Oleh: Sam Edy Yuswanto*
Menulis adalah salah satu kebiasaan para ulama terdahulu. Beragam kitab kuning yang terus dikaji di berbagai lembaga pendidikan Islam seperti pondok-pondok pesantren menjadi bukti nyata bahwa para ulama terdahulu memiliki kebiasaan menulis yang harus terus dilestarikan. Ya, karena menulis merupakan sebuah cara atau upaya untuk mengikat ilmu agar jangan sampai terlepas dan tergerus zaman yang kian maju dan berkembang.
Sayangnya, tradisi menulis (misalnya dalam bentuk kitab atau buku) yang pernah dicontohkan oleh para ulama terdahulu kita kini seolah kurang diminati. Nyatanya (dengan tidak mengurangi rasa hormat saya) banyak pemuka agama, santri, dan alumni yang tidak menekuni dunia kepenulisan. Umumnya, mereka hanya sekadar mempelajari beragam ilmu dari kitab-kitab karangan para ulama terdahulu (lalu mengajarkannya kepada masyarakat luas), tapi tidak mengiringinya dengan menuliskan kitab-kitab sejenis dengan pemikiran dan ulasan-ulasan yang berbeda. Hal ini tentu menjadi persoalan penting, mengingat problem kehidupan umat manusia yang semakin hari semakin beragam dan sangat memerlukan jawaban yang bisa jadi belum ada jawabannya di masa lalu. Jawaban-jawaban atas berbagai problem itu tentu tidak cukup hanya difatwakan saja, tanpa didokumentasikan dalam bentuk tulisan sekaligus dicetak dalam bentuk buku atau kitab.
Membangun Peradaban Islam
Bila dianalisis, kegiatan menulis termasuk cara yang sangat efektif untuk membangun peradaban Islam. Sebagaimana pernah dijelaskan oleh Prof. Dr KH. Said Aqil Siraj (Republika.co.id, 8/12/2015), jika melihat kiprah ulama pada zaman dulu, Said Aqil menyebutkan, mereka banyak berperan dalam membangun peradaban Islam melalui tulisan. Bahkan, para ulama nusantara banyak yang menuangkan pemikirannya dalam tulisan berbahasa Jawa yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dari hasil tulisannya, para ulama nusantara bahkan memiliki banyak pengikut dari mancanegara. Salah satunya adalah Syekh Ahmad Khatib Sambas yang memiliki pengikut dari negara-negara Asia yang mendunia dengan tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandinyah.
- Iklan -
Menulis kitab atau buku, mestinya menjadi aktivitas para ulama yang selalu berdampingan dengan rutinitas membaca dan menganalisis kitab-kitab kuning. Karena melalui tulisan-tulisan tersebut akan melahirkan pemahaman baru yang disesuaikan dengan kondisi perkembangan zaman. Menulis, juga sebagai upaya perbandingan atau melengkapi kekurangan dari kitab-kitab yang sudah ada sebelumnya.
Selain itu, menulis menjadi cara efektif untuk mengingat berbagai ilmu pengetahuan yang pernah dipelajari. Tanpa ditulis, tentu berbagai ilmu pengetahuan tersebut perlahan akan hilang seiring wafatnya para penulis yang bersangkutan. Kita tentu masih ingat dengan pepatah bijak yang menjelaskan bahwa ilmu itu ibarat binatang buruan, bila tak diikat dengan seutas tali, tentu binatang tersebut akan mudah terlepas. Begitu juga ilmu. Andai tak diikat dengan tulisan, maka suatu hari nanti ia akan terlepas dan tak meninggalkan bekas.
Salah satu ulama yang semasa hidupnya memiliki kebiasaan menulis adalah KH. Maimoen Zubair. Dr. Jamal Ma’mur Asmani, M.A. dalam buku terbarunya “KH. Maimoen Zubair, Sang Maha Guru”, menguraikan bahwa KH. Maimoen Zubair termasuk sebagian kecil kiai yang meneruskan tradisi menulis para ulama Nusantara, seperti Syekh Nawawi Banten, Syekh Mahfudh Termas, Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, Syekh Saleh Darat Semarang, Syaikhona Khalil Bangkalan Madura, Hadratussyaikh KH. H. Hasyim Asy’ari, KH. Ihsan Jampes, KH. Bisri Mustafa, KH. Misbah Mustafa, KH. MA. Sahal Mahfudh, dan KH. A. Mustafa Bisri. KH. Maimoen Zubair merupakan penerus tradisi menulis yang hebat. Karya-karya beliau tak hanya dalam satu bidang, seperti nahwu, tauhid, sejarah, fiqh, tasawuf, pembaruan fiqh, dan lain-lain. Karya-karya tersebut adalah hasil pengembaraan intelektual yang panjang sepanjang hayat yang bisa dinikmati generasi sepanjang masa.
Dalam buku tersebut, Dr. Jamal Ma’mur Asmani, M.A. juga mengutip keterangan menarik dan semoga bisa menjadi semacam motivasi bagi para pemuka agama era sekarang agar berusaha melestarikan tradisi menulis para ulama terdahulu. Keterangan tersebut berasal dari sosok ulama yang begitu familiar, yakni hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’allim. Beliau menjelaskan, “Adab yang kedua puluh bagi guru adala sibuk menulis jika punya keahlian karena menulis akan mematangkan substansi cabang keilmuan secara mendalam karena menulis membutuhkan penelitian, kajian, dan refleksi. Menulis seperti penjelasan Imam Khathib Baghdad mampu memantapkan hafalan, mencerdaskan hati, menajamkan akal, memperindah keterangan, memperoleh reputasi dan keagungan pahala, serta menjadi abadi sampai akhir masa”.
Selain KH. Maimoen Zubair, almarhum KH. Abdurrahman Wahid atau lebih akrab dipanggil Gus Dur juga termasuk sosok ulama yang selama ini dikenal memiliki kebiasaan menulis dan membaca. Anggi Afriansyah dalam tulisannya (NU Online, 24/8/2016) mengungkapkan bahwa Gus Dur merupakan penulis yang sangat produktif. Sejak mahasiswa ia menulis esai untuk beragam majalah maupun surat kabar. Karya-karya tersebar luas dan dapat dinikmati saat ini.
Akhirnya, kita semua sangat berharap, semoga tradisi menulis di kalangan para ulama masa kini dapat tumbuh kembali sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh para ulama terdahulu. Jangan sampai tradisi menulis dan menerbitkan buku malah dilestarikan oleh orang-orang yang kurang memiliki pemahaman mendalam tentang ilmu-ilmu agama, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang berseberangan bahkan cenderung menyesatkan. Wallahu a’lam bish-shawaab.
***
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.