Oleh: Hilal Mulki Putra
Negeriku Tak Berakal Sehat
Oleh: Novel Tri Nuryana Harahap
Negeriku lucu
Guru dianggap musuh
Koruptor jahat dianggap sahabat
Negeriku ngeri
Guru dianggap mati
Ilmunya dimintai
Tapi raganya disakiti
Tuntut cerdaskan anak negeri
Tapi laparnya tak tercukupi
Tuntut intelektualitas
Tapi gaji tak pantas
- Iklan -
Negeriku negeri stress
Urusan tak pernah beres
Janji tinggal jani
Yang ada malah gigit jari
Prolog
Sebelumnya saya sampaikan terimakasih atas puisi yang tersusun rapi nan indah ini karya ibu guru Novel Tri Nuryana Harahap. Puisi tersebut saya tulis kembali sebagai bahan renungan untuk negara yang kurang memperhatikan kesejahteraan pendidik bangsa ini.
Setiap tahun pejabat negara berdebat soal kenaikan UMP/UMK para buruh, namun lupa untuk menaikkan gaji guru dengan layak. Hingga pada tahun ini pemerintah dengan gencarnya ingin membangun ibukota kota baru, seakan hanya ingin membangun raga negarara, tapi lupa membangun jiwa negara “guru”.
Mungkin selama masa pandemi Covid-19, para tenaga kesehatan mulai dari dokter, perawat/suster dan relawan lainnya dipandang sebagai pahlawan negeri ini dari invasi pandemic covid-19 yang menyebar semenjak 2 tahun lalu.
Namun, hingga saat ini jika kita harus jujur. Maka, gelar itu layak disematkan kepada seluruh guru di seluruh desa, kota dan pelosok tanah air, yang tanpa bosan terus mendidikan dan mencerdaskan para putra-putri bangsa walaupun dalam keterbatasan.
Memandang perayaan hari guru kemarin yang jatuh pada 25 November 2021. Penulis mendapati bahwasannya hari guru kemarin hanya sebatas acara seremonia belaka ,seperti penyerahan guru terinovasi, guru PNS terbaik dan masih banyak lagi.
Seharusnya hari guru tahun ke tahun hari guru mampu memberikan kado terindah untuk para guru di tanah air ditengah kesenjangan kesejahteraan sosial. Bertahun-tahun nasib 728.461 Guru menggantung. Menanti kabar yang tidak pasti. Aspirasi agar diangkat sebagai pegawai negeri, jauh panggang dari api. Meski di antara mereka, ada yang sudah 20 tahun mengabdi. Gaji yang diperoleh selama rentang waktu itu pun tidak manusiawi. Rp250.000-Rp300.000 perbulan yang dirapel per triwulan.
Penindasan terhadap intelektualisme
Sewaktu penulis mengikuti webinar Pekik “Belum” Merdeka Guru Honorer yang diadakan oleh anggota DPD RI Tamsil Linrung dengan pembicara Rocky Gerung, Mofsidi Juhrianto Redaktur FNN, dan DR. Jejen Musfah Wasekjend PGRI.
Dari pembahasan yang memang terintegral dalam isu guru honorer atau sekarang disebut dengan non-ASN. Penulis menyimpulkan bahwasannya ketidakmampuan negara dalam memberikan gaji yang entah dilewatkan dari pusatb sendiri atau Pemda sebagai bentuk penindasan intelektualisme.
Mengapa demikian? Bayangkan, ilmu yang harusnya tak ternilai harganya kini terus menerus oleh negara dihargai rendah. Guru adalah wadah ilmu yang tenaganya, kesabarannya dan pemikirannya harus dihargai.
Penulis saat mengikuti webinar yang telah disebutkan diatas, mendapati bahawasannya ada satu sosok guru honorer/non-ASN yang telah mengabdi di sebuah intitusi pendidikan selama 20 tahun dan hanya mendapatkan gaji perbulan Rp.400.000.
Sungguh gaji guru non-ASN sekarang tak sebanding dengan namanya “honorer” yang harusnya menerima gaji yang layak. Malah jika kita cermati, gaji guru honorer saat ini terasa horor.
Pemerintah setengah hati?
Memang betul dengan adanya seleksi PPPK, akan lebih memberikan kesempatan kepada segenap guru yang belum menjadi aparatur sipil negara. Namun, perlu disadari juga bahawasannya tak semua pengabdian guru berpuluh-puluh tahun hanya dibuktikan dengan ujian tertulis semata hanya dalam formalitasnya untuk mengetahui kompetensi dari seorang guru.
Seleksi PPPK adalah bukti pemerintah yang memiliki kewenangan saat ini setengah hati memikirkan guru honorer/non-ASN. Meskipun saya bukan termasuk dari peserta PPPK karena masih menyandang status mahasiswa. Tetapi, jika kita cermati fenomena semacam ini akan juga terjadi dikalangan para generasi sepelantaran saya.
Realitasnya adalah kemanusiaan yang ada. Disaat ini banyak guru sepuh yang belum diangkat menjadi ASN. Janganlah para pengabdi bangsa ini dipaksa untuk bersaing dengan mahasiswa yang freshgraduate. Berikan mereka upah yang selayaknyam atas pengabdian yang bertahun-tahun diberikan.
Jika hanya sebatas mengukur kompetensi, maka yang dipertanyakan kompetensi mana yang diukur? Ibarat peribahasa guru sepuh susah kencing berdiri sekarang dipaksa untuk kencing berlari.
Maka mulai saat ini dan seterusnya millennial harus memandang para guru honorer adalah pahlawan abad ini. Walaupun di tengah gaji yang sebatas honorer tapi jasa mereka terhadap negara triliyuner.