Oleh: Suwanto
Tidak dipungkiri bahwa Nahdhatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di tanah air, memiliki peran yang amat besar dalam membumikan pendidikan karakter berwawasan ahlussunnah wal-jama’ah (Aswaja). Mengingat salah satu di antara tugas-tugas NU adalah membina pendidikan di samping juga mengembangkan dakwah, ekonomi, dan mabarrot (sosial). Peran nyatanya bis akita lihat banyak berdirinya Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU) merupakan salah satu aparat departementasi di lingkungan organisasi NU.
- Iklan -
Core values pendidikan berwawasan Aswaja ini telah menginspirasi model pendidikan guna menjawab berbagai persoalan dekadensi karakter umat. Pendidikan bagi kalangan NU mempunyai tujuan akhlak atau karakter sebagai cerminannya. Hal ini sesuai dengan ciri khas dan kepribadian NU sebagai jami’iyah diniyah (organisasi sosial keagamaan). Dalam pendidikan berwawasan ahlussunnah wal-jama’ah, aktualisasi pendidikan karakter yang sejalan dengan ke-Indonesian menjadi orientasi penting bagi NU.
Harapan itu merupakan tanggung jawab dalam menentukan corak pendidikan akhlak yang lebih maslahah bagi ideologi masyarakat dan menjaga ideologi kebangsaan. Ini menjadi penting, apalagi virus ideologi transnasional sudah mencemari lingkungan pendidikan di Indonesia.
Realitas tersebut tidak terbantahkan lagi. Misalnya saja, sebagaimana diungkapkan Mahpur (2015) bahwa tema-tema mata pelajaran agama yang diidentikkan dengan radikalis (ekstrimis) telah bersenyawa ke teks-teks buku agama. Hal ini tentu dapat ditepis dengan memformulasikan model pendidikan agama berwawasan ahlussunnah wal-jama’ah.
Oleh karenanya, konstruksi pendidikan agama tersebut sangat relevan diterapkan di negeri bhinneka ini. Untuk mewujudkan hal itu tentu berbagai entitas pelajaran pendidikan agama di sekolah harus bekerja sama satu visi dan misi dalam bingkai manajemen pendidikan agama. Butuh kerja sama intelektual dalam membina pendidikan agama berwawasan Aswaja.
Beberapa di antaranya kerja sama intelektual tersebut, pertama cepat tanggap merekonstruksi kurikulum pembelajaran agama yang inklusif dengan haluan Islam rahmatan lil ‘alamin. Seperti halnya di NU, setiap satuan pendidikan di bawah naungan LP Ma’arif diwajibkan belajar Aswaja (ahlussunnah wal-jama’ah) sebagai dasar nilai pemahaman agama siswa.
Kedua, aspek guru yang merupakan role model pembelajaran agama. Guru agama adalah tonggak bagaimana pengetahuan ke-Islaman peserta didik ditumbuhkan, dipupuk, dan diamalkan dalam kehidupan.
Karenanya, keterampilan inovatif guru dalam merelasikan keagamaan dan kebangsaan adalah patut dimiliki. Cara pandang guru sebagaimana guru-guru di institusi pendidikan NU moderat dan toleran harus ditularkan juga kepada siswanya dalam pembelajaran pendidikan agama.
Selain itu juga, guru bisa menjadi detektor terhadap tumbuh suburnya pemikiran-pemikiran ekstrimis peserta didiknya. Artinya, guru juga punya peran sebagai filter keagamaan. Dia bisa menyaring pemikiran keagamaan dan sumber-sumber pelajaran yang dianggap mengindikasikan pemaknaan eksklusif ektrimisme, intoleran, dan berbagai derivasinya (Mahpur, 2015).
Ketiga yaitu sistem evaluasi. Bagaimanapun, Islam di sekolah-sekolah selama ini sangat dominan diajarkan domain pengetahuan kognitif dan dievaluasi dengan kognitif pula. Meskipun praktik diajarkan, namun praktik tersebut mengacu pada ketrampilan formal keagamaan, seperti sholat, puasa, atau praktik ubudiah lain (Mahpur, 2015). Praktik seperti ini memang perlu tetapi akan disayangkan jika hanya sebatas formal evaluasi saja.
Oleh karena itu, sudah saatnya sistem evaluasi dalam pelajaran agama berorientasi pada membangun kesadaran pengamalan pengetahuan agama yang diperoleh di sekolah ke dalam kehidupan nyata.
Evaluasi bisa didesain dengan metode simulasi atau live in atau penilaian sikap secara langsung. Ketiga elemen tersebut yakni aspek kurikulum, guru, dan sistem evaluasi menjadi tantangan tersendiri yang terus dikembangkan dalam model pendidikan karakter.
Core values Aswaja, yakni tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), al-‘adalah (keadilan), dan amar ma’ruf nahi munkar (mendorong perbuatan baik dan mencegah perbuatan munkar) harus senantiasa tersemai dan dijiwai dalam ketiga aspek tersebut baik itu kurikulum, guru, maupun sistem evaluasinya.
Pendidikan Karakter dalam Al-Qur’an
Kalau kita kaji dengan teliti Al-Qur’an banyak menjelaskan konsep pendidikan karakter, di antaranya sebagaimana tertuang dalam Q.S. Luqman ayat 12-19. Ayat Al-Quran ini menjelaskan bahwa Allah SWT memberikan hikmah kepada Luqman, sebab itu ia harus bersyukur pada Allah. Sebagaimana Q.S. Lukman ayat 12 berikut.
Artinya: “Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah! Dan barang siapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji” (Q.S. Lukman: 12).
Di antara hikmah tersebut ialah, sistem pendidikan anak. Sistem pendidikan anak yang diberikan kepada Luqman sangat mendasar dengan urutan yang sangat teliti mencakup semua hal yang utama. Luqman memulai pendidikan anaknya dari masalah akidah atau keimanan agar tidak tercampur dengan syirik. Sebab, sebaik apapun akhlak dan sebanyak apapun amal saleh, jika akidah belum bersih dari syirik, maka tidak akan bermanfaat di akhirat kelak. Hal ini seperti disebutkan dalam Q.S. Lukman ayat 13 berikut.
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar” (Q.S. Lukman: 13).
Setelah akidah bersih, Luqman mengajarkan berbuat baik dan taat kepada kedua orang tua. Taat kepada kedua orang tua itu dibatasi selama tidak maksiat pada Allah, karena jalan hidup yang ditempuh haruslah yang menyampaikan kepada Allah. Ini sebagaimana disiratkan dalam Q.S. Lukman ayat 14, yaitu:
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun” (Q.S. Lukman: 14).
Selanjutnya, Luqman mengajarkan anaknya muraqabatullah atau merasa diawasi Allah SWT. Karena tidak ada yang tersembunyi dari ilmu Allah. Dengan demikian, anak akan memiliki pertahanan dari dalam diri dan tidak tergantung pada kontrol manusia dan pengaruh dari luar. Kemudian, Luqman mengajarkan anaknya shalat dan berdakwah yang menjadi tiang dakwah. Dan terakhir baru Luqman mengajarkan akhlak bergaul dengan manusia berdasarkan ketentuan dari Allah. Hal ini sebagaimana terkandung dalam Q.S. Lukman ayat 15-19.
Secara garis besar hikmah-hikmah yang terkandung dalam Q.S. Lukman ayat 12-19 itu berkaitan dengan pendidikan karakter. Pada Q.S Lukman Ayat 12-19 tersebut mengandung makna nilai-nilai karakter seperti syukur, bijaksana, amal salih, sikap hormat, ramah, sabar, rendah hati, dan pengendalian diri. Nilai-nilai inilah juga yang selama ini digaungkan oleh konsep pendidikan karakter berwawasan kebangsaan, toleran, dan menebar kasih sayang antar sesama.
Bukankah Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA: “Sesungguhnya di sekitar ‘Arsy terdapat mimbar-mimbar dari cahaya, yang di atasnya terdapat suatu kaum yang menggunakan pakaian yang bercahaya. Wajah mereka bercahaya, dan mereka itu bukan nabi atau syuhada. Akan tetapi para nabi dan syuhada tertegun dan iri kepada mereka sehingga mereka berkata: “Yaa Rasulullah, tolong beritahu siapakah gerangan mereka itu? ‘Beliau menjawab: “Mereka adalah yang saling menjalin cinta kasih karena Allah, dan saling bermajlis karena Allah, dan saling mengunjungi semata karena Allah.”
Pada intinya karakter-karakter tersebut merupakan nilai-nilai positif yang diajarkan dan ditanamkan untuk diamalkan baik itu pendidik maupun peserta didik dan tentunya diajarkan oleh Islam. Pun demikian karakter kebangsaan dan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin harus senantiasa melekat pada pendidikan karakter. Adapun di antara tujuannya adalah menampilkan karakter atau wajah Islam yang ramah dan rahmah bagi semesta alam.
– Guru di MTs Negeri 6 Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.