibiasakan untuk bergantung dengan pihak luar, sehingga dari situlah muncul etos mandiri.
Pendidikan pesantren
Gaya pembelajaran di pesantren memiliki ciri khas tersendiri yang berangkat dari kebutuhan hidup masyarakat Indonesia. Pondok pesantren berbeda dengan pendidikan formal milik pemerintah. Mereka tidak hanya belajar, tetapi juga dibekali cara bertahan hidup di masyarakat.
Para pendiri pondok pesantren paham betul mengenai pentingnya kemandirian, sehingga membekali santri dengan keterampilan-keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dahulu jarang kita temui santri hidup menganggur karena keilmuwan mereka tidak digunakan sebagai media mencari pekerjaan. Ilmu murni digunakan untuk menambah pengetahuan.
Saya teringat tulisan dari Ajip Rosidi yang berjudul “Kembalikan Pesantren Kepada Asalnya”. Di sana dituliskan saat itu pemerintah pernah mengeluarkan kebijakan penyeragaman pendidikan pesantren dengan mengeluarkan ijazah. Ijazah yang berisikan angka-angka itu tidak sepatutnya menjadi tolok ukur belajar para santri. Ijazah malah hanya mengantarkan santri untuk menggunakan ilmu sebagai ladang mencari pekerjaan. Hasilnya setelah berkompetisi memperebutkan nilai yang baik di ijazah, saat lulus santri banyak yang menganggur.
Etos Mandiri
Kemandirian yang ditanamkan para pendiri pondok pesantren rupanya telah menjadi etos kerja santri. Banyak sekali pondok pesantren yang mampu mandiri secara pangan maupun finansial. Budaya kerja mandiri tampaknya telah mengakar dalam kehidupan santri. Bisa dilihat dari hal sederhana mulai bangun tidur hingga tengah malam mereka memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri, seperti memasak, mencuci, bahkan mencari pangan mereka lakukan sendiri.
Seiring berkembangnya waktu, pesantren tidak hanya tumbuh subur di daerah pedalaman, tetapi juga di lingkungan perkotaan. Pesantren yang terbiasa dengan budaya kerja mandiri dapat bertahan saat dibenturkan dengan kehidupan perkotaan. Mereka akan tetap mandiri dengan memanfaatkan peluang yang ada. Tidak jarang kita temukan pesantren banyak memiliki usaha. Mulai dari bisnis AMDK, percetakan, hingga usaha konveksi.
Salah satu pesantren mandiri yang bisa dijumpai berada di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Pesantren tersebut bernama Nurul Musthofa. Usia pesantren terbilang masih belia karena baru saja berdiri pada tahun 2018. Meskipun masih baru, pesantren telah bertekad untuk mengedepankan kemandirian dalam memenuhi kebutuhan.
Pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilihat dari cara pesantren mengelola sumber daya alam. Mereka menanam padi dan beranekaragam sayuran di sekitar lingkungan pesantren. Sayuran tidak dibiarkan tumbuh begitu saja, melainkan dirawat dengan telaten setiap pagi hingga tumbuh subur. Sayuran tersebut mampu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup santri.
Selain mandiri pangan, mereka juga berupaya mandiri secara finansial. Pesantren berupaya untuk memberikan keterampilan berwirausaha. Semangat entrepreneur sengaja diajarkan supaya santri dapat mandiri setelah lulus. Keterampilan itu berbuah manis bagi pesantren. Mereka mampu memiliki sumber pendapatan dari usaha yang dikelola sendiri, antara lain usaha pembuatan tahu dan tempe, usaha isi ulang air galon, usaha pembuatan aneka kue, dan masih ada rintisan usaha lainnya.
Pesantren Nurul Musthofa hanyalah salah satu contoh gambaran pesantren mandiri. Masih ada banyak pesantren mandiri lainnya yang tersebar di wilayah Indonesia. Kemandirian itu rupanya telah menarik minat pihak luar seperti Bank Indonesia yang memiliki program pemberdayaan ekonomi pesantren. Sekarang sudah ada 62 pesantren yang tergabung di dalamnya. Ada 17 pesantren di Jawa Timur yang telah mendirikan Forum Bisnis Pesantren Nusantara.
Kemandirian pesantren telah digandrung-gandrungkan akan menjadi kebangkitan ekonomi umat. Pemberdayaan yang diberikan seharusnya sejalan dengan kondisi lapangan yang sesuai dengan kehidupan santri. Santri memiliki konsep kemandirian yang tidak bisa disamaratakan dengan pemberdayaan UMKM lainnya. Apabila pemberdayaan yang diberikan tepat sesuai dengan pemahaman santri, maka diharapkan santri dapat semakin berdaya dan swadaya.
Etos mandiri dari pesantren sudah selayaknya diakui sebagai upaya kebertahanan ekonomi. Kemandirian tersebut sangat diperlukan oleh berbagai pihak. Terlebih adanya pandemi covid-19 akan berdampak buruk bagi sektor kehidupan yang bergantung pada ekonomi pasar. Lain halnya dengan pesantren. Berkat etos kemandirian, santri mampu memenuhi kebutuhan hidup, baik melalui usaha milik pesantren maupun hasil sumber daya alam ditanam, sehingga mereka mampu bertahan ditengah ancaman krisis ekonomi pandemi covid-19.
-Penulis adalah Mahasiswi Antropologi Sosial-Universitas Diponegoro .