Oleh Sam Edy Yuswanto
Gembok. Begitulah orang-orang selama ini menamaiku. Aku tercipta dari tembaga dan biasa dijual di toko-toko bangunan juga toko peralatan sepeda. Cukup banyak orang yang berminat membeliku. Mungkin karena aku dianggap memiliki banyak fungsi sehingga keberadaanku kerap dicari-cari. Biasanya, mereka menjadikanku sebagai alat untuk menggembok pintu, kendaraan, bahkan kotak amal. Secara tidak langsung, mereka menyuruhku menjaga harta benda mereka dari para maling yang bisa datang sewaktu-waktu.
Aku masih ingat, dulu, ketika masih bermukim di etalase sebuah toko bangunan, aku memiliki banyak teman yang sangat baik dan menyenangkan. Paku adalah salah satu teman akrabku. Meski kecil tapi badannya kuat dan banyak manfaatnya. Ia biasa digunakan orang-orang untuk mencantelkan kalender, pakaian, pigura, dan lain sebagainya. Dari Paku aku belajar tentang hakikat kesabaran, keikhlasan, juga kesetiaan. Ya, Paku sangatlan penyabar meski dipukul berkali-kali, bahkan kadang sampai tubuhnya melengkung, tapi ia tak pernah marah. Ia, meski telah berlumur karat, tak akan berpaling dari tempat di mana ia telah ditancapkan oleh pemiliknya.
Selain Paku, aku juga berkarib dengan Obeng yang selalu menghibur saat aku sedang ditikam kesedihan. Obeng, meski jarang digunakan oleh manusia tapi sekalinya dibutuhkan ia akan dicari-cari sampai ketemu. Aku juga bersahabat dengan Kuas yang meskipun tubuhnya gepeng dan rapuh tapi memiliki sifat sabar luar biasa. Ia tak pernah mengeluh saat tubuhnya diforsir bekerja, dicelupkan ratusan kali ke dalam cat dan akhirnya menari-nari di keluasan tembok yang seolah tak bertepi. Dan masih banyak teman-teman lain yang butuh berlembar-lembar kertas untuk mengisahkannya.
- Iklan -
Hal paling menyedihkan dalam hidupku ketika harus berpisah dengan teman-temanku. Aku ingat, pada suatu siang seorang lelaki muda datang ke toko, lalu memandangi tubuhku, meminta penjaga toko untuk mengambilku, lalu setelah kunci kecil putih itu dimasukkan ke lubang kecil dalam tubuhku, dia memutar-mutarnya pelan sambil tersenyum, mengangguk-angguk, lantas menukar tubuhku dengan sejumlah uang. Aku tak kuasa menahan tangis saat dipaksa berpisah dengan teman-temanku. Tangisku baru mulai mereda saat mereka menghiburku dengan deretan kata-kata yang menenangkan.
“Jangan sedih Kawan, meski kau tak lagi bersama kami, tapi aku percaya kau akan mendapat tempat tinggal yang lebih baik dan lebih bermanfaat,” Paku menatapku lembut sambil tersenyum.
“Aku yakin, di tempat barumu nanti, kau akan bertemu teman-teman baru yang menyenangkan,” Kuas berkata dengan nada optimistis.
“Ayo semangat! Jangan sedih!” sahut Obeng dengan nada riang.
Akhirnya aku pun berpamitan kepada teman-teman. Kesedihan itu setidaknya berkurang saat mereka berusaha menyemangatiku.
***
Dan, di sinilah tempat baruku sekarang. Menggantung dan terkunci di sebuah kotak kayu berukuran sedang. Kotak kayu cokelat muda yang diletakkan di depan masjid dan dijuluki Kotak Amal tersenyum adalah teman karibku satu-satunya saat ini. Tugas utama kami menunggu orang-orang menyisihkan sebagian uangnya, lalu dimasukkan ke dalam tubuh sahabatku yang kerap mengeluh padaku.
“Kesal banget aku sama orangtua itu,” keluh Kotak Amal suatu hari.
“Yang mana?” aku menatap orang-orang yang sedang berjalan menuju masjid.
“Tuh, yang depan sendiri, yang pakai sorban putih,”
“Lho, itu bukannya imam masjid ini?”
“Betul, imam sekaligus kiai di daerah ini,”
“Memangnya kenapa kamu kesal padanya?”
Lantas, Kotak Amal pun berkisah panjang lebar, bahwa orangtua yang biasa dipanggil Kiai Zen itu hanya pandai berpidato. Tapi minim aksi. Tiap Jumat dia berkhotbah dan mengajak orang-orang agar rajin bersedekah tapi dianya sendiri tak pernah memberikan contoh langsung.
“Coba aku tanya, apa kau pernah lihat Kiai Zen memasukkan uang ke dalam tubuhku?”
Aku berusaha mengingat-ingat dan sepertinya Kotak Amal benar. Aku memang belum pernah melihat Kiai Zen memasukkan uang ke tubuh sahabatku ini. Justru orang-orang yang biasa mengaji padanya yang kerap datang kepada kami, lalu mengulurkan tangan, memasukkan uang meski mayoritas berupa koin recehan sisa kembalian saat berbelanja di warung.
“Iya, aku tak pernah melihatnya,”
“Nah, mestinya dia memberikan contoh, agar orang-orang lebih bersemangat bersedekah,”
Selanjutnya aku memilih diam. Tak tahu lagi harus menanggapi keluhan Kotak Amal yang sepertinya sangat kesal dengan Kiai Zen yang hanya lihai berceramah tapi tak pandai mengamalkan apa yang keluar dari mulutnya.
***
Seorang pria tua mengenakan pakaian kumal berjalan tergesa menghampiri kami. Aku sempat curiga jangan-jangan dia hendak berniat buruk. Saat kuutarakan kecurigaanku pada Kotak Amal, dia justru mengatakan padaku agar jangan gampang cepat menilai orang yang baru dikenal hanya karena penampilannya yang lusuh.
“Sebaiknya kita lihat saja langsung, jangan buru-buru berburuk sangka,”
Pria tua itu kini sudah berdiri tepat di depan kami. Kepalanya tengok kanan-kiri sementara tangan kanannya merogoh saku celana. Rupanya dia mengeluarkan sebuah amplop putih entah apa isinya. Sambil kembali tengok kanan-kiri, dengan tangan gemetar dia memasukkan amplop tersebut ke kotak amal. Setelahnya, dengan langkah terburu pergi menjauhi kami.
“Maling! Woi, jangan lari!”
Tiba-tiba kami dikejutkan teriakan seseorang. Hanya dalam hitungan menit, warga tampak berdatangan. Mereka berbondong menuju rumah Kiai Zen yang berada tak begitu jauh di seberang jalan depan masjid ini. Yang bikin kami berdua kaget ialah saat orang-orang itu menggelandang pria tua berbusana kumal yang barusan memasukkan amplop putih ke dalam tubuh sahabatku.
“Orang-orang itu pasti salah paham!” geram Kotak Amal.
***
Aku dan Kotak Amal tercengang saat orang-orang dengan raut tegang datang menghampiri kami. Pandanganku fokus pada sosok pria tua yang berjalan tergesa diapit dua orang warga setempat. Rautnya terlihat cemas. Sementara Kiai Zen berjalan di baris depan bersama pemuda yang barusan meneriaki maling pada pria tua berbaju lusuh itu.
Begitu tiba di depan kami, Kiai Zen meraih tubuhku, lalu memasukkan anak kunci dan memutarnya. Dan, kotak amal pun terbuka. Amplop putih itu menyembul sangat kontras di antara puluhan koin recehan dan beberapa lembar dua ribuan yang kondisinya lebih kumal dari busana yang dikenakan pria tua.
Menit berikutnya, orang-orang tampak saling pandang dengan raut tak percaya. Sementara Kiai Zen berkali-kali menghitung lembaran uang seratusan ribu yang jumlahnya ada sepuluh.
“Apa Bapak benar-benar serius ingin menyumbang uang sebesar satu juta?” Kiai Zen bertanya ragu pada pria tua yang kepalanya terus tertunduk. Pria tua mengangguk dengan kepala tertunduk. Terbata menjelaskan bahwa sebenarnya dia ingin merahasiakan amal sedekahnya itu dari orang lain. Alasannya karena dia pernah mendengar keterangan dari seorang pemuka agama, bahwa sedekah yang baik adalah yang dirahasiakan. Makanya dia terlihat gugup sambil kepalanya celingukan saat hendak memasukkan amplop tersebut ke dalam kotak amal lantaran takut ada orang yang melihatnya.
Mendengar cerita pria tua yang begitu polos, seketika suasana menjadi hening. Orang-orang, termasuk Kiai Zen, tercenung lama. Termasuk aku dan Kotak Amal yang masih takjub dengan niat pria tua yang begitu mulia. Tiba-tiba seorang pemuda menghambur dan berlutut di depan pria tua.
“Pak, sa…. saya mo… mohon Bapak sudi memaafkan kesalahan saya yang telah menuduh Bapak maling kotak amal,” ucap si pemuda dengan nada penuh penyesalan.
Pria tua masih tertunduk. Tak menggeleng juga tak mengangguk.
***
Puring Kebumen, 26 Agustus 2021.
*Sam Edy Yuswanto lahir dan berdomisili di kota Kebumen Jateng.Tulisannya tersiar di berbagai media cetak, lokal hingga nasional, antara lain Jawa Pos, Republika, Koran Sindo, Kompas Anak, Suara Merdeka, Jateng Pos, Radar Surabaya, Radar Bromo, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, dll.