Cerpen Halima Masyaroh
Wanita itu tampak berbinar, menimang putra yang baru dilahirkannya beberapa jam yang lalu. Dia adalah Savanna, mantan kekasihku. Kini sedang berada di kamar bersalin di rumah sakit tempat aku bertugas sebagai dokter kandungan. Aku dan staf pembantuku yang membantu persalinan Savanna.
Sepuluh tahun lalu, di tahun 2011 tepatnya, aku terpaksa memutuskan hubungan yang aku kira akan melenggang ke pelaminan. Bukan karena tak cinta lagi, atau soal orang ketiga, tapi tentang beban moral dan hukum agama yang tak sanggup aku pikul.
***
- Iklan -
Waktu itu di musim liburan semester genap, aku mengisi masa libur dengan pulang ke kampung halaman, Pulau Buru. Aku mahasiswa fakultas kedokteran di universitas paling ternama di Provinsi Maluku, Universitas Pattimura di Kota Ambon.
Aku memilih pulang kampung dengan melewati jalur laut dari pada jalur udara yang waktu itu belum memiliki jadwal sekerap sekarang. Waktu itu perjalanan udara hanya seminggu sekali sedangkan perjalanan laut dengan Kapal Feri bisa ditempuh setiap hari. Selepas salat isya, aku dengan ransel berukuran sedang di punggung memasuki Pelabuhan Feri Galala, Ambon. Sengaja aku berangkat jam segitu agar tidak menanti terlalu lama.
Kapal Feri berlayar sekitar pukul 21:00 WIT dan akan tiba di Pelabuhan Namlea, ibu kota Kabupaten Buru sekitar pukul 05:00 atau pukul 06:00. Jadi para penumpang bermalam di sepanjang perjalanan.
Aku berdesak di antara pedagang asongan yang menjajakan dagangannya. Dari nasi bungkus, air mineral, rokok hingga buah-buahan mereka jajakan. Kebanyakan penjaja adalah kaum perempuan dan anak-anak. Ini lebih baik dari pada pengemis yang aku temui di Terminal Mardika, terminal paling padat dan riuh di Kota Ambon.
”Nasi ikan, Kakak!” Seru anak-anak berebut pembeli.
“Lemon, Kakak! Tiga buah lima ribu,” jaja anak-anak asongan.
Riuh sekali kegiatan di pelabuhan sebelum feri berlayar. Aku sengaja tidak membeli makanan di kapal karena aku tipe orang yang tidak bisa makan di dalam kapal. Mual dan pening akan menyatu jika aku makan malam di kapal feri yang penuh dan riuh.
Sekitar pukul 21:00 WIT, Kapal Feri berlayar. Angin mengibas penutup jendela kapal dengan lembut. Aroma keringat dan sumpek begitu terasa di atas kasur yang berjejer, inilah nikmatnya pulang kampung bagi mahasiswa sepertiku.
Para penumpang sudah banyak yang tertidur pulas, sebagian kecil ada yang masih ngobrol dengan sesama penumpang. Aku membuka ransel yang kuletakan di bantalan tempat tidur. Kukeluarkan sehelai hijab berwarna merah muda yang masih dibungkus plastik bening. Merah muda adalah warna kesukaan Savanna, kekasihku sejak SMA. Walau kini Savanna belum mengenakan hijab untuk kesehariannya, aku sangat berharap kelak Savanna akan istikamah menutup auratnya. Semoga Savanna suka hijab merah muda ini, batinku berbunga-bunga. Begitulah perasaanku setiap mengingat akan bertemu Savanna yang hanya setahun dua kali setiap liburan semester.
“Selamat pagi kepada para penumpang kapal motor feri yang terhormat. Sepuluh menit lagi kita akan berlabuh di Pelabuhan feri Namlea, periksa kembali barang bawaan Anda sebelum menuruni kapal motor ini, terima kasih atas kepercayaan Anda untuk berlayar bersama kami dan sampai jumpa pada pelayaran berikutnya.” Suara dari ruang informasi menunjukkan kapal yang aku tumpangi akan segara tiba di kota kelahiranku tercinta, Namlea, Pulau Buru.
Aku memastikan tak ada barang bawaanku yang tertinggal di kasur kapal. Bergegas ke dek paling bawah untuk menemukan pintu keluar kapal. Aku tidak sabar lagi menghirup udara pulau dengan julukan bumi kayu putih ini.
Kapal sudah sandar di Pelabuhan Namlea, para sopir angkot dan tukang ojek berjejal masuk kapal untuk menawarkan jasa angkutan kepada para penumpang. Beberapa angkutan umum sudah berjejer di parkiran pelabuhan. Mereka dari berbagai penjuru Pulau Buru. Kalau penumpang yang hanya hendak ke Kota Namlea, mereka hanya menggunakan jasa ojek saja. Sedang yang lebih jauh lagi, menggunakan jasa mikrolet/angkot.
Kuhirup udara pagi Pulau Buru dalam-dalam agar dadaku dapat merasakan juga, agar dadaku mengerti bahwa rindunya akan segera terobati. Rindu keluarga dan Savanna tentunya.
Pelabuhan Namlea lebih riuh dari biasanya, kerumunan manusia bejibun. Katanya, pulau yang dulunya sebagai lumbung padi, kini juga menjadi lumbung emas. Telah ditemukan tambang emas di Gunung Botak, Desa Dava, Kecamatan Waelata, Kabupaten Buru. Para penambang bukan hanya dari pulau ini, tapi juga datang dari luar Provinsi Maluku.
Masuk ke dalam angkot berwarna merah dengan plang bertuliskan “Unit” di bagian atasnya. Unit adalah wilayah di mana pada tahun 1979 menjadi tempat pengiriman transmigrasi dari Pulau Jawa. Jadi jangan heran jika dalam angkot unit kita dapati percakapan dalam Bahasa Jawa. Atmosfernya tidak beda jauh dengan kita naik angkot di daerah Jawa sana. Al kisah kakek dan nenekku yang dulu menjadi transmigran dari Jawa. Sedang bapak dan ibuku masih kanak-kanak dan remaja kala itu.
Sepanjang perjalanan dapat kuhirup samar-samar aroma dedaunan kayu putih yang tumbuh di gunung. Gundukan gunung mengapit jalan raya Namlea-Unit. Minyak kayu putih dengan kualitas terbaik diproduksi di pulau ini. Minyak kayu putih asli adalah oleh-oleh andalan bagi kami.
“Minggir!” seruku untuk menghentikan angkot yang kutumpangi.
Begitulah cara kami di sini untuk menghentikan laju angkot, mungkin sama dengan di daerah-daerah lain. Di Desa Waekerta unit XVI, aku disambut dengan gapura jalan utama desa berwarna perpaduan hijau dan cokelat muda. Di sinilah aku dibesarkan, pada desa ini pula aku selalu merindu.
”Wei Satriyo, orang Ambon!” teriak Saleh sahabatku sedari SD hingga SMA selalu satu kelas yang sama.
”Hey, apa kabar?” sapaku dengan pelukan persahabatan.
“Calon dokter makin ganteng kamu,” puji kawanku itu yang dulu kami dekil bersama.
“Orang kaya bagaimana kuliahnya?” Saleh memang anak orang paling kaya yang orang tuanya memiliki konter ponsel.
“Kuliahku mandek dulu, Yo. Aku ikut nambang dulu. Lumayan, cari modal nikah,” canda Saleh.
“Sepeda motormu baru, Leh?” Kuamati motor yang terparkir di halaman rumah Saleh.
“Salah satu hasil nambang, Yo,” jawab Saleh sambil nyengir.
“Wah! keren banget kamu, makin tajir melintir. Itu mobil juga sudah nambah di garasi.” Kutunjuk garasi mobil Saleh yang dulu cuma ada satu pikap, sekarang sudah ada dua mobil.
”Aku cuma manfaatin kesempatan, mumpung tambang lagi ramai. Dagang juga lancar saat ini, Yo. Semua serba mahal, bisa untung besar. Banyak pendatang, butuh banyak bahan makan. Kos-kosan dan penginapan juga bisnis yang menjanjikan,” Saleh menjelaskan.
Ternyata Pulau Buru berubah pesat dengan adanya tambang emas di Gunung Botak itu. Aku melanjutkan perjalanan menuju rumahku di RT 09.
“Assalamualaikum,” sapaku setiba di depan pintu rumahku.
Pintunya terbuka namun tak ada sahutan dari dalam rumah. Kudengar suara gumam ibu dan bapakku dari dalam. Tanpa aba-aba aku lekas masuk rumah untuk memastikan keadaan.
“Pak, Bu,” sapaku.
“Satriyo?” mata ibu menatapku sembab.
”Ada apa ini? Mengapa Ibu menangis?” aku kebingungan.
”Kita baru kemalingan, Yo,” kata bapakku berwajah lusuh pagi itu.
“Tabungan kita raib, padahal itu untuk biaya kuliahmu,” isak ibuku.
“Kemalingan? Sejak kapan kampung kita enggak aman begini?” aku keheranan.
“Sejak ada tambang emas, banyak pendatang. Enggak semua berhasil meraup emas, ada yang terpaksa menipu, mencuri, merampok demi memenuhi nafsu duniawi. Mereka enggak mungkin mau pulang ke kampung halaman dengan tangan kosong,” papar bapakku.
Ternyata kemilau emas itu bukan cuma membawa kemakmuran tapi sekaligus kehancuran. Ibu juga lanjut bercerita bahwa tidak sedikit rumah tangga yang rusak, istri dibawa kabur orang tambang bukan hal yang aneh lagi. Istri berselingkuh dengan pria pendatang itu juga tampak lumrah. Wanita-wanita cantik yang sengaja datang dari luar Pulau Buru untuk menjajakan diri juga mulai beroperasi. Pria-pria tambang kesepian adalah target mereka. Tempat mangkalnya pun sudah tak tabu lagi. Dulu di desa-desa tak ada semacam ini, sekarang tampak mengundang laknat Allah. Seram sekali cerita ibuku tentang Buru dewasa ini.
Perkara kehilangan, kuminta bapak dan ibuku bersabar, rezeki akan datang kembali. Modal untuk toko kami masih ada, masih bisa diputar dan mulai dagang kembali. Aku juga menyarankan agar bapak dan ibuku tidak menyimpan uang di rumah, bank lebih aman.
Sekarang saatnya berpikir tentang Savanna Reska, wanita yang aku beri komitmen akan kunikahi. Bahkan komitmen itu sedari duduk di bangku SMA, seserius itu aku mencintainya. Sore ini juga aku hendak berkunjung ke rumah Savanna, sekitar 10 kilo meter dari desaku ke arah selatan.
Dengan menggunakan sepeda motor aku bergegas ke rumah pujaanku. Tidak lupa aku membawa hijab warna merah muda sebagai oleh-oleh. Sengaja aku tidak beri kabar agar menjadi kejutan baginya yang berkali-kali bertanya kapan aku pulang, pasti akan sangat bahagia melihatku ada di hadapannya. Sesungguhnya Savanna tidak menginginkan aku kuliah keluar Pulau Buru agar tetap bisa bersamanya. Namun aku harus menggapai cita, kuberi dia pengertian bahwa cita-citaku juga demi cinta padanya. Savanna tidak melanjutkan ke perguruan tinggi seusai SMA, faktor biaya katanya. Bapak ibunya sudah lama berpisah, dan entah di mana bapaknya kini, hanya ibu yang menjadi sandarannya.
Sepanjang aku mengendarai motor, kucari-cari petani yang biasa berseliweran pulang dari sawah dan ladang sore begini. Ternyata para petani sementara beralih profesi menjadi pekerja tambang. Jarang yang masih bertahan untuk bertani, pantas bahan makanan mahal, beberapa bahan pangan memang didatangkan dari luar Pulau Buru. Hasil bumi Pulau Buru sendiri tidak mencukupi kebutuhan penduduk setempat dan para pendatang.
Di sepanjang Jalan Flamboyan dan Mako, Desa Waenetat, terdapat banyak penginapan baru. Sebelumnya hanya ada satu penginapan yaitu di jalan tikungan masuk Mako dekat Masjid Jami Assalamah. Adanya penginapan-penginapan baru menunjukkan betapa banyak manusia membutuhkan tempat tinggal, pikiran positifku berkata demikian. Kos-kosan juga banyak, hampir di setiap desa ada. Padahal sebelumnya hanya desa yang ada sekolah SMP dan SMA saja, terdapat kos-kosan untuk anak sekolah yang rumahnya jauh.
Bangunan-bangunan rumah baru dan bertingkat juga lumayan banyak, orang makmur dari hasil tambang. Rumah-rumah makan sangat ramai pengunjung, penjual makanan rupanya untung lumayan kalau pengunjungnya ramai begini terus.
Tibalah aku di pekarangan rumah Savanna. Pekarangannya cukup luas, dulu pekarangan ini ada lahan kosongnya sebelah kiri rumah. Namun kali ini aku lihat ada dua buah sepeda motor keluaran terbaru. Mungkin kios sembako Savanna dan ibunya laris keras selama musim tambang emas.
“Assalamualaikum!” kukencangkan suaraku agar menjadi kejutan untuk Savanna.
Tidak ada sahutan dari dalam rumah, padahal pintu rumahnya terbuka yang artinya rumah ini tidak kosong. Aku celingak-celinguk memastikan penghuninya ada di rumah.
“Wa’alaikum salam,” suara Savanna sekitar tiga menit kemudian.
“Mas Satriyo?” wajah datar Savanna saat menyebut namaku.
Tak terlihat ekspresi bahagia dari raut terkejutnya, Savanna justru tampak gugup. Kupandangi dari ujung rambut hingga ujung kuku kakinya, tampak minim pakaian yang dikenakan Savanna. Walau tidak berhijab, setidaknya dia memakai kaos oblong dan rok sebawah lutut. Kali ini Savanna hanya mengenakan kemban yang menutup dada hingga paha saja.
“Silakan duduk, Mas.” Setelah sekitar satu menit kami terdiam.
“Apa kabar, Van?” aku memulai percakapan.
“Maafin aku, Mas,” jawaban tidak nyambung dengan pertanyaanku dan dia tertunduk.
”Ada apa, Van?” Aku melipat dahi.
Bibir Savanna bergetar seperti ada jutaan kata hendak meledak dari bibir tipis dan manis itu. Aku menanti sepersekian detik hingga seorang pria keluar dari kamar Savanna.
“Oh ada tamu lagi, Van?” tanya pria itu.
“Masuklah, bukan urusanmu!” perintah Savanna.
“Jangan lama-lama, Van. Ini waktu denganku.” Pria bertubuh kekar itu masuk lagi ke dalam kamar.
“Ada apa ini Van? Dia siapa?” Aku mengepalkan jemariku kesal.
“Aku terpaksa mengikuti jejak ibu, Mas.” Ada cairan bening di sudut mata Savanna yang masih juga tertunduk.
Terasa ada balok kayu menampar pipiku, aku tak lagi butuh penjelasan. Aku benar-benar paham apa yang terjadi. Ibu Savanna telah lama terjerumus dalam dunia malam. Aku tahu itu dan bertekad mengeluarkan Savanna dari dunia sampah itu. Ternyata justru sekarang dia turut berkubang dalam kotornya comberan cinta bayaran.
“Tuntutan hidup semakin berat setelah sebagian besar orang sukses dari tambang emas. Kemewahan di mana-mana, aku juga mau seperti mereka, Mas.” Savanna masih tertunduk.
“Aku begini juga untuk kamu, Van, untuk masa depan kita. Kemewahan dan kemewahan terus yang ada dalam otakmu. Iman setitik saja, Van. Ya Allah!” Aku menjambak rambutku sendiri.
“Maaf, Mas.”
“Mengapa kamu buktikan bahwa buah jatuh tak jauh dari pohonnya? Aku sangat mencintaimu, berharap kamu lekas menyadari kesalahanmu, Van.”
“Mengapa Mas Satriyo menginginkan aku lekas sadari kesalahan? Kalau aku meninggalkan semua ini, apakah Mas Satriyo akan menerimaku kembali? Tidak, kan, Mas?” Savanna menatap mataku dalam-dalam kali ini.
“Kamu hidup bukan untukku, untuk Allah yang mengganjarmu surga atau neraka. Berbaiklah untuk keselamatanmu bukan untuk kembali padaku. Aku manusia biasa, yang pasti enggak bisa nerima kamu dengan kekotoran ini. Aku enggak mampu puaskan nafsu hartawimu. Maaf.”
Kami masih duduk berhadapan, hening sekitar dua atau tiga menit. Ubun-ubunku terasa mendidih, dadaku disesaki amarah namun tak kutemukan cara dalam otakku untuk membersihkan lahir dan batin Savanna. Lebih baik aku mundur.
“Ini aku bawakan hijab, warna kesukaanmu. Kenakan kalau sewaktu-waktu hatimu terpanggil oleh Allah.” Kuletakan hijab merah muda di atas meja dan meninggalkan rumah Savanna tanpa aba-aba pamit.
Setelah hari itu, aku kembali ke Kota Ambon walau liburanku belum usai. Aku tak mampu bertahan lebih lama di tempat yang penuh kenangan bersama Savanna. Bahkan aku tak pernah pulang untuk liburan-liburan selanjutnya. Lulus kuliah aku lanjut S2 di Pulau Jawa, setelah lulus barulah aku kembali untuk mengabdi sebagai dokter di rumah sakit.
***
Bayi itu kini ditimang oleh anggota keluarganya, Savanna yang baru saja melahirkan disuapi bubur hangat oleh suami demi memulihkan kesehatannya. Pantas jodoh wanita yang kini berhijab merah muda itu bukan aku, dia suami yang kaya raya, jodoh terbaik untuk Savanna.
Dialah Saleh, sahabatku pemilik banyak toko handphone dan juragan kos-kosan. Saleh terbaik yang menerima Savanna apa adanya, atau malah dia tak tahu masa lalu Savanna seperti apa. ***
*HALIMA MASYAROH, penulis dari Pulau Buru, Maluku. Guru Bahasa Inggris yang menerbitkan beberapa buku fiksi. Jejak menulisnya dapat diikuti pada akun Instagram @hamays_official