Oleh Aji Sofanudin
Waktu pelaksanaan Muktamar ke-34 berubah (lagi). Perubahan waktu pelaksanaan ini diumumkan melalui surat Pengurus Besar NU Nomor 4288/A.I.01/12/2021 tanggal 15 Desember 2021. Penyelenggaraan Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama yang sedianya dilaksanakan pada 18-20 Jumaidi Ula 1443 H atau 23-25 Desember 2021 diubah menjadi 17-18 Jumaidi Ula 1443 H atau 22-23 Desember 2021 di Provinsi Lampung. Penentuan tanggal ini kabarnya mengikuti rekomendasi BNPB (Badan Nasional Penanggulan Bencana).
Sebelumnya ada “kesepakatan” tanggal pelaksanaan Muktamar ke-34 NU. Pimpinan NU menggelar Ikhbar Pelaksanaan Muktamar yang disepakati pada 23-25 Desember 2021 (7/12/2021). Kesepakatan ini sesungguhnya mengembalikan pada keputusan awal sesuai dengan Munas Alim Ulama dan Konbes NU, 26 september 2021 lalu. Mafhum, dalam muktamar kali ini ada kubu yang menghendaki “memajukan” muktamar dan kubu yang “memundurkan” jadwal muktamar. Kesepakatan tanggal pelaksanaan muktamar ditanda tangani oleh Rais Am, Katib Syuriah, Ketua Umum PBNU dan Sekjend PBNU.
Sebelumnya beredar surat perintah Rais Aam Syuriah bahwa agar pelaksanaan muktamar dilaksanakan pada 17 Desember 2021. Sementara ada kubu ketum PBNU menghendaki pelaksanaan muktamar pada 31 Desember 2022. Muktamar merupakan forum tertinggi dalam pengambilan keputusan di NU. Tentu kita mengharapkan muktamar yang penuh mashlahat, bukan muktamar tipu muslihat.
- Iklan -
Polarisasi Muktamar
Dalam Muktamar ke-34 NU di Lampung ada nuansa polarisasi yang cukup tajam. Muktamar NU serasa Pilpres dimana ada dua kubu, yakni kubu “regenerasi” dan kubu “petahana”. Ikhwal polarisasi ini nampak pada jadwal penentuan tanggal pelaksanaan muktamar. Penentuan tanggal pelaksanaan muktamar bukan base on data tetapi syahwat politiknya lebih kentara.
Melihat perkembangan muktamar, setidaknya ada beberapa titik krusial pelaksanaan muktamar NU yang perlu diwaspadai yaitu: proses registrasi, tata tertib, mekanisme pemilihan, mobilisasi massa, dan perubahan AD/ART.
Pertama, registrasi peserta. Titik ini cukup krusial karena di sinilah peta kekuatan masing-masing kandidat. Kalkulasi politik dapat dilihat dari utusan resmi yang dikirim masing-masing daerah. Panitia harus kerja extra dalam menerima keabsahan utusan resmi masing-masing daerah. Pada titik ini, potensial masing-masing daerah mengirimkan lebih dari satu.
Kedua, tata tertib. Pembahasan tata tertib potensial berlarut-larut karena masing-masing kubu akan saling mencari titik lemah. Akan lebih bijak sekiranya panitia membicarakan/mendiskusikan terlebih dulu kepada masing-masing perwakilan. Perlu ditempuh negosiasi terhadap poin-poin yang bisa disepakati pra muktamar. Ini diharapkan lebih memperlancar pelaksanaan muktamar, karena muktamar kali ini waktunya lebih pendek hanya tiga hari.
Ketiga, mekanisme pemilihan. Dengan pemilihan secara langsung Ketua Umum PBNU, memang potensial lahirnya dukung-mendukung. Ini sesuatu yang tidak bisa dihindari, saat registrasi dan saat sidang kemungkinan ada sedikit riuh. Mekanisme AHWA (ahlul halli wal ahdi) mekanisme pemilihan dengan perwakilan sudah disepakati untuk pemilihan Rais Aam Syuriah. Sembilan kyai sepuh bermusyawarah untuk menunjuk satu orang menjadi Rais Aam. Yang jadi problem adalah siapa yang ditunjuk mewakili sembilan orang itu. Ini juga menjadi potensial menjadi problem.
Keempat, mobilisasi massa. Nuansa piplres tidak bisa dihindari dari perhelatan muktamar ini. Kabarnya beberapa wilayah sudah menyodorkan paket Rais Aam, Ketua Umum dan mengusulkan sembilan nama sekaligus. Padahal filosofi mekanisme AHWA adalah menyederhanakan proses.
Kelima, perubahan AD/ART. Pembatasan masa jabatan ketua umum PBNU akan menjadi isu sensitif dalam muktamar ke-34 NU. Mafhum bahwa KH Said Aqil Siraj sudah dua periode di PBNU. Dalam AD/ART memang tidak ada pembatasan masa khidmah kepengurusan. Sehingga isu ini potensial akan dimainkan.
Di luar itu, sesungguhnya banyak isu strategis yang mestinya digagas dalam perhelatan muktamar. Salah satu isu penting adalah soal kemandirian NU. Soal kemandirian ini sejatinya problem utama tidak hanya untuk NU. Tetapi, problem bangsa secara keseluruhan.
Sebagai gambaran adalah survei nasional yang dilakukan oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Kementerian Agama RI pada satuan pendidikan. Hasil survei tahun 2021 menunjukkan bahwa nilai kemandirian paling rendah dibandingkan dengan karakter yang lain.
Survei ini dilaksanakan di 34 provinsi dengan jumlah sampel 861 lembaga pendidikan jenjang pendidikan menengah dengan rincian 532 Madrasah Aliyah Swasta (MAS), 290 Sekolah Menengah Atas (SMA) berciri agama (6 agama), dan 39 Lembaga Pendidikan Keagamaan (PDF U, SMTK, SMAK Kristen, SMAK Katolik, Pasraman) di 170 kabupaten/kota. Survei indeks karakter peserta didik ini rutin diselenggarakan sejak tahun 2018.
Survei karakter peserta didik ini meliputi pengukuran lima dimensi pembangunan karakter. Lima dimensi tersebut adalah dimensi religiusitas, dimensi nasionalisme, dimensi kemandirian, dimensi gotong royong, dan dimensi integritas.
Dimensi kemandirian memperoleh nilai rendah dibandingkan dengan dimensi yang lain. Sebagai contoh, pada tahun 2020 dimensi kemandirian memperoleh nilai sebesar 66,67 (di bawah rerata nilai indeks karakter sebesar 71,41). Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan dimensi yang lain: religiusitas (73,25), nasionalisme (73,01), gotong royong (69,18), dan integritas (72,05). Secara nasional indeks karakter peserta didik 2021 turun dibandingkan dengan tahun 2020. Tetapi, untuk dimensi kemandirian tidak hanya turun tetapi “anjlok” menjadi hanya sebesar 56,34 (Tim Puslitbang Penda, 2021).
Dalam konteks NU, perlu disadari bahwa kemandirian itu tidak berarti NU tidak butuh orang lain. Mustakhil NU tidak membutuhkan orang lain. Kerja sama tetap harus dilakukan dengan siapa pun untuk menawarkan kemaslahatan tetapi dengan cara yang bermartabat. NU perlu membangunn kolaborasi dan sinergi, membuka diri dalam bekerja sama dengan siapa pun untuk bisa membawakan maslahat bagi masyarakat. NU tidak bisa sendirian dalam menyelesaikan problem umat dan bangsa.
Semoga muktamar ke-34 NU dapat terlaksana secara lancar, berkualitas dan bermartabat serta memberikan manfaat untuk umat, masyarakat, bangsa dan negara. Aamiin. Selamat bermuktamar.
-Dr Aji Sofanudin, Peneliti pada Islamic Research Center Jawa Tengah.