Oleh Sam Edy Yuswanto*
Judul Buku : Panggung untuk Palestina
Penulis : Redhite Kuniawan
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan : I, Mei 2021
Tebal : 120 halaman
ISBN : 978-623-253-026-3
Tak ada satu pun orangtua yang berharap memiliki anak autis atau berkebutuhan khusus. Namun siapa yang bisa menolak garis takdir yang telah ditetapkan oleh-Nya? Anak, bagaimana pun kondisinya merupakan anugerah Tuhan yang harus dijaga dan dilindungi oleh orangtuanya. Mereka berhak mendapatkan pendidikan layak dan ingin diperlakukan secara adil, sama seperti anak-anak pada umumnya.
Sekolah inklusi menjadi salah satu alternatif untuk mendidik anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Sekolah inklusi, sebagaimana diurai fajarpendidikan.co.id (20/4/2021) adalah tempat di mana anak-anak berkebutuhan khusus dapat belajar bersama anak-anak reguler lainnya. Namun, ABK tetap didampingi oleh guru pendamping selama kegiatan belajar-mengajar. Sistem pembelajaran, pengajaran, kurikulum, sarana dan prasarana, serta sistem penilaian di sekolah inklusi akan mengakomodasi kebutuhan anak penyandang disabilitas, sehingga mereka dapat beradaptasi dan menerima pendidikan sebaik mungkin.
- Iklan -
Wikipedia mencatat, anak berkebutuhan khusus (heward) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk ke dalam ABK antara lain tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan, dan kesulitan bersosialisasi.
Dibutuhkan ketelatenan dan kesabaran tingkat tinggi ketika berhadapan dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Yang paling prinsip bagi para orangtua, guru, dan masyarakat luas adalah jangan pernah memperlakukan mereka dengan semena-mena. Jangan pula meremehkan dan tak mempedulikan mereka hanya gara-gara perilaku mereka sangat jauh berbeda dengan anak-anak kebanyakan.
Bicara tentang ABK, ada sebuah kisah menarik yang bisa dipetik hikmahnya dalam buku berjudul “Panggung untuk Palestina” karya Redhite Kurniawan. Dikisahkan, Bayu adalah anak penyandang disabilitas atau ABK yang sengaja dimasukkan oleh orangtuanya ke sekolah inklusi. Bayu adalah anak yang memiliki postur fisik lebih besar dari anak-anak kebanyakan dan memiliki perilaku aneh serta tak banyak bicara. Tak heran bila banyak anak-anak yang enggan berteman dengannya.
Satu-satunya teman yang dibilang cukup akrab dengan Bayu adalah Fatih. Hal ini tak mengherankan sebab Fatih duduk satu bangku dengannya. Selain itu, posisi Fatih adalah sebagai ketua kelas sehingga mau tidak mau ia harus berusaha membaur dengan teman-teman dari beragam jenis karakter. Termasuk harus berusaha berkomunikasi secara intens dengan Bayu yang kerap bertingkah aneh dan kadang merepotkan orang-orang.
Salah satu hal yang merepotkan misalnya ketika Bayu tiba-tiba berlari kencang di pasar tradisional. Waktu itu, anak-anak sedang mendapat tugas dari guru untuk belajar di luar kelas. Pasar tradisional menjadi tempat belajar di luar kelas yang diharapkan bisa menyenangkan bagi anak-anak. Di sana mereka diajari tentang kegiatan ekonomi masyarakat. Sebagai ketua kelas, Fatih diminta oleh gurunya agar menjaga Bayu. Jangan sampai anak yang kesulitan melakukan kontak mata dengan orang lain itu terlepas dari rombongan (hlm. 25).
Di luar dugaan Fatih, ada sebuah kejadian yang menghebohkan di tengah pasar. Tepatnya ketika ada seorang ibu yang kehilangan anaknya. Tak dinyana, Bayu yang memiliki keterbatasan itulah yang pada akhirnya berhasil menemukan anak yang hilang tersebut. Bayu dengan tenaga ekstranya berlari-lari di lorong-lorong kios sehingga membuat suasana menjadi agak kacau. Fatih dan Daffa yang sebelum kejadian bersama Bayu pun dibuat kalang kabut mengejar Bayu yang ternyata tahu di mana tempat anak tersebut berada. Fatih pun tersadar bahwa Bayu, di tengah keterbatasannya, ternyata memiliki kelebihan yang tak dimiliki oleh orang lain. Lambat laun Fatih pun merasa senang berteman dengannya.
Suatu hari, Bu Ema, selaku guru kelas mengumumkan bahwa kelas 6 akan mengadakan acara perpisahan. Bu Ema berharap agar anak-anak kelas 5 bisa menampilkan sebuah pertunjukan akhir tahun. Sebenarnya, agenda pertunjukan oleh adik-adik kelas ini rutin diadakan setiap tahun, dipersembahkan untuk kakak kelas yang akan segera melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yakni SLTP atau Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (hlm. 41).
Fatih bersama teman-temannya pun bermusyawarah mengenai pertunjukan yang akan mereka persembahkan. Tak dinyana, di saat semua merasa buntu dengan apa yang akan dipentaskan, Bayu tiba-tiba nyeletuk, menirukan ucapan ibu-ibu yang merasa sedih saat kehilangan anaknya. Hal itu membuat Fatih langsung teringat sesuatu, yakni kejadian saat di pasar, ketika Bayu berhasil menemukan dan mempertemukan anak yang hilang kepada ibu kandungnya. Akhirnya, diputuskan bahwa mereka akan menampilkan sebuah pementasan drama dengan ide cerita tentang Palestina, sebuah negara yang masih terus berjuang untuk merdeka dari penjajahan Israel. Tema utamanya nanti adalah seorang anak yang kehilangan keluarga, terinspirasi dari kisah Bayu saat menemukan anak yang hilang di pasar.
Kisah Bayu, anak berkebutuhan khusus dalam buku ini setidaknya meninggalkan pesan penting yang sangat bagus dijadikan bahan perenungan dan pembelajaran bersama, terutama bagi anak-anak dan para remaja, agar jangan pernah malu berteman dengan anak-anak penyandang disabilitas. Jangan pernah mengucilkan keberadaan mereka sebab mereka juga sama seperti anak-anak pada umumnya yang berhak diperlakukan secara adil dan wajar di dunia ini.
***
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen. Ratusan tulisannya tersebar di berbagai media, lokal hingga nasional, antara lain: Koran Sindo, Jawa Pos, Republika, , Kompas, Jateng Pos, Radar Banyumas, Merapi, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, dll.