Oleh : Muhammad Ghufron*
Pada Senin 12 Juni 2021, badan amal Charities Aid Foundation (CAF) berdasarkan World Giving Index, menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan. Kabar baik sekaligus menjadi sebuah persoalan. Sematan sebagai negara paling dermawan tentu harus dibarengi dengan ikhtiar sungguh-sungguh pula dalam memaksimalkan peran lembaga filantropi dalam Islam. Jika tidak, sematan itu hanya berhenti menjadi sebuah identitas kebanggaan semu tanpa ada tindak lanjut dalam ranah praktis.
Genealogi tradisi filantropi dalam Islam berlangsung sedari dulu, sejak zaman Nabi. Kala itu, tradisi kedermawanan serupa wakaf buku, wakaf gandum, telah berlangsung begitu lama di Madinah dan Makkah. Konsep filantropi Islam kemudian menjadi penting dimanifestasikan di Indonesia, mengingat populasi penduduknya mayoritas beragama Islam. Selain itu, filantropi Islam selama ini telah menjadi pilar sosial yang terus menyangga keberlangsungan hidup umat Islam.
Secara definitif filantropi merupakan kedermawanan sosial yang terprogram dan ditujukan untuk pengentasan masalah sosial seperti kemiskinan dan kesenjangan, misalnya, dalam jangka panjang. Dalam sebuah artikelnya Filantropi dalam Perspektif Islam (2018), Didin Hafidhuddin menilik filantropi sebagai sebuah kesadaran untuk memberi dalam rangka mengatasi kesulitan dan meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat secara luas dalam berbagai bidang kehidupan (Republika.co, 18/03/2018).
- Iklan -
Konseptualisasi filantropi merujuk praktik pemberian sukarela (voluntary giving), penyediaan layanan sukarela (voluntary services), dan asosiasi sukarela (voluntary association) yang bertujuan untuk memihak kaum populis yang membutuhkan sebagai salah satu manifestasi tanda cinta. Muatan aspek horizontal ajaran Islam ihwal kedermawanan yang memihak kepentingan kaum populis itu mesti segera diaktualisasikan. Sebab asas adiluhung filantropi ialah rasa kecintaan kepada manusia yeng terpatri dalam bentuk pemberian kepada orang lain.
Bagaimana pun, term filantropi menjadi bagian diskursus penting dalam ekonomi Islam, kata Barbara dalam From Charity to Social Change. Karena keberadaannya yang begitu penting, pemerintah kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 8 Tahun 2001 tentang BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional), yang di dalamnya jelas tersirat bahwa secara fungsional BAZNAS berperan sebagai penghimpun dan penyalur ragam filantropi dalam Islam meliputi zakat, infaq, dan sedekah (ZIS) secara nasional.
Karena itu, wujud institusionalisasi filantropi dalam Islam harus benar-benar dimaksimalkan dengan baik. Agar supaya tujuan-tujuan luhur mengentaskan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan umat, dan pengurangan kesenjangan sosial yang dicita-citakannya dapat terwujud. Tujuan-tujuan luhur lembaga filantropi Islam ini akan terwujud dan menemukan momentumnya jika suatu krisis, misalnya, kembali melanda umat Islam. Sebab di situlah lembaga filantropi Islam betul-betul akan mempertaruhkan peran.
Tantangan Hari Ini
Posisi lembaga filantropi Islam hari ini dihadapkan pada sebuah persoalan pelik dinamika keummatan. Perannya diharapkan mampu menyolusi krisis umat Islam Indonesia akibat pandemi Covid-19. Beberapa lembaga filantropi yang berada di seluruh pelosok Indonesia sudah semestinya bergerak hingga ke akar rumput. Memberi mereka yang membutuhkan untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari merupakan salah satu nilai kemanusiaan yang patut diinternalisasi dalam tiap gerak langkahnya.
Menakhtakan andil kemanusiaan di atas segalanya menjadi bagian tak terpisahkan dari pertaruhan peran lembaga filantropi Islam. Di dalam “peran” tersublim tanggung jawab, integritas, dan totalitas. Ia tidak hanya sekadar term penuh pesolek citra diri. Tanggung jawab dan integritas sudah saatnya menjelma ruh yang siap menggerakkan pertumbuhan ekonomi umat Islam.
Dalam rangka menyokong pertumbuhan ekonomi itu, pihak lembaga filantropi Islam diharapkan mampu menilik kembali bentuk praktik filantropi untuk keadilan sosial. Suatu praktik filantropi yang dapat menjembatani jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Menjawab permasalahan publik yang ada di tengah-tengah masyarakat dengan ciri khas program berkelanjutan dan menyelesaikan problem di tingkat struktur dan mengubah sistem. Bentuk filantropi semacam ini dapat memobilisasi sumber daya untuk menggugat ketidakadilan struktur yang menjadi penyebab langgengya kemiskinan.
Banyak persoalan pelik kemiskinan yang hingga kini melanda kehidupan umat Islam. Pada situasi Covid-19 yang menerungku, misalnya, nurani dipaksa merintih mengelih kondisi hidup umat Islam yang harus bertaruh nasib demi bertahan hidup (Survive). Kondisi ibu-ibu yang terpaksa memulung sampah demi rupiah, anak-anak penjual koran yang tak kenal cuaca menawarkan jualannya di pinggiran jalan kota, pedagang kaki lima yang sepi pembeli, hingga kondisi absurd lain kita jumpai dari kehidupan umat Islam yang belum sepenuhnya sejahtera.
Padahal, salah satu elemen dasar untuk mencapai negara ideal dalam tilikan Ali Syariati ialah ditopang dengan kondisi perekonomiannya yang baik. Melakukan pelbagai macam upaya untuk memangkas angka kemiskinan yang terjadi secara struktural, merupakan ikhtiar menaja negara ideal. Dimulai dari langkah kecil lembaga filantropi Islam diharapkan mampu memberi sumbangsih nyata bagi terciptanya negara ideal.
Harus ada spirit memihak kaum populis di sini. Apa yang telah termaktub dalam al-Quran ihwal kedudukan dan peran filantropi khususnya zakat, infak, dan sadaqah sebagai bukti keimanan dan kecintaan seorang muslim terhadap perbuatan baik yang membawa keberuntungan dunia dan akhirat sudah seyogianya dapat diimplementasikan di titimangsa krisis seperti sekarang.
Penguatan Peran
Banyak hal yang dapat dilakukan oleh para pengelola lembaga filantropi. Salah satunya ialah menguatkan peran dan manfaat lembaga seperti BAZNAS, LAZ, dan yang lainnya dengan standar profesionalitas yang tinggi. Dimensi elitisme yang serba birokratis sudah semestinya dimarginalkan. Profesionalitas juga berarti mengelaborasikan kualitas SDM dan sistem IT yang canggih guna menjamin mutu pelayanan yang baik kepada masyarakat.
Selain itu, kerjasama dengan banyak pihak menjadi begitu signifikan untuk menumbuhkan suatu gerakan yang masif. Melalui kerja sama inilah implementasi peran lembaga filantropi Islam dapat terakomodir dengan baik. Di sisi lain, kerja sama juga dapat memperluas pemanfaatan dana filantropi yang bersifat jangka panjang. Seperti biaya kesehatan, penyediaan tempat tinggal yang layak, pendidikan, dan pertumbuhan ekonomi yang kesemuanya bertujuan memangkas mata rantai kemiskinan.
Terlepas dari sisi internal peran yang harus ditempuh, sisi eksternal berupa sikap kesadaran yang begitu sublim akan perlunya edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat ihwal urgensi filantropi menjadi penting dilakukan oleh pihak pengelola lembaga filantropi Islam. Doktrinasi menjadikan filantropi dalam Islam sebagai gaya hidup (life style) dan kebutuhan harus betul-betul disemai. Publik harus diyakinkan bahwa kelemahan dan kekuatan keimanan dan keislaman umat Islam ditentukan oleh kepedulian sosialnya.
Dari sinilah kemudian timbul kesadaran untuk mengimplementasikan filantropi Islam seperti berzakat, berinfaq, bershadaqah, dan berwakaf yang berdampak terhadap masyarakat luas. Sikap seperti ini pada akhirnya akan menghantarkan umat Islam turut lebur dalam wawasan religius-humanistik. Dengan kata lain, mereka tidak hanya semata-mata memandang praktik filantropi karena suatu imbalan eskatologis berupa kenikmatan hidup setelah mati, tapi juga untuk keberlangsungan hidup sesama di dunia yang berpijak pada asas luhur kemanusiaan.
Akhirnya, biar bagaimanapun peran lembaga filantropi Islam merupakan bagian integral dari penguatan ekonomi umat Islam hari ini dan masa depan. Kita mesti menolak lupa bahwa dalam suatu Kongres Umat Islam Indonesia ke-6 di Yogyakarta beberpa tahun yang lalu ada agenda besar yang dirumuskan, yaitu tentang penguatan peran ekonomi umat Islam. Kongres yang melibatkan tokoh-tokoh muslim Indonesia tersebut sudah seharusnya ada tindak lanjut, salah satunya dengan menguatkan kembali solidaritas peran lembaga filantropi Islam di titimangsa krisis seperti sekarang.
*) Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bergiat di Jurnal Moderasi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Komunitas Lensa Sosio-Agama. Domisili di Bantul, DI Yogyakarta