Oleh: Slamet Makhsun
Gus Dur, tidak hanya dikenal sebagai ulama cum kyai yang notabenenya cucu dari Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari maupun putra dari KH Wahid Hasyim, melainkan sebagai sosok multidimensi yang perjuangannya lintas batas. Banyak kalangan yang menghormatinya sebagai tokoh pluralisme yang memperjuangkan sisi-sisi kemanusiaan. Hal itu lalu menyiratkan bahwa humanisme Gus Dur hanya memperjuangkan hak kebebasan beragama, diskriminasi, atau menegakkan toleransi.
Padahal tidak seperti itu. Humanisme Gus Dur tidak melulu membela kebebasan beragama dan toleransi, namun bagian-bagian dasar petani turut ia perjuangkan. Hal itu nampak pada pemikiran dan kebijakannya, yakni saat menjabat sebagai presiden, regulasi yang dibuat mengarah pada pemenuhan hak-hak para petani.
Seperti tulisannya Idham Arsyad, Ketua Umum DPN Gerbang Tani—organisasi di bawah naungan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang fokus pada advokasi dan isu-isu pertanian. Ia menegaskan bahwa;
“Gus Dur memberi babak penting bagi perkembangan gerakan agraria Indonesia di masa-masa selanjutnya dengan sikap dan gaya kepemimpinannya yang moderat, demokratis, dan bersahabat. Seperti pengakuan para aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama pengurus NGO lainnya bahwa di era pemerintahan Gus Dur lah untuk pertama kalinya bertemu secara resmi dengan Presiden dan mendiskusikan urgensi pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Hal yang perlu dicatat bahwa pada pertemuan itu Gus Dur mengatakan bahwa silahkan siapkan konsep dan rancangan peraturannya, nanti saya tanda-tangani. Sayangnya hal tersebut belum terjadi keburu Gus Dur dilengserkan.”
- Iklan -
Dulu saat PKI masih eksis, wacana dan kampanye yang ditawarkan ialah kebijakan-kebijakan seperti pembagian dan pengolahan lahan dengan adil bagi petani, hingga hal itu menjadi beban moral bagi para aktivis tani di masa Suharto. Mereka lalu dituduh memiliki kedekatan dengan PKI sehingga gerakannya ‘diharamkan’. Padahal tuduhan tersebut sama sekali tidak memiliki dasar yang kuat. Akibatnya, selama Suharto menjabat, aktivis tani dikekang, bahkan ditumpas. Banyak dari mereka yang ditangkapi dan dipenjara karena dicap penganut ideologi ‘merah’ itu.
Di titik ini pula, pihak-pihak yang dekat dengan Suharto semakin menggila untuk mendapatkan hak perizinan pengolahan dan penggunaan tanah. Para pemodal itu lalu banyak mendirikan pabrik, perkebunan sawit, maupun tambang batu bara, dengan lahan beribu-ribu hektar yang tentunya menggunakan tanah milik rakyat. Alhasil, ketimpangan terjadi di mana-mana. Banyak para petani ataupun suku adat, yang dulunya menggarap hutan atau sawahnya, terpaksa bekerja kepada pemodal tersebut. Tanah mereka dirampas dan diakuisisi oleh negara maupun korporat secara paksa.
Sebagai bentuk ketidakterimaan atas perlakuan Orde Baru yang seperti itu, kemudian banyak elemen masyarakat yang mendirikan berbagai LSM dan organisasi yang mewadahi perjuangan kaum tani. Organisasi-organisasi ini pula, yang lalu bersuka cita atas kemenangan Gus Dur di pemilu presiden pada tahun 1999. Mereka percaya bahwa Gus Dur akan merubah Indonesia ke arah yang lebih baik, termasuk bagi kaum tani.
Gayung pun bersambut. Setelah Gus Dur resmi menjadi presiden, ia membuka kran-kran pemerintahan se-demokratis mungkin. Ia siap men-support dan menerima dengan lapang dada semua keluh kesah yang petani alami agar mereka mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Demikian itu bisa dilihat misalnya ketika Gus Dur hadir dalam acara Konferensi Nasional Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria pada 23 Mei 2000. Saat itu, Gus Dur melontarkan sebuah ungkapan yang terkenal di depan ribuan petani dan masyarakat adat, “Sebenarnya perkebunan yang nyolong tanah rakyat, ngambil tanah kok ngak bilang-bilang”. Gus Dur juga menambahkan jika selama ini negara menjadi kaya karena menguasai dan mengelola lahan serta sumber daya alam, maka untuk masa yang akan datang, rakyat juga harus menikmati hal sama. Rakyat harus pula merasakan sumber daya alamnya.
Gus Dur dengan jelas tahu, bahwa ketika negara menjadi kaya, maka kekayaan tersebut hanya akan mengalir kepada kelompoknya para pemegang kekuasaan—nepotisme. Oleh sebabnya, untuk membersihkan nepotisme tersebut, kekayaan negara harus dibagi rata kepada rakyat. Sisi-sisi seperti ini, jika penulis lihat, merupakan ejawantah dari prinsip Islam yang Gus Dur pegang.
Islam dimaknai sebagai agama yang menyuarakan keadilan ekonomi, mendukung distribusi kekayaan secara seimbang, membenci adanya pihak-pihak yang selalu menguntungkan dirinya sendiri. Selalu membela terhadap orang yang tertindas dan lemah.
Islam datang ke muka bumi ini tiada lain untuk membebaskan manusia dan memberinya rahmat. Atas dasar itu, Islam sangatlah membenci kezaliman. Segala paham atau sistem yang berupaya untuk mempertahankan dan mengekalkan kemiskinan, kelaparan, kekurangan, kezaliman, maka wajib dilawan. Hal tersebut sama halnya dengan jihad fisabilillah. Sebab, berjuang dengan tujuan untuk menerapkan kesetaraan dan keadilan yang telah Tuhan amanatkan kepada manusia, adalah suatu kewajiban.
Gus Dur dengan idealisme yang ia pegang, telah menjadikannya sosok yang selalu membela orang tertindas dan lemah. Sehingga wajar, jika ia sering berkecimpung dan memiliki banyak ‘teman’ dari kalangan wong cilik. Itu merupakan ladang dakwah Gus Dur yang ia geluti.
*) Slamet Makhsun lahir tanggal 31 Mei 2001. Alumni PP Muntasyirul Ulum asuhan Kyai Ali Affandi ini memiliki hobi ngopi dan membaca buku. Turut pula bergabung dengan PMII Rayon Pembebasan dan anggota IPNU PAC Mlati, Sleman. Kini menempuh pendidikan di Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga.