Oleh Hamidulloh Ibda
Kuliah daring memang menjenuhkan. Tapi bisa disambi. Enaknya di situ. Plus minus lah. Saya bisa nyambi rapat, ngerjain administrasi, bahkan kalau kecuten ya saya sambi menikmati negara “maroko”. Terpaksa saya ungkap karena begitulah adanya.
Bagi yang sudah bekerja seperti saya, melanjutkan studi memang harus pandai mengatur. Ya mengatur waktu, pikiran, tenaga, keuangan, bahkan perasaan. Jika tidak, sistem kebut semalam alias SKS akan melanda tiap malam. Laiknya Bandung Bondowoso.
Jika tugas laiknya tugas-tugas mahasiswa S1 sih simpel. Tapi kalau program doktoral itu memang membuat kempis-kempis karena bekerja dengan dateline dan aplikasi. Maka jawabannya ya fokus itu.
- Iklan -
Teman-teman seangkatan saya di Prodi S3 Dikdas Universitas Negeri Yogyakarta juga sama. Ada yang memang fokus, setengah fokus, atau memang disambi. Ini peristiwa anomali. Saya yakin mereka orang-orang sibuk semua, kecuali saya yang aslinya pengangguran tapi sok sibuk demi “pencitraan”. Hehehe.
Sering saya lihat sahabat-sahabat sekelas itu ada yang sedang rapat, nyetir, mengikuti seminar, bahkan ada yang sambil nyanyi dan joget. Sungguh menggembirakan betul!
Sejak kuliah S1 sampai S3 sekarang, saya belum pernah menikmati nikmatnya kuliah. Bersama teman-teman se antero negeri dalam ruang virtual yang serba bisa disambi. Nikmat utama bagi saya adalah rasa mencintai kondisi tersebut.
Bercinta!
Bagi saya, kuliah itu menegaskan konsekuensi rekasa, prihatin lah. Maka saya ingat pesan kiai saya dulu; “golek ilmu ki ya rekasa. Nek ora rekasa ya ora ilmu judule”.
Dalam kitab Ta’lim Muta’allim karangan Syekh Burhanuddin al-Zarnuji al-Hanafi, tertulis syarat mencari ilmu minimal enam bekal, yaitu kecerdasan, kemauan, sabar, biaya, bimbingan guru dan waktu yang lama. Kalau tidak mau rekasa ya baiknya tak perlu kuliah. Apalagi di jenjang Pascasarjana. Penuh tugas yang tak berkesudahan.
Maka letih, mumet, sedih, begadang bukan hal aneh dalam kuliah, apalagi S3 sebagai jenjang paling akhir dalam kamus pendidikan tinggi di dunia.
Saya menafsir, masa S1 itu kuliah untuk senang-senang. Masa S2 itu mencari jatidiri, distingsi dan amunisi. Masa S3 tentu tidak seperti S1 yang masih main-main dan menuruti kehendak orang tua. Tidak juga masa S3 itu sama laiknya masa S2 yang rata-rata belum bekerja, atau hanya sekadar cari gelar agar mentereng karena sudah bekerja. Bukan begitu!
Studi doktoral tak sekadar itu. Meski tiap orang memiliki tujuan dan niat berbeda, namun tingkat mumetnya juga berbeda karena pasti ada yang berbekal “nekat dan bismillah”.
Maka saya menilai poros utama dari keletihan mencari ilmu itu adalah bercinta dengan ilmu itu sendiri. Untuk mencapai titik itu pada jenjang formal, banyak syarat yang harus dilalui. Apalagi kalau jenjang S3 itu harus mencapai taraf Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) level 9. Paling duwur.
Saatnya Bercinta!
Konsekuensi dari mencintai sesuatu harus rela berkorban. Bisa jadi kita berkorban karena cinta atau kita mencintai sesuatu yang mengharuskan kita berkorban. Cinta dan pengorbanan adalah dua sisi yang tak bisa dipisah. Bagai api dan panas, besi dan keras, laut dan gelombang, bahkan laiknya diriku dan dirimu; satu!
Saya ingat pesan Prof Pardjono, dosen Metodologi Penelitian Sekolah Dasar. Beliau berfatwa “Kuliah S3 tidak bisa berhasil kalau Anda tidak fokus pada disertasi. Selamat belajar, semoga Allah memberi kemudahan. Amin.”
Saya masih punya impresi bahwa pesan beliau itu mengajak kita untuk fokus. Bercinta dengan ilmu harus fokus. Rumusnya begitu. Mau pakai deret ukur atau deret hitung inti orang bercinta ya fokus. Jika tak fokus pasti gagal!
Untuk mencintai ilmu, banyak ulama salafussaleh menulis syarat yang harus dipenuhi pada pembelajar. Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari (1871-1947) menyaratkan sembilan hal yang wajib dipenuhi ketika kita mau bercinta dengan ilmu.
Pertama, menyucikan hati dari unsur buruk. Ya, namanya orang bercinta itu harus suci, jauh dari hal-hal buruk termasuk subhat. Ilmu akan hinggap pada akal pembelajar ketika hati bersih suci. Ini poin tersusah bagi saya karena kadang kita selalu pamrih dan memakai logika pedagang dalam kuliah.
“Aku nek lulus ngko dadi apa?” “Aku nek lulus nanti kerja apa?”
Pertanyaan-pertanyaan repetitif semacam ini pasti pernah bersemayam dalam pikiran pembelajar. Harusnya mencari ilmu menjadi titik awal membersihkan hati dari riya’, ujub, sombong, apalagi takabur.
Kedua, memperbaiki niat. Syarat kedua ini juga tergolong berat. Sebab, dari 1000 mahasiswa, saya yakin tidak lebih dari 100 orang yang niatnya lurus kepada Tuhan. Harusnya, mencari ilmu itu ya diniatkan ibadah kepada Tuhan. Minimal, niat kita menghilangkan kebodohan dan membahagiakan kedua orangtua. Bukan sekadar mendapat gelar dan ijazah. Ini bagi saya adalah tujuan konyol laiknya cerita klise masa lalu.
Ketiga, bersegera. Idiom pemuda sekarang ya gercep alias gerak cepat ketika mendapatkan tugas dari dosen. Penyelesaian tugas akademik harus selesai sebelum dateline. Namun penyakit malas tiap detik melanda. Dogma “ngko wae ah” sering hinggap di benak kita. Padahal, generasi yang sukses itu pasti memiliki prinsip lasles, cakcek, tanpa ledha-ledhe laiknya orang tiga hari belum makan.
Keempat, qana’ah (qanaah). Ini sikap fokus, tak mengandai-andai, banyak mimpi tapi miskin aksi. Qanaah secara bahasa berasal dari kata qani’a-qanu’an-qana’atan yang berarti rida terhadap hal sedikit. Secara istilah, qanaah berarti merasa cukup dan rela menerima dengan apa yang diberikan dan telah menjadi ketentuan Tuhan.
Kelima, dapat membagi sekaligus memanfaatkan. Ya, ini sudah diwejang oleh Mbah Hasyim, kalau kita statusnya pembelajar harus dapat membagi dan memanfaatkan waktu. Sebab, waktu itu uang, ya pedang, ya perisai, apapun itu. Ketika kita tidak dapat mengatur waktu dengan baik, semua tugas kuliah akan kacau. Bahkan, tak jarang kita akan melakukan kejahatan intelektual seperti plagiat karena tidak ada waktu cukup untuk menulis dengan kejujuran. Ini salah satu contoh sederhana saja. Lainnya, banyak efek negatif ketika kita tidak dapat memanfaatkan waktu dengan baik.
Keenam, menyedikitkan makan dan minum. Makan dan minum itu kebutuhan pokok. Namun ketika berlebihan, itu sudah kategori boros, isyraf alias berlebihan dan tergolong teman setan, kata Tuhan begitu dalam (QS. Al Isro’ [17]: 26-27). Maka, untuk mendukung pembelajaran, kita makan secukupnya dan minum secukupnya. Bukan sebebas-bebasnya. Sebab, penyakit orang kenyang itu malas, ngantuk, bahkan menumpulan akal pikiran.
Ketujuh, menjaga diri dari hal-hal yang merusak. Destruktif terhadap diri sendiri tidak boleh. Baik itu pada hal-hal fisik, maupun metafisik. Banyak contohnya, kita terlalu lama di depan laptop tapi hanya main game, atau PS-an, atau justru meracuni diri dengan menonton bokep. Ini sangat mengacaukan akal pikiran, psikis-mental. Bahaya!
Kedelapan, mengurangi tidur. Ini bukan berarti kita harus begadang. Artinya, dalam skala kenormalan kita tidur itu antara 7-8 jam setiap hari. Ketika kita ini statusnya adalah pembelajar, kita harus melekan, begadang, namun bukan melekan dan begadang, melainkan berkarya, membaca, menulis. Bedakan antara begadang dengan berkarya. Begitu!
Kesembilan, tidak tenggelam atau larut dalam pergaulan. Memilih teman itu harus. Sebab, salah pergaulan akan mengakibatkan kita juga menjadi pribadi terbelah. Artinya, selektif memilih teman, dan jangan terlalu sering nongkrong, kongkow yang tidak jelas manfaatnya. Lebih baik membaca, menulis, dan berkarya. Sebab, semakin banyak waktu terbuang karena pergaulan itu, justru akan merugikan diri sendiri. Tapi bukan berarti kita tidak boleh kongkow lo ya!
Sembilan wejangan di atas adalah jalan mencintai ilmu. Banyak para pakar, ahli, guru besar, atau kiai, ulama merumuskan jalan cinta menuju Tuhan lewat ilmu.
Mafhum, kita mau memiliki dunia butuh ilmu, kita hendak bahagia di akhirat juga butuh itu.mBahkan, untuk mencari ilmu itu juga butuh itu. Nyatanya, proses PMB saja dites! Kita mau masuk kuliah itu ada tesnya!
Artinya, jika kita sudah mencintai ilmu maka setidaknya sembilan wejangan di atas kita lakukan dengan seksama sesuai dengan status kita, mau pelajar, mahasiswa, mahasantri, santri, atau apapun itu.
Mengapa? Karena tidak ada cinta berjalan tanpa pengorbanan. Efek plasebo orang bercinta dengan ilmu adalah menjalankan semua hal yang baik untuk mendapatkan ilmu tersebut.
Sudah jelas bahwa kuliah adalah bagian dari media mencari ilmu. Maka simpulannya, kuliah ada bercinta. Jika orang kuliah kok tidak membawa cinta, itu namanya nyalawadi. Betul atau tidak?
-Hamidulloh Ibda, mahasiswa Program Doktoral Pendidikan Dasar Universitas Negeri Yogyakarta.