Oleh: Saiful Bari
Generasi muda yang lahir di tahun 1995 – 2000 disebut generasi Y. Sedang, yang lahir di atas tahun 2000 disebut generasi Z. Kehadiran dua generasi ini pada akhirnya disebut generasi milenial. Akan tetapi, pembagian generasi tersebut tidak serta hanya berdasarkan pada waktu lahir, tetapi juga memperhatikan sosio-sejarah pembentuknya.
- Iklan -
Sehingga, menurut Hatim Ghazali dalam Mengenalkan Islam untuk Gen-Z (2019), salah satu ciri yang sangat kuat dari generasi milenial adalah akses dan ketergantungan terhadap teknologi dan gadget misalnya. Mereka, kata Hatim, bukan generasi yang secara tekun membaca suatu narasi melalui buku-buku cetak. Sebaliknya, mereka lebih gemar (enjoy) terhadap informasi yang bertebaran di dunia internet, terutama yang berbentuk visual dan gambar.
Dengan fasilitas internet dan sosial media, tak menutup kemungkinan, mereka cenderung tidak menganggap otoritas agama (kyai atau guru agama) sebagai bagian penting dari kehidupan sehari-hari mereka.
Beragama secara Googling
Perkembangan teknologi dan terutama di sepanjang era pandemi, membuat tempat belajar berganti. Jika dulu belajar agama kepada kiai di pesantren. Sekarang, milenial belajar agama secara googling — kepada “Kiai Google”.
Fenomena tersebut, di satu sisi membanggakan namun pada sisi yang lain mengkhawatirkan. Dikatakan membanggakan, karena semangat belajar keagamaan mereka sangat tinggi dan pesat, namun sungguh ironi jika mereka harus belajar agama tidak mendapatkan guru yang tepat, inilah bentuk kekhawatirannya.
Kecenderungan milenial dalam mengakses internet ini ternyata telah dikaji oleh beberapa lembaga survei. Misal, Wahid Foundation tahun 2016 mencatat kalangan aktivis Rohani Islam (Rohis) menyebutkan bahwa 86% aktivis Rohis SMA ingin berjihad ke Suriah. Mereka banyak terpapar informasi yang penuh kebencian dan cenderung mendukung tindakan dan gerakan radikal melalui internet.
Sedang, survei Pusat Studi Islam dan Transformasi Sosial (CIS Form) UIN Sunan Kalijaga (yang diolah Hatim Ghazali (2019)), mengungkap generasi muda lebih nyaman mencari pembelajaran keagamaan melalui media online di luar kelas. Alhasil, sebagian dari mereka lebih mengidolakan dan mempercayai apa yang disampaikan ustaz di media sosial daripada gurunya di kelas.
Sementara, survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah (2017) menunjukkan, internet berpengaruh besar terhadap meningkatnya intoleransi pada generasi milenial. Dalam catatannya, siswa dan mahasiswa yang tidak memiliki akses internet lebih memiliki sikap moderat dibandingkan mereka yang memiliki akses internet. Padahal, mereka yang memiliki internet sangat besar, yaitu sebanyak 84,94% sisanya 15,06% siswa/mahasiswa tidak memiliki internet.
Data tersebut menunjukkan bahwa, pada tahun 2017 kemarin generasi milenial lebih cenderung mengandalkan internet dalam melakukan interaksi sosialnya sebagai sumber belajar agama. Tercatat, ada sebanyak 54,37% siswa dan mahasiswa belajar pengetahuan tentang agama dari internet, baik itu media sosial, blog, maupun website. Angka ini tentu akan terus meningkat di sepanjang era digitalisasi.
Melihat fenomena tersebut tentu amat mengkhawatirkan. Karena, generasi milenial adalah cerminan masa depan bangsa ini. Jika ditanya, “bagaimana Indonesia tahun 2045?”, maka jawabnya adalah tergantung generasi sekarang.
Mengisi Ruang Belajar Milenial
Perlu diketahui, beda generasi maka beda pula cara yang mesti kita upayakan. Dalam konteks memperkokoh milenial agar tidak terdampak radikalisme maka, upaya yang mesti ditempuh adalah mengisi ruang-ruang belajar agama mereka dengan nilai-nilai moderat dan wawasan kebangsaan.
Adalah tugas kita bersama dan Pemerintah khususnya melindungi generasi milenial dari paham radikal ekstrimis. Namun, sejatinya yang paling tahu apa dan bagaimana cara mengatasi problematika pada generasi ini itu adalah mereka sendiri. Dengan kata lain, yang mampu menangkal virus radikalisme di era sekarang adalah para angkatan milenial ini.
Atas dasar ini, maka guna mengisi ruang-ruang belajar mereka dan pada gilirannya memperkokoh peran milenial dalam menangkal virus radikalisme pertama, dengan memulai membiasakan menulis konten-konten positif dengan iringan sifat etis yang menyertainya yaitu khusnudzan dan terbuka. Kedua, pemilihan materi yang disampaikan agar memiliki pesan kuat yang mempromosikan toleransi dan menolak tindakan ekstrim. Ketiga, menyajikan fakta-fakta atau argumentasi yang membantah pesan-pesan negatif kelompok ekstrim atau intoleran. Terakhir, menggunakan narasi reflektif seperti kisah harmoni pertemanan dengan ragam latar belakang perbedaan.
Dengan demikian, mengisi ruang-ruang milenial dengan wawasan kebangsaan dan Islam yang moderat pada gilirannya dapat memperkokoh milenial dalam menangkal radikalisme di negeri ini. Wallahu’alam.
– Saiful Bari lahir di Banyuwangi, 23 November 1996. Saat ini ia tercatat sebagai alumnus Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Juga, pernah nyantri di ponpes Al-falah Silo, Jember. Kini, aktif sebagai Redaktur Silapedia.