Oleh Oscar Maulana
Judul buku : Gusti Allah Ana Kanjeng Nabi Apikan : Percikan Renungan Seputar Persoalan Islam dan Indonesia
Penulis : Moh Aniq KHB
Penerbit : Beruang Cipta Literasi
Cetakan : Pertama, 2021
Tebal buku : 205 halaman
ISBN : 978-623-95588-5-7
Gerak jempol kita lincah berselancar di jendela gawai. Beralih dari aplikasi satu ke aplikasi lainya rasanya mudah tanpa hambatan. Tersiarnya berita, kabar, sapaan, sampai tagihan setiap hari—jam, menit dan detik—terus bermunculan. Dengan ditandai dentingan atau notifikasi di atas layar gawai.
Segala keruwetan dan kesemrawutan, kini sudah dianggap normal dan lumrah. Sebagai contoh, kita (manusia) beranggapan bahwa notifikasi atau dentingan gawai sebagai tanda bahwa kita sedang “eksis” diri dan turut serta meramaikan hiruk pikuk media sosial.
- Iklan -
Dengan zaman yang terus bergerak ini, tentu saja banyak meninggalkan rongga keabsurdan dan ketimpangan di setiap sisinya. Gaya komunikasi, kita ambil sebagai contoh relevan mengenai perubahan gaya komunikasi mengalami pengubah-alihan dari gaya ‘omongan’ ke ranah teks ‘ala’ media sosial. Pengelanaan atas imajinasi ruang, budaya, bahasa, dan sosial mengalami transfomasi yang berbasis digital-virtual.
Namun apakah segala kesenangan, kemudahan, praktisisme, sampai segala hal yang cepat ditawarkan media tidak meninggalkan banyak permasalahan?. Jawabanya tentu saja tidak. Kini, muncul sikap kritis dengan beragam-macam argumentasi. Dosen, profesor, mahasiswa, sampai para pakar melantunkan bantahan-sangkalanya terhadap gaya hidup bermedia sosial.
Sikap perlawanan (sinisme) terus bermunculan guna menanggapi cara bermedia sosial kita belakangan ini. Salah satu sosok yang terus menerus mengeluarkan kritik dunia digital adalah Moh Aniq KHB atau akrab dipanggil Gus Aniq.
Gus Aniq, seorang pengajar (dosen) di Universitas PGRI Semarang dan sekarang menetap di Kajen Pati ini, menulis beragam kritikan-kritikan yang terlontar guna merefleksikan atau mempertanyakan keberadaan dan nilai manusia. Ia merasa jengah dengan konten media sosial yang semakin semrawut dan tak beraturan.
Segala macam kritikan itu kemudian ia tulis dan menelurkan buku dengan narasi argumentasi kritis-sinis ‘ala’ Gus Aniq yang tertuang dalam buku Gusti Allah Ana Kanjeng Nabi Apikan: Percikan Renungan Seputar Persoalan Islam dan Indonesia (2021).
Buku ini berisi kumpulan tulisan (esai) yang mendaraskan polemik kebudayaan, agama, pendidikan, media sosial, politik, sandang-pangan-papan, dan lain sebagainya, dengan konteks keindonesiaan. Gus Aniq menokohkan Gimin, Markondel, dan Mbah Jogo sebagai pembawa risalah tulisan.
Melalui tokoh yang diilustrasikan, Gus Aniq membawa kita pada jejak langkah argumentasi kritis setapak demi setapak dengan nafas ‘religiusitas’. Kita bisa baca dalam esainya berjudul Malu-maluin Nabi, Gus Aniq mendaratkan persoalan dakwah di media sosial yang tak jarang merugikan banyak orang. Perayaan dakwah acapkali kita temui hanya sebatas pengenalan simbol agama, tanpa memerhatikan adab dan konteks dakwahnya.
Simbolisme agama hanya termaknai sebatas jubah dan baju yang dikenakan oleh sang pendakwah. Gaya ceramah dengan nada-nada marah, menghasut, dan menyebarkan kebencian ke jamaah seringkali kita tengok di media sosial. “Sejak semua urusan mewilayah di digital atau media sosial, kok serba mbingungna. Ada yang merasa pantas jadi ustadz… tapi ya suka menjelek-jelekan orang lain di depan jamaah. Dan kemudian para jamaah menyambutnya dengan pekikan takbir.”
Suara dan pekikan takbir memang sedang ramai didengung-dengungkan sang pendakwah di sela-sela dakwahnya. Gus Aniq merasa bingung nan membingungkan mengenai cap dan pendaulatan ustadz yang serampangan dan sembarangan. Dengan berbekal banyaknya pengikut di media sosial (Instagram), sang ustadz ‘baru’ mendapat ruang dan tempat di antara para jamaah dan pengikutnya. Persoalan sanad keilmuan, kini tak dianggap perlu dan penting. Orang enggan memverifikasi atau menyelisik latar belakang sang ustad guna memperkukuh referensi keagamaannya.
Segala hingar bingar di intenet dengan tawaran kemudahannya yang pada akhirnya kita malas melakukan hal-hal yang kita anggap ‘ribet’. Segala macam perkara didasarkan pada hal-hal berbau kemudahan. Pada akhirnya, keasyikan bermedia sosial sangat dipengaruhi oleh yang dinamakan algoritma. Proses pemindah-gantian pada layar gawai terus berubah setiap kali kita meng’klik’ suatu konten media.
Pada tulisan yang berbeda, Gus Aniq mewartakan pengguna media sosial dengan sebutan ‘jempolers’. Dalam esai berjudul Sapih Media, Gus Aniq menarasikan kaum medsos yang suka me-like dengan jempolnya dengan menaik-turunkan layar gawai kesana kemari. Pemenuhan guna menggenapi bermedia sosial diiringi dengan hasrat yang bertumpu pada kegemaran melakukan kegiatan suka atau like, dengan simbol love atau jempolnya.
Dalam esai ini, Gus Aniq menggerutu dan marah dengan pengandaian diksi yang ketat dan keras. Kita simak “Media sosial dirajini oleh para jempolers dan dikonsumsi bebas dosis. Lalu saringan akal mereka jebol. Informasi yang seharusnya membuahkan kedewasaan dan kesadaran justru menumpuk bagai sampah yang sulit didaur ulang”.
Lewat penggalan paragraf di atas, Gus Aniq menyimbolkan sampah tak hanya termaknai sebagai barang sisa berbentuk fisik semata, entah itu sampah plastik, kertas, atau semacamnya. Ia menggambarkan informasi pun bisa dianggap sampah ketika kita tidak mencernanya dengan baik. Dan sebaliknya, banyaknya informasi yang berseliweran di media sosial jika kita mencerna dan merespon dengan nalar dan akal, tak ubahnya menjadi santapan keberkahan.
Esai terus berlanjut guna mengentaskan bantahan dan sangkalan. Gaya tulisan yang disuguhkan Gus Aniq memang sangat kental dengan idiom dan perumpaman. Makna tulisan diharapkan mampu mengena sang pembaca. Metafora kata terajut dalam bingkaian penuh makna.
Pengandaian itu terus berlanjut ketika kita membaca esainya berjudul Kelegen Info. Makna bahasa Jawa kelegen bisa dimaknai sebagai tersendatnya makanan di tenggorokan. Kelegen akan menimbulkan rasa tidak nyaman ketika menyantap makanan. Begitupun halnya informasi, perlu adanya saring-menyaring di antara rimbunan informasi yang terkabar di media sosial.
*Oscar Maulana. Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta. Aktif di Serambi Kata Solo