Judul: Pandangan Mufasir Klasik dan Modern Terkait Poligami
Penulis: Lilik Nur Hidayah
ISBN: 978-623-6455-05-0
Cetakan: I, Agustus 2021
- Iklan -
Tebal: 15,5 x 23 cm, vii + 238 Halaman
Diterbitkan: CV. Pilar Nusantara
Peresensi: Hamidulloh Ibda
Membaca buku ini membuka cakrawala kita tentang poligami. Minimal, kita bisa berselancara mendalami pandangan atau pendapat para mufasir klasik dan modern terkait poligami. Di halaman vi misalnya, penulis mengawalinya dengan menegaskan bahwa buku berjudul Pandangan Mufasir Klasik dan Modern Terkait Poligami ini merupakan hasil penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan mufasir klasik dan modern terkait poligami.
Penelitian di dalam buku ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif studi pustaka dengan metode muqârin (perbandingan). Sebagai rujukan utamanya adalah kitab-kitab tafsir dengan berbagai macam coraknya, klasik maupun modern. Kemudian di dukung dengan buku-buku lainnya yang berhubungan dengan fokus pembahasan (hlm. vi).
Dalam buku ini, dijelaskan bahwa mufasir klasik membuka lebar pintu poligami, dengan batasan maksimal istri empat. Ada yang membolehkan poligami dengan batas maksimal sembilan istri sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad Saw. dengan mengartikan huruf wawu sebagai penjumlahan. Bahkan ada yang membolehkan hingga batas delapan belas dengan megartikan matsnâ (dua-dua), tsulasâ (tiga-tiga) dan rubâ’ (empat-empat).
Semua dengan dalil bahwa hadis yang melarang Ghailan untuk menikah lebih dari empat istri merupakan hadis ahad yang diriwayatkan oleh Salim dari Ibnu Umar dan harus dilihat dalam satu konteksnya. Mungkin karena hubungan nasab, hubungan susuan, dan sebab syar`i lain, maka Nabi meminta Ghailan yang menikahi sepuluh perempuan itu untuk menceraikan hingga tersisa empat istri.
Penulis juga menegaskan, bahwa mufasir modern lebih mempersempit pintu poligami, dengan dalil bahwa poligami dapat di toleransi ketika dalam kondisi darurat. Seperti; istri mandul sehingga tidak bisa melahirkan keturunan, istri mengidap penyakit permanen, dan sebagainya.
Bahkan ada yang dengan tegas menolak poligami dengan alasan toleransi ini diberikan bukan karena kondisi saat itu adalah darurat melainkan karena ketidak mungkinan al-Qur’an untuk menghapuskan praktik poligami secara sekaligus melainkan membatasi jumlah poligami dengan syarat yang sulit untuk dijalankan, Ulama’ yang berpendapat ini diantaranya adalah Qasim Amin, Husein Muhammad, dan Faqihuddin Abdul Kodir dengan studi qirâ’ah mubâdalah. Ketika pandangan mufasir klasik dan modern tersebut diukur dengan teori double movement, maka tidak ada yang salah mengenai pendapat para ulama’ tersebut karena disesuaikan dengan konteks zamanya masing-masing.
Komparasi dalam kedua pandangan mufasir klasik dan modern terkait poligami adalah ayat poligami ditujukan sebagai solusi terhadap anak-anak yatim, keadilan merupakan syarat mutlak dalam poligami, dan monogami adalah pernikahan yang ideal (hlm. v).
Penulis juga menyimpulkan bahwa mufasir klasik membuka lebar pintu poligami dengan batasan maksimal empat, seperti Ibnu Kasir, Ar-Razi serta mayoritas ulama’. Ada yang membatasi sampai sembilan dengan melihat huruf wawu sebagai penjumlahan(2+3+4) dan ada yang membatasi hingga delapan belas dengan mengartikan kata matsnâ (2+2), tsulâsa (3+3), dan rubâ’ (4+4), dengan dalih bahwa hadis tentang Ghailan yang diperintahkan Nabi untuk menceraikan istri-istrinya dan memilih hanya empat saja itu hanyalah hadis ahad yang diriwayatkan oleh Salim dari Ibnu Umar. Sehingga, tidak bisa dijadikan dalil pelaragan poligami lebih dari empat, selain itu hadis tersebut juga harus dilihat dalam konteksnya, mungkin karena hubungan nasab, hubungan susuan, dan sebab syar`i lain, sehingga Nabi meminta Ghailan yang baru masuk Islam yang menikahi sepuluh perempuan untuk menceraikan hingga tersisa empat istri. Ulama yang berpendapat demikian, di antaranya, adalah Zhahiriyah, Ibn al-Shabbâgh, al-`Umrânî, al-Qâsim ibn Ibrâhîm, dan sebagian kelompok Syiah.
Sementara mufasir modern mempersempit pintu poligami, dengan dalil bahwa poligami dapat di toleransi atau dilakukan ketika dalam kondisi darurat. seperti; istri mandul, istri mengidap penyakit permanen yang menyebabkan istri tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri. Ulama yang berpendapat demikian, di antaranya, M. Abduh, Rasyid Ridha, Al-Maraghi dan Qurais Shihab. Bahkan ada yang dengan tegas menolak praktik poligami dengan alasan toleransi ini diberikan bukan karena kondisi saat itu adalah darurat melainkan karena ketidak mungkinan al-Qur’an untuk menghapuskan praktik poligami secara sekaligus. Poligami telah menjadi tradisi di berbagai belahan dunia (hlm. 222).
Di akhir buku ini, penulis memberikan saran yaitu hendaknya pihak pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Agama atau MUI lebih menggalakkan dalam hal penyuluhan tentang masalah Poligami berdasarkan pandangan para ulama’ klasik dan modern kepada setiap calon pengantin agar tidak terjadi pro kontra yang reaktif di masyarakat kita, sehingga timbul kesan disebagaian masyarakat kita bahwa perzinaan yang jelas haram dimaklumkan, dan poligami yang halal dibuat bahan cacian dan makian (hlm. 223).
Dapat dipaparkan, buku ini memiliki keunggulan membuka pikiran untuk memilih dari pandangan mufasir klasik maupun modern tentang poligami. Artinya, dua sisi diulas dan dikaji dalam bentuk yang diterbitkan Pilar Nusantara ini. Kita tentu dapat memilih, mau menggunakan tafsir perspektif klasik atau modern terkait poligami. Namun, meski klasik atau modern, tafsir bagi peresensi tetaplah tafsir, akan blunder ketika kita menafsirkan tafsir.
-Peresensi adalah dosen Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung.