Oleh Sam Edy Yuswanto*
Judul Buku : The New Me, Life After Crisis
Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : Indiva
Cetakan : I, Agustus 2021
Tebal : 272 halaman
ISBN : 978-623-253-039-3
Sebagaimana dimaklumi bersama, negeri ini dilanda krisis sejak virus korona menyerang dan mengacaukan tatanan hidup manusia. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) guna memutus mata rantai penyebaran virus mematikan tersebut sontak mengharuskan orang-orang berkegiatan di rumah masing-masing. Masih mending bagi mereka yang tetap bekerja meski dilakukan dari rumah, yang menyedihkan dan perlu mendapat bantuan adalah mereka, orang-orang yang terpaksa kehilangan pekerjaan karena di-PHK, atau bisnis yang dijalani mengalami kebangkrutan efek pandemi.
Yang menjadi pertanyaan kemudian ialah; apakah krisis benar-benar membuat manusia kehilangan semua kesempatan hidupnya? Ataukah masih ada peluang lain di balik krisis yang terjadi? Dalam buku ini, penulis membeberkan beberapa hal menakjubkan yang masih bisa tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan yang diwarnai krisis akibat pandemi ini. Hal-hal tersebut yakni: mempunyai waktu lebih lapang, mengenali potensi bakat dan minat, mengasah skill baru, dan mengenal lebih dalam kepribadian diri sendiri.
- Iklan -
Menurut Sinta Yudisia, menemukan bakat minat di era krisis, salah satunya di era pandemi, akan membantu menyeimbangkan rasa dan pikiran yang lelah. Jenuh karena pembelajaran dan pekerjaan daring, dapat dinetralkan dengan melukis, menulis, atau menyanyi sesuai bakat minat masing-masing. Kelak, ketika situasi sudah kembali normal, kesempatan mengembangkan bakat minat selama terkurung di rumah akan menjadi hikmah tersendiri.
Selain menjadi peluang penambahan income, juga menjadi sarana menstabilkan emosi. Kita sudah memahami apa yang harus dilakukan bila menghadapi situasi gawat lainnya; bertengkar dengan istri atau suami, bertengkar dengan atasan atau bawahan, bertengkar dengan anak-anak yang mulai remaja.
Pengalihan pikiran dan perasaan yang meledak-ledak dapat disalurkan lewat aktivitas yang sesuai bakat minat. Daripada meledakkan kemarahan pada pasangan atau anak, lebih baik menuangkannya, misalnya, ke dalam lukisan, bukan? (hlm. 194).
Situasi krisis mau tak mau harus dijalani. Mengumpat dan mencaci pun tak ada guna. Menyalahkan siapa? Pemerintah, situasi, atau Tuhan? Apa pun yang terjadi kita harus menerima dan menjalani.
Memang sederhana diucapkan, tapi berat dilakukan. Salah satu kesiapan untuk mampu menghadapi situasi krisis lebih baik ke depannya adalah mengasah keterampilan baru.
Kesempatan lebih terbuka ketika era krisis. Ada waktu, ada tenaga, ada pikiran yang bisa difokuskan. Mengapa tidak mencoba, misalnya, salah satu resep unggulan dan diuji coba hingga menjadi menu paten yang pantas dipasarkan? Orang menyangka, situasi krisis membuat semua peluang macet. Ternyata tidak, Allah Mahabesar dan Maha Mengatur. Bahan makanan cepat saji tetap laris: sambal kemasan, frozen food, serundeng kering, bahkan bawang merah, bawang putih goreng dalam kemasan pun diminati (hlm. 201).
Intinya, di tengah krisis akibat pandemi ini, kita harus berusaha menumbuhsuburkan pikiran positif. Kita harus yakin dan percaya bahwa masih banyak peluang yang bisa dijadikan sebagai lahan rezeki kita.
Percayalah, Tuhan itu Maha Kuasa dan akan memberikan jalan rezeki yang luas bagi para hamba-Nya yang tak pantang menyerah mencari peluang. Bagi yang memiliki hobi menulis misalnya, cobalah untuk mengasahnya agar menjadi sebuah keterampilan yang menghasilkan pundi-pundi rupiah. Cari dan bergabunglah dengan orang-orang yang memiliki kegemaran atau hobi yang sama. Bila kita senang menulis, carilah sebanyak mungkin teman-teman penulis yang telah memiliki jam terbang tinggi di dunia kepenulisan. Timbalah ilmu menulis dari mereka, lalu praktikkan.
Sinta Yudisia dalam buku ini memaparkan, momen krisis dapat digunakan untuk melatih keterampilan menulis. Selain menjadi salah satu pilihan terapi bagi diri sendiri, keterampilan menulis dapat membangun self image yang lebih baik. Negarawan yang menulis, politikus yang menulis, dokter yang menulis, guru yang menulis, pegawai negeri yang menulis, pedagang yang menulis, pelajar yang menulis, bahkan ibu rumah tangga juga bisa menyambi menulis. Tulisan-tulisan itu bukan hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tapi juga bagi orang lain. Keterampilan ini pun bisa menjadi jalan bagi terbukanya pintu-pintu rezeki.
Kesimpulannya, jangan sampai krisis yang terjadi saat ini dijadikan sebagai alasan bagi kita untuk malas bergerak, berdiam diri, menyerah bahkan menyalahkan keadaan. Justru dengan adanya krisis bisa menjadikan kita lebih gigih dalam berusaha dan bertahan hidup. Bahkan bisa menjadi titik balik bagi kita untuk lebih produktif dengan cara mengembangkan segala potensi yang selama ini masih terpendam dan bisa jadi tak pernah kita sadari.
***
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.