Cerpen Beni Setia
ADA tiga kegiatan yang mengharuskan agar datang ke tanah kelahiran. Reuni yang akan diselenggerakan teman-teman bekas SMP—di tahun-tahun ketika tanah kelahiran itu, Palestina, belum dirampas oleh Yahudi, dan menyebabkan aku berada di pengasingan, sebagai pengungsi. Dan sebagian teman, yang ada tetap di Palestina, menempati tanah yang tiba-tiba diklaim milik Israel—negara yang didirikan Yahudi—, serta ditempatkan di flat-flat penampungan, yang amat diawasi dengan kamera CCTV, terselubung, secara militer. Karenanya—setiap mengenangnya —: kami memilih untuk lari, dan sudah 50 tahun aku tidak menenggoknya; karenanya ajakan reuni membuat rinduku bangkit lagi
Kedua, cucu Istihsaan (kakak pertama), meski amat telat akhirnya menikah, hingga semua keluarga—yang tak mengungsi ke luar—, mengharapkan agar aku mau memenuhi undangan, untuk bertemu—setelah 60 tahun lebih tidak pernah bertemu dan mungkin tak akan pernah bertemu lagi, sehingga kami, seakan-akan, orang asing yang berbeda kebangsaan dan negara. Dan, ketiga, pada usia yang lebih dari 76 tahun ini—dan hampir seluruh umur ada di luar—, dan itu berarti aku (mungkin) tidak akan bisa datang lagi ke Palestina ini, bahkan mungkin tidak akan bisa menginjak dan menghirup udara Palestina lagi dalam keadaan hidup. Ya! Karenanya itu akan jadi perjalanan terakhir sebelum benar-benar lupa serta dilupakan (Palestina)—meski aku tak pernah bisa melupakannya. Mungkinkah? Tapi haruskah aku berkunjung ke tanah kelahiran itu, ke dalam kenangan sudut kampung kersang di Caubaia, dekat Sungai Yordan—dan aku harus berjalan 6 jam dari batas terluar Ariha, yang mau tak bisa dilupakan, sebelum benar-benar mati?
Tapi untuk apa?—pikirku. Dan di atas semua itu: aku sebenarnya tidak punya uang untuk pergi ke Palestina—dana untuk menyiapkan tiket pergi dan pulang lewat Jerusalem, dan akomodasi selama di pedalaman Palestina. Itu duit yang teramat banyak, setidaknya bagi aku yang harus berjuang hari demi hari, memeras darah dan keringat, supaya tetap bisa makan hari demi hari
- Iklan -
—hal tersulit, yang menyebabkan aku tidak berani menikah. Tapi, tulis Istihsaan, antum harus bisa datang, harus bertemu dengan banyak keponakan dan sanak, untuk mendengar keluhan mereka, dan kau menceritakannya lagi demi perjuangan mengembalikan Palestina, karena tanah milik kita—setidaknya sebelum mati ….
***
BEGITU—tapi aku tidak punya duit blas.
***
DAHULU, di masa senang SMP, aku berpikir akan jadi PNS dan menikah dengan Niqmasaa’atu—dan punya tiga atau empat anak. Lantas perampasan terjadi, dan Palestina bak disiapkan untuk menampung Yahudi, yang terus berdatang dari seantero dunia, yang selama ini terusir dan dipaksa jadi budak di banyak negara, dan kini semua sepakat untuk kembali—oleh banyak negara maju itu, karena dulu (mereka) direkrut sebagai budak dari Palestina sini, meski telah jadi warga negara dominan. Mereka kembali, dan kami terusir dan (bahkan) diusir—terpaksa meninggalkan rumah, dan (bahkan) banyak yang terlunta-lunta, jadi yang tak bertanah (air), setelah dipaksa mengungsi ke luar. Untuk itu—bertahun-tahun: kami berperang—untuk bisa kembali, buat balik menguasai lagi dan mengusir Israel dari Palestina, dan kembali jadi dua negara—Palestina dan Yordan—, dan Palestina mutlak milik kami, seperti semula.
Tapi semua gagal. Mereka itu, secara licik—, selain unggul secara diplomatik serta militer—, dengan bersilat lidah berbalik menuduh kami sebagai pihak yang ingin merampas tanah mereka, yang sejak awal telah dimiliki nenek moyang mereka—sebelum mereka tercerai berai oleh perbudakan, sebelum kemudian terbersit niatan untuk mengusainya lagi. Sebenarnya, mereka yang mengusir—bahkan menempatkan kami, yang berkeras menetap, ke dalam asylum, se-hingga saudara kami dikerangkeng bagai binatang, yang menyebabkan kami memilih ada di luar dan tidak dikarantina di tanah kelahiran sendiri—dipaksa menghuni asylum ber-CCTV, diisolasi dengan pengawasan militer. Karenanya kami selalu rindu pada Palestina, seperti sebelum dikuasai Israel, diklaim sebagai mutlak mereka. Bahkan—dengan licik—, berbalik menganggap kami teroris, yang ingin mengusir mereka dari rumah dan tanah mereka, sehingga kami dianggap pencaplok tanah—bukankah itu hal yang telah mereka lakukan, sehingga kami jadi teroris yang bergerilya di mana-mana.
Tapi apa kami memang tak punya hak atas tanah itu? Kata siapa?
***
SAMPAI di SMP semuanya wajar. Aku punya keluarga, dua kakak dan tanpa adik—
aku satu-satunya lelaki dengan dua kakak itu perempuan. Sebelum menikahi Ibu: Ayah pernah menikah dan punya satu anak—lelaki. Setelah cerai ibu menikah lagi dan aku punya banyak adik—, juga Ayah menikah beberapa kali dan puya banyak anak. Tapi aku tinggal bersama kakak Ibu—yang hanya punya satu anak wanita—, dan menikah lagi dengan janda yang beranak lelaki, satu—juga telah mendirikan rumah tangga sendiri. Aku jadi anak tunggal. Memuaskan diri sebagai remaja tanggung. Tapi, saat lulus ujian SMP, dan pelajaran baru dimulai sebagai murid baru SMA, mereka sempurna total mengambil alih.
Sejak awal mereka mencurigakan sekali. Mula-mula mereka itu masuk dan mendirikan banyak usaha retail—dan salah seorang darinya merupakan teman SMP , dan sangat suka bermain di kampung—, kemudian mereka—setelah punya Israel—, sebagai jadi PNS, seperti yang mendapat wewenang penuh ikut mengawasi Palestina. Mereka membanjiri, dan pelan menguasai Palestina di beberapa posisi penting, sebagai PNS dan militer terlatih yang direkrut—dan disumpah supaya setia pada otoritas tertinggi mereka mereka, bukan kepada kami, dan mencaplok tanah kami. Melakukan dekolonisasi. Memutuskan melenyapkan Palestina dan mendirikan Israel yang mandiri, yang merdeka—Israel, secara licik, serta (dengan) banyak lobi politik dan konsesi ekonomi, memutuskan mencaplok tanah kami, yang mendadak (mutlak) dianggap milik mereka. Tiba-tiba, dengan sangat mengagetkan—ketika aku mau ujian, lantas lama menunggu hasil ujian diumumkan, dan dipaksa segera bergegas masuk ke SMA, yang tiba-tiba ada di wilayah Israel.
Dan kami—mendadak—jadi pengungsi, bukan karena kalah absah secara hukum, tapi karena dipaksa meninggalkan rumah-rumah (kami), di kampung-kampung yang mendadak menjadi halaman belakang dari rumah elit—tempat mereka tinggal dan berniaga. Dan adik ibu yang lain yang mengajak Ayah (angkat) pergi ke luar, sekaligus mengajakku ikut. Dan di rentangan 25 tahun lalu mareka meninggal, dengan meninggalkan harta, yang secara hukum waris bukan milikku, dan memang diwariskan mereka pada anak-anak mereka, yang membuat aku harus ke luar dari rumah—kemudian dijual, agar bisa dibagikan di antara mereka. Menggelandang aku sebagai si ahli kontrak kamar sewa—dengan tanpa pekerjaan tetap. Aku cuma si pencari sesuap nasi, si tenaga kasar, yang berpindah-pindah kamar kontrakan, dan—di dalam kepapaan terasing dan terusir itu—aku (kemudian) banyak mengenangkan Palestina dalam tulisan, yang membuat aku cukup ternama dan sering diundang seminar, agar semua orang usiran itu bisa mengenangkan si tanah kelahiran (Palestina), dan dapat sedikit biaya tanbahan buat makan.
Cara hidup—sebenarnya—yang sangat perih dan menyakitkan.
***
NAMA samaran aku, dalam dunia karang mengarang, adalah Ibnu Gazali, anak si Gazali, yang asli orang Palestina, bukan si Isnen Mudahanah, seperti yang mereka kenal dulu. Dan, karena alasan itu, maka beberapa teman SMP, sepakat buat mengundang aku, sebagai Isnen Mudahanah, untuk bernostalgia, bercerita mendetail: tentang kampung kami di Caubaia, dekat Sungai Yordan, dan 6 jam jalan kaki dari batas terluar Ariha, Palestina—, yang telah dimusnahkan dan jadi kebun kacang polong dengan green house kekar—, dan terutama cerita masa kanak-kanak di kampung itu—nyaris 75 tahun yang lalu. Tapi mungkinkah aku pergi memenuhi harapan mereka, padahal aku tak punya duit blas buat membeli tiket—bahkan sedang bingung untuk sekedar bisa makan di hari-hari mendatang ini—, karena mereka tidak berinisiatif membelikan tiket pergi-pulang, dan bahkan—tanpa sungkan, dengan amat optimistik—mereka meminta agar aku jadi salah satu sponsor dari acara itu, dengan aktif menyumbang duit (dan bukan cuma yang bisa me-nulis beberapa kenangan eksistensial tentang masa kecil, untuk sekedar bisa makan sehari-hari).
Gila. Tahukah mereka kalau aku menulis—dengan memeras kenangan dan kesakitan saat membacanya lagi—, supaya tulisan itu dimuat dan aku mendapat honor tulisan buat makan, dan bekerja kasar untuk menabung, agar ada uang sewa kontrakan untuk di bulan berikut? Tapi aku diam saja—karena aku ingin pulang kampung dan menginjakkan kaki di tanah kelahiran, meski itu mungkin untuk terakhir kali, sebelum aku balik ke pengungsian serta meninggal dengan mata merem. Bahkan mungkin tidak akan bisa pulang lagi, karena usia hanya menakdirkan aku hanya sampai di Palestina saja—bahkan sebelum melangkah masuk Caubaia, nun di kejauhan, di bandara Jerusalem: aku telah ditangkap—, bahkan ditembak Israel. Memang. Tahukah (mereka) akan kemungkinan itu? Mengantisipasikah mereka? Atau: mereka sepakat untuk mengorbankan aku, untuk jadi materi komukasi politik internasional, yang bermanpaat bagi perjuangan kami?
Haruskah aku menolak kemungknan itu? Beranikah aku?
***
TEMBAKLAH—dan kuburkan aku di tanah kelahiran. ***
Caruban, 30.07.2018-31.01.2019-7.11.2020
BENI SETIA. Pengarang
E-Mail: setiabeni54@gmail.com