Oleh : Saiful Bahri
Tradisi masyarakat Madura erat kaitannya dengan absurditas yang tidak bisa dijangkau dengan akal sehat manusia. Akal hanya bisa menertawakan tradisi kuno. Tapi masyarakat lebih pro walau dikotomi tanggapan milenial yang menjadi elegi tak dimengerti. Banyak tradisi masyarakat Madura yang saya pikir belum dipublikasikan semuanya. Di esai ini saya ingin membahas satu tradisi masyarakat kuno yang hingga kini masih terawat keberadaannya. Maka dari itu kita sebagai milenial harus mampu menyerap tradisi masyarakat ini melalui usaha mengkajinya secara intensif dan berulang-ulang.
Setiap lokalitas budaya di Indonesia secara umum, dan di Madura secara khusus memiliki banyak sudut pandang yang multitafsir dari berbagai cara respons masyarakat yang berbeda dalam memahami serta menyikapi perjumpaan Islam dan budaya lokal. Dalam kasus Islam, dikarenakan kedatangan Islam menggunakan modus kebudayaan dalam penyebarannya. Mulai dari pendekatan-pendekatan mistikisme maupun pendekatan-pendekatan religiositas yang dianut oleh idealisme masyarakat itu sendiri. Sehingga muncul tradisi-tradisi mendasar yang hingga kini tetap berlaku di masyarakat.
Mata rantai peradaban Madura, bisa dikatakan memperoleh apresiasi yang luar biasa ketika kemudian pemudanya mampu menyerap aspirasi tradisi masyarakat secara utuh. Tradisi masyarakat dari daerah ke daerah lain saya rasa punya daya tarik tersendiri. Punya daya pikat yang tersambung dengan idealisme peradaban lokal. Entah itu berkaitan dengan tradisi yang sulit dimengerti mau pun tradisi sejarah kuno yang sangat ternilai di masyarakat. Contoh kecilnya adalah ¹obheren yang akan dibahas kali ini dengan tujuan pembaca sadar akan ragamnya multikultur pedesaan secara intensif.
- Iklan -
Salah satu keberagaman negeri kita yang harus dijaga adalah tradisi masyarakatnya. Tradisi masyarakat Madura erat kaitannya dengan menantang keadaan. Tak ubahnya misterius-menegangkan. Komposisi itulah yang hingga kini masih kental dan melekat serius di tanah Madura, seperti obheren misalnya. Obheren merupakan ritual kuno yang dalam hal ini menginspirasi tradisi orang-orang Madura dengan cara berdoa di sawah-sawah, mengaji di kuburan-kuburan, membawa seperangkat makanan 7-5 olahan sekalian. Tujuannya tak lain degan harapan sebagai munajat spiritual yang didasari niat tawakal.
Diskursus pemikiran milenial menjadi tantangan yang cukup besar di dalam menghadapi amukan informasi dan eksakta literasi sastra digital. Berangkat dari sebuah konteks di mana perubahan kuantitatif semakin mengejar langkah kita. Teka-teki perlawanan zaman semakin mencekal peradaban budaya milenial. Ini yang kemudian saya tertarik untuk mengajak para milenial mampu berkolaborasi, adaptif, serta informatif dalam menghadapi ritme nada perubahan. Paling tidak tetap menjaga kekayaan tradisi masyarakat kita.
Saya sedikit tertarik untuk mengaktualisasikan peradaban Madura, yang belum pernah orang membahas sekalipun. Jika seperti tradisi karapan sapi, tandak, ojung dan tradisi-tradisi lainnya. Dari berbagai pemikiran dengan tokoh masyarakat, sedikit banyak saya paham eksistensi budaya masyarakat kuno saat ini. Madura sendiri banyak peninggalan tradisi lokal yang terkadang malah tak sampai ke telinga milenial. Apa tujuannya? Tujuannya adalah menjaga moral budaya sekitar untuk diabdikan kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Saya bahkan merasa bangga— ketika kemudian menemukan pemuda milenial —yang masih pro terhadap tradisi kuno. Secara garis besar memang, walau pun tradisi masyarakat kuno banyak dipengaruhi oleh agama Hindu, akan tetapi setelah datang Wali Songo, objektivitas isi di dalam tradisi-tradisi kuno –sedikit demi sedikit mulai berubah dengan sendirinya. Katakanlah kedatangan Wali Songo dari segi pendekatan sosialnya lebih diarahkan kepada religiositas pengakuan nenek moyang kita terhadap tatanan sosial budaya serta kukuhnya kemantapan toleransi antar umat beragama kala itu.
Relasi kultural ini kemudian menjalar pesat di lingkungan masyarakat milenial sekitar. Walaupun memang, yang awalnya hanya bisa dikatakan ikut-ikutan saja, setelah berlama-lama kemudian masyarakat awam sendiri mampu adaptif dari berbagai belenggu hikayat yang ada. Kita sebagai milenial tidak usah memikirkan apakah itu baik atau tidak. Tetapi yang harus dipikir adalah mampukah kita meneruskan estafet kekayaan tradisi masyarakat yang sudah tergerus amukan eksistensi digitalisasi. Yang mana dari keutuhan tradisi masyarakat ini tetap dijadikan jalan kesalehan di tengah muramnya mobilitas sosial dalam kurung tidak dihilangkan begitu saja.
Saya pikir, milenial yang sebenar-benarnya adalah mereka yang benar-benar selektif terhadap peta informasi apa saja dan di mana saja, baik yang diterimanya di dunia nyata maupun juga di dunia maya. Entah itu berupa ihwal akuntabilitas sosiokultural, maupun hal-hal yang sifatnya lebih mengarah kepada stabilitas peradaban budaya lokal. Coba saja kita pikir bersama tentang minimnya dialektika tradisi masyarakat, yang mana, hanya sepuluh orang dari seratus pelajar yang tekun mencintai peradaban etika, tawaduk, dan tunduk bermedia sosial. 90 persennya lagi lebih mengarah kepada unsur indikasi paham hedonisme yang saya rasa sedikit dibarengi dengan daya pikat gaya-gayaan saja. Entah itu kebaikan yang mesti dijaga atau memang kebobrokan yang tak sempat terpikirkan sebelumnya.
Dalam beberapa menit ini saya ingin sesekali mengajak pembaca santai bernostalgia. Ada falsafah yang pernah penulis lihat di lembaran kalender Kudus lima tahun yang lalu : fakkir qobla an takzim (berpikirlah dahulu sebelum bertindak). Tapi ini, sudah hampir menghilang dari estetika peradaban maya. Itu kenapa? Karena eksistensi peradaban milenial tengah terkontaminasi budaya asing di mana perubahan-perubahan pola pikir menjadi ricuh tak beraturan. Atau bahkan hancur lebur termakan zaman.
Tergerusnya budaya lokal ini sekali lagi menjadi tantangan yang luar biasa di tengah ricuhnya media sosial. Beberapa unsur pengguna media sosial ada yang sadar akan kekayaan tradisi budaya lokal sosiokultural. Tapi ada saja yang bahkan tidak mau tahu akan berkembangnya religiositas yang mulai tergerus arus perubahan. Jadi kita sebagai milenial jangan merasa tak kuat menjaga tradisi.
Tradisi masyarakat kita mempunyai banyak kaidah penting di dalam menjaga keharmonisan. Salah satunya adalah berbagi antar sesama, gotong-royong, dan hal lain yang sifatnya mendasar pada aspek humanisme. Sedikit saya ingin membahas tradisi obheren yang ada di kanan-kiri kampung saya. Walaupun saya pikir ada banyak para milenial yang kurang paham terhadap substansi nilai yang ada di tengah kurangnya kesadaran pemuda-pemuda milenial dalam menyikapi eksistensi tradisi masyarakat lokal.
Integrasi budaya lokal obheren ini tidak memandang strata sosial, bahkan tak sedikit pun asumsi masyarakat menyoal diskriminasi yang tengah terjadi di zaman ini. Ada baiknya kearifan lokal ini mau tidak mau harus kita jaga keberadaannya. Itu yang pertama. Kemudian yang kedua, di dalam menjaga tradisi obheren ini, ada banyak hal-hal menarik yang selama ini tertangkap jelas di mata-kepala saya sendiri. Selain menjadikan kita rukun bertetangga, menjaga solidaritas antar warga, pun juga ada sisi urgensi moral dan religiositas yang utuh di dalamnya, seperti mengaji bersama, makan khas tradisional bersama, dan berdoa bersama, meskipun ini semua dilakukan dengan cara alamiah di sawah-sawah pak tani yang radiusnya itu biasa dilakukan secara berdempetan dengan perbatasan garis desa. Memanggil seluruh warga pun tidak menggunakan pengeras suara melainkan dengan cara berkabar di perkumpulan sekitar, bahkan yang menarik ketika sampai hari H ini dengan cara membunyikan patrol tongtong yang merupakan alat musik bambu khas Madura untuk mengumpulkan warga. Boleh saya katakan bahwa dikursus tradisi masyarakat ini lebih condong kepada sisi lain dari cara orang Madura mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam ilmu filsafat, Diskursus merupakan suatu konsep yang dikembangkan oleh Michel Foucault dalam karya-karyanya. Bagi Foucault, dikursus adalah sebuah sistem berpikir, ide-ide, pemikiran, dan gambaran yang kemudian membangun konsep suatu kultur atau budaya. Diskursus dibangun oleh asumsi-asumsi yang umum yang kemudian menjadi ciri khas dalam pembicaraan baik oleh suatu kelompok tertentu maupun dalam suatu periode sejarah tertentu. Foucault dalam karyanya mengenai kegilaan menyingkapkan adanya perubahan dikursus mengenai kegilaan pada abad pertengahan dengan abad ke-20. Dengan mempelajari arsip dan dokumen sejarah pada abad pertengahan, ia menyimpulkan bahwa pada masa itu orang gila tidak dianggap berbahaya namun dianggap memiliki kebijaksanaan batiniah sedangkan pada abad ke-20 orang gila diperlakukan sebagai orang sakit yang membutuhkan perawatan agar dapat pulih.
Di zaman sekarang ini, katakanlah di zaman 4.0 yang serba digital, tradisi masyarakat perlu adanya pembaruan-pembaruan alamiah tanpa sedikit pun mengurangi rasa patuh kita terhadap nilai-nilai yang diimplementasikan oleh/dari/di masyarakat. Jadi saya pikir memang, kajian inilah yang patut kita pertahankan meskipun pola konsep tradisi ini sedikit demi sedikit sulit diterima. Maka saya pikir perlu adanya penjelasan inti kepada kaum milenial, biar nantinya mudah dipahami dan diterima dengan baik (saat ini dan seterusnya).
Tradisi masyarakat perdesaan menjadi sorotan di tengah hangatnya media sosial. Bukan perkara yang aneh ketika tradisi masyarakat ini dibicarakan di daerah Sumenep secara umum dan di Kecamatan Gapura secara khusus. Saya pikir, memang banyak orang-orang tetangga Desa yang mempercayai tradisi masyarakat ini turun-temurun. Tradisi obheren ini erat kaitannya dengan memuja pada Tuhan dengan cara yang saya sebut di atas selain mengaji yaitu menyembelih hewan peliharaan. Daging dan seluruh isinya kemudian dihidangkan kepada masyarakat yang hadir untuk dimakan bersama-sama. Kadang pula ayam dan ada juga hewan kambing yang dijadikan tumbal. Dari hewan ayam atau kambing itulah dikuliti dengan rapi hingga kemudian diganti dengan rumput padi di dalamnya dan di pajang di ²tapakdengdeng yang oleh masyarakat sekitar dipercaya untuk disuguhkan kepada makhluk halus yang biasa mengganggu kehidupan masyarakat sekitar.
Tradisi obheren di masyarakat Sumenep secara khusus merupakan sebuah bentuk perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dengan cara yang sama. Walau pun hanya dilakukan dalam dekade satu tahun sekali dengan berpindah dari dusun ke dusun lain. Hal ini saya rasa menunjukkan orang Madura sendiri sangat menyukai perbuatan itu. Kebiasaan yang diulang-ulang ini dilakukan secara terus menerus karena dinilai bermanfaat bagi sekelompok orang, sehingga sekelompok orang tersebut melestarikannya. Sama seperti obheren ini, masyarakat sudah paham akan nilai-nilai substansial yang terkandung di dalamnya.
Tradisi secara umum memang dikenal sebagai suatu bentuk kebiasaan yang memiliki rangkaian peristiwa sejarah kuno. Setiap tradisi dikembangkan untuk beberapa tujuan, seperti tujuan meminta hujan misalnya, atau tujuan lain dalam kemasan yang berbeda-beda. Bahkan sampai sekarang, saya masih belum paham betul ketika tradisi ojung di Madura dipercaya sebagai tujuan utama meminta hujan. Walau pun ini bertentangan dengan pikiran saya, sebagai milenial harus menjaga dan merawat tradisi ini. Sama halnya tradisi obheren yang panjang lebar sudah saya bahas dari tadi. Tapi yang paling penting adalah tetap menjaga sikap moderasi terhadap nilai-nilai yang berlaku di masyarakat di tengah eksistensi media sosial.***
Nb : tapakdengdeng : tempat berrit, seram, yang dipercaya banyak makhluk halus bergentayangan. Sehingga bagi orang Madura, menaruh sesajen di tempat itu bisa dijadikan tumbal untuk mengusir makhluk halus pengganggu.
Sumenep, 16-17 Oktober 2021
Tentang Penulis
Saiful Bahri, kelahiran Sumenep-Madura, O5 Februari 1995. Ia mengabdi di Madrasah Al-Huda. Selain menulis, ia juga seorang aktivis di Komunitas Literasi Semenjak. Ada pula Fok@da (Forum komunikasi alumni Al-Huda), Organisasi Pemuda Purnama. Pengasuh ceria di grup (Literasi Indonesia) dan pendidik setia di komunitas (Literasi Kamis Sore). Serta aktif di organisasi PR GP Ansor Gapura Timur dan Lesbumi PAC Gapura. Disela-sela kesibukannya ia belajar menulis Puisi, Cerpen, Cernak, Esai, Resensi, Artikel, Opini, dll. Tulisannya pernah dimuat di koran Lokal maupun koran Nasional, seperti: Jawa Pos (pro-kontra), Republika, Riau Pos, Bangka Pos, Palembang Ekspres, Radar Madura, Radar Surabaya, Radar Banyuwangi, Radar Bojonegoro, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Malang Voice, Majalah Simalaba, Analisa Medan, Radar Cirebon, Kabar Madura, Jurnal Asia-Medan, Banjarmasin Pos, Budaya Fajar-Makassar, Radar Pagi, Dinamikanews, Denpost Bali, Website Redaksi Apajake, Catatan Pringadi, Jejak Publisher, Ideide.id, Iqra.id, Magrib.id, Gokenje.id, Majalah Pewara Dinamika Jogja, Koran Cakra Bangsa, Media Semesta Seni, Website maarifnujateng.or.id, Becik.id, MJS Colombo Jogja, Duniasantri.co, Banaran Media, Ruagsekolah.net, Koran Rakyat Sultra, Jurnaba.co, pcnusumenep.or.id. Puisinya juga masuk dalam antologi CTA Creation (2017. Antologi Senyuman Lembah Ijen-Banyuwangi (2018). Antologi kumpulan karya anak bangsa: Sepasang Camar-Majalah Simalaba (2018). Antologi puisi Perempuan (2018). Juara satu lomba cipta puisi bertema Hari Raya di media FAM Indonesia (2018). Antologi HPI Riau: Kunanti di Kampar Kiri (2018). Antologi Puisi Masa Lalu (2018). Antologi Puisi Festival Sastra Internasional Gunung Bintan Jejak Hang Tuah (Jazirah I 2018). Antologi Puisi Internasional FSIGB (Jazirah II 2019). Antologi Banjar Baru Rainy Day’s (2018-2019). Antologi Puisi untuk Lombok-Redaksi Apajake (2018). Antologi Puisi Puisi Tasbih Cinta (FAM 2019). Antologi Puisi Menimang Putri Dewa (Tidar Media, 2019). Antologi Puisi Sejarah Lahirmu (2019). Antologi Puisi Arti Kehidupan FAM Indonesia (2019). Antologi Puisi Kelapa Sawit Apajake (2019). Antologi Sebuku Net Nissa Sabyan (2019). Sepuluh Puisi Terbaik Media Linea (2019). Juara II Cipta Puisi Nasional di Penerbit Mandiri Jaya Tulungagung (2019). Juara III Lomba Cipta Puisi GMNI UIN SUKA Jogja (2021). Penulis Buku Puisi Terbit Gratis: Senandung Asmara dalam Jiwa (2018).