Cerpen Aliurridha
Sekelompok lalat hijau mengerubung tempat sampah. Denging suara sayap mereka terdengar nyaring. Bau busuk menusuk hidung orang-orang yang lewat di dekatnya. Telah begitu lama tukang sampah tak mampir. Tukang sampah itu hampir dua minggu tidak datang. Padahal, biasanya ia selalu datang selang tiga hari sekali. Warga kompleks mulai dilanda gelisah. Utamanya mereka yang tinggal berdekatan dengan tempat pembuangan sampah kolektif pada sebuah kompleks rumah kontrakan; kompleks yang terdiri dari sebelas rumah kontrakan kecil yang lebih terlihat menyerupai kos-kosan.
Sebuah mobil berhenti di tanah kosong sebelah tempat sampah. Seseorang turun. “Bau banget sih. Ini tukang sampah kok semakin sering saja sakitnya?” keluh Kalina. Suaminya menatap ke arah tempat sampah. Melihat sampah yang berserakan sehabis dijarah entah kucing, entah anjing. “Sepertinya sudah dua minggu dia tidak datang,” kata suami Kalina. “Saya ragu dia benar-benar sakit,” kata Kalina.
Rian yang tengah berjalan menuju warung tak sengaja menangkap dengar apa yang dipercakapkan keluarga itu. Ia sangat kesal mendengar apa yang diperkatakan Kalina.
- Iklan -
Rian dan istrinya juga mengontrak di kompleks yang sama dengan Kalina. Ia bahkan tinggal tepat di sebelah rumah kontrakan Kalina. Kompleks kontrakan itu rata-rata diisi para pendatang yang merupakan pengantin muda yang belum mampu membeli rumah sendiri; ada yang menolak membeli rumah secara kredit karena takut riba; ada yang belum berani mengkredit rumah karena terbentur penghasilan yang pas-pasan; ada juga yang lebih suka membeli mobil untuk gaya-gayaan; dan, ada pula yang memang hanya mampu mengontrak di sana karena di sanalah satu-satunya kontrakan yang sesuai isi kantong mereka. Rian dan istrinya adalah golongan yang terakhir.
Rian kesal pada Kalina karena wanita itu adalah penghuni kontrakan yang paling sering menunggak membayar iuran sampah. Bahkan, Kalina pernah nunggak sampai tiga bulan menunggaknya. Padahal secara finansial, keluarganyalah yang paling mapan di antara para penghuni kontrakan. Kekesalan itu semakin menjadi-jadi karena sejak peninggalan Bu Ita yang dulunya memegang uang iuran sampah, kini istrinya yang diberikan tanggung jawab itu. Sekarang, ia dan istri harus menutupi segala kurang dari uang sampah yang berimbas pada keterlambatan pembayaran.
Selain Kalina ada beberapa keluarga lain yang juga sering telat membayar iuran sampah. Keterlambatan ini tentu saja harus ditutupi oleh Rian. Padahal, penghasilannya sebagai buruh toko furnitur sangat pas-pasan, dan seringnya justru kurang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Istri Rian bukannya tidak berbuat apa-apa, ia kerap menagih di grup WhatsApp penghuni kontrakan, namun hanya dijawab dengan permintaan maaf dan janji besok akan dibayarkan. Namun, janji tetaplah janji, ia selalu menunggu untuk dilunasi. Mau nagih pintu ke pintu istri Rian belum punya nyali.
Kurangnya uang setoran sering membuat istri Rian malu kepada bapak tukang sampah. Ia bahkan pernah beberapa kali telat membayar uang sampah. Ia pernah nunggak sampai tiga bulan lantaran malu membayar kurang. Rian curiga bapak itu kesal dengan penghuni kontrakan karena pembayaran yang selalu telat. Itulah alasan bapak itu seling terlambat mengambil sampah di kompleks mereka.
Memang bapak itu telah berkali-kali beralasan kalau ia sakit setiap kali telat mengambil sampah. Usianya memang sudah sepuh, dan itu membuat tubuh tuanya sering sakit-sakitan. Tetapi Rian agaknya tidak percaya akan hal itu. Apalagi untuk ketidakdatangannya kali ini, ia tahu benar kalau sakit bukanlah sebab ketidakdatangan laki-laki itu. Rian yakin sekali akan hal itu. Sebuah skenario telah diatur olehnya di hari terakhir ia bertemu si bapak. Ketika itu ia menyerahkan uang pembayaran sampah yang kurang menggantikan istrinya yang malu bertemu laki-laki itu.
Dua minggu lalu, Rian meminta maaf atas nama istrinya karena sering terlambat membayar iuran. Pria paruh baya berkulit hitam legam dengan otot-otot yang mulai menipis dimakan usia itu sama sekali tidak mempermasalahkannya. Dengan senyum yang ramah, ia berkata tidak apa-apa. Rian tidak benar percaya. Meski ia adalah seorang pendatang, ia mengenal karakter warga di sana; mereka sekesal apa pun akan tetap tersenyum ramah, beda dengan dirinya yang terkenal keras, panasan, dan selalu terang-terangan jika tidak suka orang.
Rian kemudian menjelaskan situasinya dan menceritakan rencananya kepada bapak tukang sampah. Ia berencana akan menciptakan konflik di kompleks perumahannya agar orang-orang sadar bahwa ada suatu masalah yang selalu ditutupi. Ia sebenarnya kesal juga dengan istrinya yang malu menagih secara langsung sehingga masalah terkesan selalu ditutupi. Sebenarnya, ia ingin menagih langsung kepada mereka yang telat, tetapi dilarang terus oleh istrinya. Istrinya kenal watak Rian dan tidak ingin terjadi keributan.
Ketika Bu Ita dan suaminya belum pindah, masalah ini tidak pernah muncul ke permukaan karena banyak dari warga kontrakan yang membayar lebih untuk beberapa bulan ke depan, sehingga mereka yang nunggak bisa ditutupi dengan kelebihan itu. Namun, beberapa warga kontrakan yang sering membayar lebih itu telah pindah, digantikan orang baru yang jauh lebih acuh.
Rian berpikir satu-satunya cara adalah memunculkan masalah ini ke permukaan dengan meminta tukang sampah itu tidak datang hingga sampah-sampah itu menumpuk dan orang-orang di sekitarnya terganggu; dan mereka yang terganggu itu akan mencari tahu.
“Maaf Bapak tidak bisa begitu, Dek?”
“Tapi Pak, kalau tidak begini mereka akan terus nunggak dan telat terus membayar.”
“Tidak apa-apa, Dek. Ini sudah kerjaan Bapak.”
Mendengar jawaban bapak itu, Rian semakin kesal kepada para tetangga yang selalu nunggak bayar. Ia kesal karena sadar bahwa dirinya dan semua warga kontrakan itu tidak akan bisa apa-apa tanpa bapak ini. Mereka jauh lebih membutuhkan bapak ini, daripada bapak ini membutuhkan mereka. Rian sadar betul akan hal itu. Sehebat apa pun profesi mereka, mereka tidak akan mampu menjadi petugas sampah. Bahkan, untuk mengurus sampah mereka sendiri saja mereka tak bisa. Untuk itulah mereka membayar orang lain.
“Salam sama istrinya, Dek. Bilang tidak apa telat dan kurang dan tidak usah malu lagi.”
Perkataan bapak itu memecah lamunan Rian yang sedang menahan geram kepada tetangganya. Ia tidak menjawab dan melepas kepergian bapak itu dengan senyum. Rian menatap punggung laki-laki tua itu ketika ia menyalakan motor Astrea bututnya yang, meski sudah tua seperti pemiliknya, masih mampu menyeret gerobak berisi sampah-sampah manusia.
Ah, rupanya si bapak meski mengatakan A tapi melakukan B. Rian senang sekali karena merasa skenario yang ia buat mulai menunjukkan hasil. Meski ia tersiksa setiap lewat tempat sampah itu, ia selalu tersenyum melihat tumpukan sampah dengan bau busuk yang menusuk hiduung. Setiap melihat tumpukkan sampah itu, ia merasa seperti seorang penulis yang sedang berjalan-jalan di toko buku dan melihat bukunya berada pada rak best seller.
Kemudian konflik yang ditunggunya datang. Teman-teman satu kontrakannya mulai mendatangi istrinya, menanyakan ada masalah apa dengan tukang sampah sampai ia tidak datang lebih dari dua minggu. Mereka yang sebelumnya acuh sampai sampah itu menggunung, mulai memperlihatkan kepedulian. Istri Rian kemudian mengungkap masalahnya. Ia mengatakan persis seperti yang Rian katakan padanya, bahwa petugas sampah itu kesal karena bayaran selalu nunggak dan kurang.
Masalah itu kemudian semakin rumit ketika Pak RT datang meminta warga kontrakan untuk membuang sampah itu di pembuangan sementara yang lokasinya lumayan jauh, sekitar dua puluh kilometer. Pak RT mendatangi mereka karena laporan beberapa warga sekitar yang terganggu dengan bau sampah yang semakin menyengat.
Orang-orang mulai saling menyalahkan, menyindir Kalina dan suaminya yang kerap telat membayar iuran sampah. Kalina yang malu segera membayar lunas. Disusul keluarga lain yang juga sering telat. Namun, ternyata sampai lewat minggu ketiga, tukang sampah tetap tidak datang, yang datang justru kabar duka bahwa tukang sampah itu saat ini sedang sakit keras dan tengah dirawat di rumah sakit.
Dengan inisiatif Rian dan istri, beberapa warga kontrakan berencana untuk menjenguk si bapak. Namun bala tak bisa ditolak, musibah datang tak tertebak; belum juga sempat menjenguk, datang lagi kabar bahwa tukang sampah itu telah meninggal dunia. (*)
Gunungsari, Juli 2020
*ALIURRIDHA, penerjemah dan pengajar Toefl. Ia menulis esai, opini, dan cerpen. Karyanya tersebar di pelbagai media cetak maupun daring. Cerpennya telah terbit di Koran Kompas, Tempo, Republika, Suara Merdeka, Fajar Makassar, Kompas.id, Lensasastra.id Magrib.id, dll. Tinggal di Gunungsari, Lombok Barat. Ia bergiat di komunitas Akarpohon.