Oleh: Fathorrozi
Judul Buku : Diary Teacher Keder
Penulis : Edot Herjunot
Penerbit : Buku Mojok
Cetakan : I, Mei 2021
Tebal : 180 halaman
ISBN : 978-623-7284-57-4
Satu kata untuk buku yang satu ini: gelo. Setelah saya khatamkan buku yang ditulis Pak Guru Edot Herjunot tepat di malam Jum’at Legi ini, perut saya serasa digelitik. Geli segeli-gelinya. Tak ada geli lain yang menyamainya. Maka maklum jika resensi ini ditulis juga dengan rada geli, sebab menyelaraskan dengan kegelian yang ada di buku ini.
Buku dengan tebal 180 halaman ini mengungkap perjalanan guru secara menarik. Uniknya, sepengalaman saya membaca buku ini tak dihinggapi kebosanan sejak buka sampul pertama, lalu baca lembar pertama hingga terakhir. Kisah yang diutarakan merupakan sempalan kisah yang jarang diungkap oleh penulis lain. Kisah guru yang menceritakan kesehariannya dengan sudut pandang (point of view) yang berbeda. Betul-betul kisah yang tak lazim.
- Iklan -
Salah satu contoh ketidaklazimannya adalah saat memberi pertanyaan kepada siswa di akhir pelajaran. Ketika Si Guru bertanya kepada siswa, “Menurut kalian berapa usia Pak Guru?” Mereka yang menjawab umur 40, ditunda kepulangannya hingga paling akhir. Sedangkan mereka yang menjawab umur 17, langsung disuruh pulang seketika. Begitu pun apabila dilontarkan pertanyaan, “Apakah Pak Guru tampan?” Siswa yang menjawab, “Iya, Pak Guru tampan sekali kayak Aliando,” spontan juga dipulangkan tanpa syarat.
Catatan harian seorang guru yang tertuang di dalam buku ini dimulai dari kisah lulus kuliah jurusan PGSD tahun 2013. Sempat terpikir ingin kerja di bank. Sebab, jika kerja di bank, gaji terjamin, pakaian selalu rapi dan rambut klimis. Tapi, akhirnya gagal sebab ia sadar setiap kali bercermin. Syarat minimal kerja di bank penampilan harus menarik, sementara ia malah terlihat penuh aura mistis.
Sampai suatu hari, kakaknya datang menawarkan pekerjaan yang sesuai dengan ijazahnya: PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar). Ia pun menerima tawaran pekerjaan sebagai guru karena ingin melihat orang tuanya senang. Agar orang tuanya tak sia-sia membiayainya kuliah mahal-mahal.
Hari pertama kerja, ia sama sekali belum tahu lokasi SD 04 Penggarit. Kakaknya hanya memberinya ancer-ancer. Karena terus terjebak dalam kebingungan, ia lalu tanya kepada orang yang dijumpainya di pinggir jalan, “Permisi, Pak. Mau tanya, kalau SD 04 Penggarit di mana ya? Katanya lokasinya sebelah Balai Desa Penggarit?”
“Oh Balai Desa Penggarit. Masnya lurus aja terus. Pokoknya luruuuus…”
“Lurus saja berarti ya, Pak? Nanti ketemu sekolahnya?”
“Iya lurus terus. Nah, kira-kira kalau sudah mulai putus asa, masnya berhenti terus dicek hapenya.”
“Lah kok jadi ngecek hape, Pak?”
“Iya, dicek hapenya. Kalau hapenya sudah nggak ada sinyal berarti lokasinya sudah dekat, pasti nanti ketemu.” (hlm. 11).
Kesan pertama yang mulai tercium aroma kurang nyaman. Setelah sekian lama muter-muter mengandalkan keberuntungan, ia pun ketemu dengan sekolah yang dituju. Saat melihat pintu gerbang sekolah, hatinya bergemuruh, jiwanya merasa terpanggil, terpanggil untuk cepat-cepat balik ke rumah lagi.
Saya ngajar di sekolah yang cukup jauh dari peradaban manusia. Di mana mal gede sekelas Alfamart sama Indomaret aja nggak berani buka lapak. Saya masih ngajar di kota sendiri, tapi rasanya seperti saya mengajar di sekolah terdepan, terluar, terpencil, dan terkejut. Saking terluarnya, saya sempat kepikiran, jangan-jangan ini saya kalau jalan lurus sepuluh meter lagi tahu-tahu udah sampai ke Brunei Darussalam. Tanpa sadar udah keluar dari batas wilayah NKRI (hlm. 14).
Ini yang saya maksud cara bertutur yang luar biasa, artinya keluar dari kebiasaan. Usai menceritakan lokasi mengajarnya yang seperti di sekolah terdepan, terluar, terpencil, tiba-tiba muncul kata “terkejut.” Di luar dugaan, kan? Terus, kalau jalan lurus sepuluh meter dari tempatnya mengajar itu tanpa sadar sudah keluar dari batas wilayah Indonesia, saking terluarnya sampai ke luar negeri.
Buku ini juga mengungkap bahwa jadi guru kelas tiga SD harus sabar level atas. Kesabaran itu diuji ketika memberi perintah, “Nah, anak-anak sekarang kerjakan soal di buku paket halaman 167 soal nomor 1-10!”
Dengan lugunya anak-anak bertanya, “Pak, jawabannya ditulis?”
Kejadian di lain waktu Si Guru mengajar Bahasa Indonesia, pokok bahasan membuat puisi. Di buku paket terdapat perintah anak-anak disuruh membuat puisi dari gambar yang ada di buku. Dan gambarnya adalah pesawat. Di antara siswa itu ada yang menulis:
Pesawat… kau dikagumi seluruh dunia
Tidak ada satu pun kekuranganmu
Bagaikan cinta yang sudah menumpuk
Pesawat kau seperti keluargaku sendiri
Pesawat kau selalu menemaniku saat sedih
Oh pesawat, kau separuh hatiku
Sebagai guru yang baik, Si Guru tidak mau siswanya di-PHP sama pesawat. Soalnya siswa sudah menganggap pesawat sebagai separuh hatinya.
Tak hanya itu, buku ini juga berisi jurus jitu menghadapi tingkah siswa yang selalu energik. Lari ke sana, lari ke sini, suka mengadu sesuatu yang tidak penting yang apabila dibiarkan malah tidak akan ada pelajaran sampai siang, sebab tak habis-habis ceritanya. Sampai akhirnya Si Guru menemukan formula khusus mengatasi tingkah anak-anak yang demikian.
Sejatinya, buku ini adalah curahan hati seorang guru SD 04 Penggarit yang ditulis dengan kocak. Cara bertutur memakai bahasa lugas, renyah meski susah ditebak, tapi enak dibaca, baik sambil duduk, tiduran maupun guling-guling. Bagi saya, buku ini tak sekadar catatan harian seorang guru, tetapi buku ini juga dapat dijadikan teman sepi dan obat galau.***
* Fathorrozi, alumnus Pascasarjana UIN KHAS Jember, pengelola YPI Qarnul Islam Ledokombo Jember.