Oleh: Saiful Bari
Judul : Pendanaan Terorisme di Indonesia
Penulis : Prihandoko, dkk.
Tahun Terbit : 2021
Penerbit : Pustaka Harakatuna
Tebal : 540 halaman
ISBN : 978-623-93356-8-7
Belakangan ini pendanaan terorisme menjadi isu yang menarik untuk dikaji dan diurai sekaligus. Hal ini berbanding lurus dengan tertangkapnya Ketua LSM Kemanusiaan Syam Organizer Jawa Barat Firmansyah oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri yang disinyalir adalah teroris. Peristiwa ini adalah bukti nyata bahwa penggalangan dana melalui lembaga atau korporasi masih sangat menjanjikan untuk pendanaan terorisme (detik.com, 16/8/2021).
UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah memberikan pengertian komprehensif tentang pendanaan terorisme ini. Pasal 1 menyebutkan, pendanaan terorisme merupakan segala perbuatan dalam rangka menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjam dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk melakukan kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris.
- Iklan -
Membaca buku ini akan mengerti apa dan bagaimana pendanaan terorisme itu. Uniknya, sekalipun buku ini merupakan hasil penelitian civitas akademika Universitas Indonesia mulai dari mahasiswa, alumni, dan dosen Program Studi Kajian Terorisme Universitas Indonesia (SKSG UI), tapi semua kalangan dapat menyerap isi buku. Hal ini karena bahasa yang digunakan disajikan dengan sederhana dan disertai tabel.
Secara umum, buku ini menyuguhi dua metode pendanaan yang kerap dilakukan oleh kelompok teroris. Pertama, pendanaan konvensional melalui fai, usaha kecil menengah, pengumpulan donasi mandiri internal, hingga donasi berbalut isu kemanusiaan. Kedua, metode modern melalui pemanfaatan teknologi seperti kartu tunai mandiri (ATM), kartu kredit, internet banking, mobile banking, dan virtual account (hlm 21).
Dua metode pendanaan terorisme ini diurai lebih spesifik lagi ke dalam tiga bab. Bab pertama membahas tentang Mujahidin Indonesia Timur (MIT), kelompok teroris yang berbasis di Poso, Sulawesi Tengah. Eksisnya MIT ini tak lepas dari dukungan pendanaan yang terus mengalir kepada mereka. Ada empat sumber dana MIT, yakni sumbangan pribadi anggota, fai berupa peretasan situs investasi online speedline, fai berupa pencurian sepeda motor, dan sumbangan atau donasi dari simpatisan atau jaringan kelompok (hlm 150).
Pada poin terakhir, sokongan dana MIT yang berasal dari simpatisan ini banyak tersebar di luar Poso, misalnya simpatisan asal Wonogiri, Jawa Tengah (hlm 129); Sulawesi Selatan (hlm 130); Bima, NTB (hlm 132). Mirisnya, setelah ditelusuri, penulis memperoleh kesimpulan bahwa, tujuan simpatisan membantu kelompok teroris adalah untuk mendirikan negara Islam dan menerapkan syariat Islam sekaligus di Indonesia (hlm 138).
Bab kedua dari buku ini membahas pendanaan terorisme berasal dari korporasi atau lembaga. Penulis menyebutnya dengan istilah “Korporasi Selubung” yang di antaranya Komite Penanggulangan Krisis (KOMPAK) dan ADC. Disebutkan, KOMPAK sebagai korporasi selubung dari Jemaah Islamiyah (JI) yang erat kaitannya dengan Ikhwanul Muslimin (IM). Terutama ketika konflik antar agama meletus di Maluku dan Poso antara tahun 1998-2000 di mana JI dan KOMPAK melihat umat Nasrani di wilayah konflik sebagai kafir harbi (hlm 213). Bantuan dari KOMPAK kepada JI berbentuk moda transportasi para mujahidin untuk pulang pergi dari Ambon ke Makassar dan menuju Jawa atau pun sebaliknya (hlm 214).
Sedangkan ADC dianggap sebagai korporasi selubung dari Jamaah Anshorut Daulah (JAD) yang erat hubungannya dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). ADC yang pendiriannya dilakukan pada tahun 2015 ini bertujuan untuk menggalang dana dan menyalurkan dana-dana infak, sedekah, zakat serta penyaluran hewan kurban (hlm 231).
Bab terakhir mengulas tentang pendanaan terorisme yang berasal dari narcoterorism atau terorisme narkoba. Istilah ini pertama kali muncul di Benua Amerika pada tahun 1983 (hlm 400). Masuk ke Indonesia pada era reformasi atau tepatnya ketika tertangkapnya pelaku terorisme narkoba oleh Densus 88 pada tahun 2010 dan tahun 2016 (hlm 404-405).
Ironisnya, pelaku terorisme narkoba ini mengenal dunia narcoterorism ketika berada di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas 1 Tanjung Gusta Medan Sumatera Utara. Alhasil, pelaku bergerak bebas membangun relasi dengan narapidana lainnya terutama berdagang narkoba (hlm 486). Dengan kata lain, narcoterorism tumbuh subur di Lapas. Oleh karenanya, perlu ada pemisahan antara narapidana terorisme narkoba dengan narapidana lainnya (hlm 532).
Kendati kasus pendanaan terorisme di Indonesia berhasil diungkap — mulai rentang waktu tahun 1998 hingga sekarang — tak jarang masyarakat Indonesia masih terkecoh dengan modus para teroris.
Melalui buku ini, kita sadar bahwa penggalangan dana yang berbalut isu kemanusiaan yang dilakukan oleh badan amal (front organization) adalah kendaraan para teroris untuk melakukan penipuan terhadap para pendonor agar mengumpulkan dan kemudian menyamarkan dana tersebut untuk tujuan aksi teroris (hlm 216).
Maka dari itu, dalam rangka mencegah modus-modus penggalangan dana kemanusiaan yang dilakukan oleh kelompok teroris itu dibutuhkan koordinasi dan sinergi antara masyarakat dan lembaga pemerintah: Datasemen Khusus 88 Anti Teror, BIN, BNPT, PPATK, dan OJK (hlm 372).
Bagi para pemerhati radikalisme-terorisme di Indonesia, buku ini sangat layak untuk dijadikan referensi, terutama untuk mengetahui modus-modus penggalangan dana kemanusiaan yang belakangan ini erat kaitannya dengan pendanaan terorisme.
Hal ini juga ditandaskan oleh Brigjen. Pol. Ahmad Nur Wahid dalam Kata Pengantar yang menjelaskan, karya Prihandoko, dkk ini merupakan kontribusi penting untuk memahami permasalahan pendanaan terorisme di Indonesia.
*Saiful Bari, Pengurus GP Ansor Ranting Tulungrejo (Banyuwangi) dan pemerhati Radikalisme-Terorisme di Indonesia.