Oleh Sam Edy Yuswanto*
Menulis merupakan cara terbaik untuk merawat dan mengabadikan beragam ilmu pengetahuan. Tanpa ditulis dan dibukukan, perlahan tapi pasti ilmu pengetahuan akan lekang dan hilang ditelan zaman. Tak bisa dibayangkan bila beragam ilmu pengetahuan sampai lenyap tak bersisa dari muka bumi ini. Seperti apa kira-kira perilaku manusia bila tanpa disertai beragam ilmu pengetahuan?
Ditulis dan dibukukannya ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi pedoman dan petunjuk umat manusia juga lantaran untuk menjaga dan merawat firman Tuhan agar jangan sampai lenyap dari muka bumi ini. Bicara tentang sejarah penulisan dan pembukuan Al-Qur’an, Irfan Supandi dalam buku Agar Bacaan Al-Qur’an Tak Sia-Sia mengisahkannya secara singkat. Begini kisahnya:
Ketika Rasulullah Saw. masih hidup, Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur hari demi hari, tetapi tidak tertulis pada kertas, apalagi terkumpul dalam satu mushaf yang dicetak. Bahkan, orang-orang pada masa itu belum mengenal kertas. Perkataan waraq yang sekarang diterjemahkan dengan ‘kertas’, hanya ditujukan kepada daun kayu. Adapun kata qirthas (maknanya juga kertas) ditujukan kepada benda-benda yang mereka gunakan untuk ditulisi, seperti pelepah kurma, tulang-tulang hewan, batu-batu pipih, dan semisalnya. Ditulis dan dibukukannya Al-Qur’an merupakan ide dari Umar bin Khattab, salah satu sahabat terbaik Nabi Muhammad Saw.
- Iklan -
Sahabat Umar merasa khawatir bila tak segera ditulis dan dibukukan, maka kitab pedoman umat ini akan lenyap seiring dengan meninggalnya para qurra, yakni orang-orang yang pandai membaca, hafal, paham, dan cakap menerangkan makna, serta pengertian Al-Qur’an. Terlebih jumlah mereka waktu itu amat terbatas. Ditambah lagi ketika bermuncullan nabi-nabi palsu yang menyebarkan khurafat dan kebohongan. Sehingga hal tersebut menjadi hal yang sangat meresahkan, dan membuat khalifah Abu Bakar tak tinggal diam dan berusaha untuk memerangi mereka. Dalam peperangan tersebut, banyak ahli qurra yang meninggal dunia, sehingga membuat Umar bin Khattab merasa gelisah dan khawatir bila Al-Qur’an akan lenyap seiring meninggalnya para qurra.
Umar pun lantas menyimpulkan tentang pentingnya menulis dan membukukan (menghimpun Al-Qur’an dalam satu mushaf). Meski ide pembukuan Al-Qur’an awalnya tidak disetujui oleh Abu Bakar dengan alasan belum pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw., tetapi pada akhirnya ia setuju dengan usulan Umar. Abu Bakar percaya dengan kejujuran dan ketulusan niat Umar. Terlebih ketika Umar dengan tegas menjelaskan berulang-ulang alasan penghimpunan Al-Qur’an. “Demi Allah, ini suatu kebaikan” tegasnya.
Sekarang, coba kita bayangkan, seandainya ayat-ayat Al-Qur’an pada saat itu tak segera dikumpulkan dan dibukukan, bisa jadi ayat-ayat Tuhan akan lenyap seiring meninggalnya para qurra. Padahal Al-Qur’an selain menjadi pedoman hidup umat Islam, juga merupakan sumbernya beragam ilmu pengetahun, baik ilmu pengetahuan agama maupun ilmu umum.
Pentingnya Menulis Bagi Para Guru
Menulis mestinya menjadi hal yang tak boleh diabaikan oleh kita semua. Terlebih bagi mereka yang memiliki pemahaman tentang beragam ilmu pengetahuan yang kelak akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi generasi muda bangsa ini. Misalnya, para kiai, santri, alumni, guru, dosen, siswa, dan mahasiswa. Sangat disayangkan bila ilmu pengetahuan yang mereka peroleh sewaktu menuntut ilmu di pondok-pondok pesantren dan berbagai lembaga pendidikan formal lain seperti sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, tak dituangkan dalam beragam bentuk tulisan dan buku-buku yang bisa dibaca oleh generasi berikutnya.
Terlebih di era serba internet seperti sekarang ini, menulis mestinya dapat menjadi ladang dakwah bagi orang-orang berilmu. Menyampaikan ajaran Islam dengan bijak dan santun di media sosial misalnya, menjadi cara yang cukup efektif untuk menangkal pemikiran-pemikiran liberal atau aliran-aliran sesat yang ingin menghancurkan Islam melalui tulisan-tulisan yang melenceng dari ajaran syariat. Jangan sampai media massa kita dikuasai oleh orang-orang tak berilmu sehingga apa yang mereka tulis akan mencelakakan dan menyesatkan para pembacanya. Wallahu a’lam bish-shawaab.
***
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.