Oleh Sam Edy Yuswanto*
Munculnya penerbit-penerbit indie belakangan ini memberikan kesempatan sangat lebar kepada para penulis (khususnya pemula) untuk menerbitkan buku secara instan. Sebenarnya, keberadaan penerbit indie sudah ada sejak lama tapi tidak semenjamur seperti sekarang. Kini, setiap penulis bisa menerbitkan karyanya dengan cepat hanya dalam hitungan minggu. Hal ini sangat jauh berbeda bila kita menerbitkan buku di penerbit mayor yang memakan waktu hingga berbulan-bulan lamanya bahkan bisa setahun.
Menerbitkan buku di penerbit mayor memang lama, karena ada proses seleksinya yang cukup ketat. Penulis harus berusaha menciptakan karya yang benar-benar bagus dan layak jual, lalu menawarkannya di penerbit mayor. Di sana penulis akan berkompetisi dengan ratusan bahkan mungkin ribuan penulis yang juga menawarkan naskah-naskahnya ke penerbit mayor yang menjadi idaman setiap penulis tersebut.
Bila naskah kita lolos di penerbit mayor, maka akan dihubungi oleh pihak penerbit. Mungkin kalau perlu, ada beberapa hal yang perlu direvisi dan kita diminta untuk merevisinya. Baru setelah direvisi, naskah kita akan dipersiapkan untuk terbit. Hal ini pun masih menunggu lama, karena antrean naskah yang terbit juga tak sedikit. Belum lagi menunggu pembuatan cover buku, pengajuan ISBN, dan lain sebagainya. Hal inilah yang menyebabkan proses penerbitan di penerbit mayor menjadi lama. Kecuali beberapa penulis yang memang ditargetkan oleh penerbit mayor agar lekas terbit. Namun pengecualian ini tentu hanya ditujukan kepada penulis-penulis spesial, misalnya karena buku-bukunya selama ini laris manis, bestseller, dan lain-lain.
- Iklan -
Sangat jauh berbeda dengan keberadaan penerbit indie, karena biasanya tanpa ada proses seleksi, maka bisa cepat terbitnya. Terlebih bila penulis sudah mengedit, melayout, dan menyiapkanap cover bukunya sendiri, hanya tinggal menunggu nomor ISBN, maka prosesnya bisa lebih cepat lagi. Namun, ketika buku kita terbit secara indie, maka kita harus menjual sendiri buku-buku kita, misalnya lewat media sosial atau menitipkannya di toko buku. Berbeda dengan penerbit mayor yang akan mendistribusikan buku kita ke toko-toko buku besar di berbagai kota di Indonesia. Misalnya Gramedia dan Togamas.
Sayangnya, banyak penulis pemula yang mengabaikan hal-hal penting sebelum menerbitkan buku. Mungkin mereka hanya terobsesi ingin memiliki karya dalam bentuk sebuah buku secara instan dan memanfaatkan keberadaan penerbit indie. Sehingga ketika bukunya terbit, jangan tanyakan kualitasnya yang hancur lebur. Maka saran saya, sebelum memutuskan untuk menerbitkan buku lewat jalur penerbit indie, pikir masak-masak terlebih dahulu. Kalau memang kita sudah memiliki pengalaman yang banyak di dunia kepenulisan, misalnya tulisan kita sudah sering dimuat di koran-koran lokal dan nasional, maka tak mengapa bila kita ingin menerbitkan buku secara indie. Namun akan lebih baik bila karya kita terlebih dahulu ditawarkan ke penerbit mayor yang lebih berkompeten.
Paket Penerbitan yang Merugikan
Begitu menjamurnya penerbit indie saat ini seolah memanjakan para penulis yang ingin menerbitkan buku secara cepat dan dengan harga yang sangat terjangkau. Penerbit indie pun seolah saling berlomba-lomba untuk memberikan harga paling murah. Misalnya dengan menawarkan paket penerbitan yang super murah, mulai dari kelas satu sampai kelas tiga. Bahkan ada juga yang menawarkan terbit gratis, tentu dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh penulis.
Di sinilah para penulis dituntut untuk jeli sejeli-jelinya. Cermat secermat-cermatnya. Karena ada sebagian penerbit indie yang meskipun menawarkan terbit gratis, tapi setelah buku tersebut terbit, ternyata dijual dengan harga yang sangat mahal, di luar harga normal umumnya sebuah buku. Misalnya, normalnya buku setebal 180 halaman dipatok harga Rp60 ribu, bahkan kadang masih ada diskon khusus ketika pihak penerbit membuka PO (Pre Order). Sementara bagi penerbit indie yang menawarkan terbit gratis kepada penulis, akan menjual buku dengan ketebalan sama dengan harga yang lebih tinggi. Misalnya, Rp90 ribu bahkan di atas Rp100 ribu. Hal ini tentu menjadi dilema bagi si penulis, karena akan membuatnya merasa sangat kesulitan menjual bukunya. Sementara keuntungan yang didapatkannya dari penjualan (dengan sistem paket penerbitan gratis) tersebut hanya sedikit, misalnya mendapat 10-15% saja. Itu belum ditambah dengan persoalan yang muncul usai buku terbit, misalnya hasil cetakannya ternyata kualitasnya buruk, kertasnya mudah lepas, covernya nge-blur, dan seterusnya.
Saya tentu sangat menyayangkan dengan keberadaan sebagian penerbit indie yang sepintas ingin membantu para penulis menerbitkan buku secara cepat, tapi hakikatnya ingin meraih keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan kerugian yang kelak dirasakan oleh para penulis. Maka saran saya, pandai-pandailah bila kita ingin menerbitkan buku di penerbit indie. Pelajari terlebih dahulu kualitas penerbit indie tersebut. Tanya ke teman-teman yang sudah pernah menerbitkan buku di penerbit indie yang kualitasnya bagus dan harga cetaknya terjangkau.
Jangan mudah tergoda dengan paket penerbitan murah atau paket terbit gratis yang dijanjikan oleh sebagian penerbit indie yang nakal, yang hanya berniat mengeruk keuntungan tanpa memedulikan kualitas. Dan satu lagi, jangan nekat menerbitkan buku (lewat jalur indie) bila kita masih dalam tahap belajar menulis atau belum memiliki pengalaman di dunia kepenulisan. Karena bila kita nekat, maka akan mempermalukan diri kita sendiri di kemudian hari. Misalnya, para pembaca akan mengkritik habis-habisan karena karya kita masih amburadul, acakadut, banyak typo-nya, dan lain sebagainya.
***
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.