Oleh: Joko Priyono*
Seseorang membuat akun di berbagai wahana media sosial—Facebook, Twitter, Instagram, hingga TikTok. Lambat laun ia menyajikan konten terkait beberapa tema maupun topik. Ia kemudian dengan percaya diri mendaku sebagai Influencer, tidak lain adalah orang dengan memiliki kekuatan pengaruh terhadap publik. Secara rutin, setidaknya setiap satu hari sekali, ia rutin mengunggah konten, topik apa saja—mulai dari yang sedang ramai di publik hingga hal yang sebenarnya sudah basi dan usang. Ia menjalankan aktivitas tersebut dengan rasa emosi, sebab motif dan tujuan mendasarnya tak lain adalah kepopuleran maupun ketenaran secara pribadi.
Dalam aktivitasnya di media sosial tersebut, sebenarnya orang tersebut sering keliru. Banyak pengguna media sosial lain sudah mengingatkannya. Akan tetapi tak ditampik. Ia kekeh akan apa yang telah dikerjakannya. Kebiasaan tersebut menjadikan dirinya tak mau menerima kritik, saran, dan masukan. Pada akhirnya, berbagai efek muncul dalam perkembangan informasi dan pengetahuan di dalam media sosial. Coba kita bayangkan, kalau saja yang memiliki watak tersebut tidak hanya satu orang itu. Mungkin dalam angka ratusan. Rasanya, akan tumpang-tindih kerusakan nalar publik gegara kebiasaan warganet dalam lanskap dunia maya.
Dua paragraf tersebut upaya penulis untuk mengilustrasikan perkara mendasar yang hadir dalam media sosial sejauh ini. Saat harapan besar kehadiran internet sebagai upaya untuk mempermudah dalam akses informasi dan pengetahuan, justru yang terjadi adalah perusakan nalar publik. Simpang-siur informasi kerap terjadi. Maraknya misinformasi dan kabar bohong. Membuat orang yang ingin menghindari kesesatan logika banyak cemasnya. Pilihannya ada dua, tetap menghadapi dengan kepaswadaan dan kedua sama sekali tidak melibatkan diri pada perkara media sosial.
- Iklan -
Alih-alih yang diharapkan media sosial terus menumbuhkan budaya bernalar, justru yang kerap terjadi adalah lahirnya banyak hal yang tidak masuk akal. Di setiap sudutnya juga memberian risiko terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan narasi yang mengutamakan kepentingan viral dan populer, terhadap perkara ilmu, media sosial secara tidak langsung menghapus kepercayaan terhadap otoritas keilmuan. Sederhananya begini, kelompok ilmuwan maupun cendekiawan di hadapan media sosial, bisa jadi argumennya akan kalah ketimbang kelompok tertentu yang mendaku sebagai Influencer.
Situasi tersebut tak lain adalah munculnya pola baru tentang budaya narsisisme. Jejaring internet dan mesin peramban internet menjadikan orang mudah terjebak dalam kecongkakan intelektual. Iwan Pranoto (2019) menuliskan—jika Narcissus dalam mitologi menggilai ketampananannya sendiri, Narcissus di zaman digital ini menggilai pendapatnya sendiri. Tiap manusia dapat merasa lingkungannya selalu menyepakati pendapatnya, bahkan tiap individu secara tak sengaja mengonstruksi kebenaran versinya. Dengan bertambahnya hari, individu semakin bersikeras meyakini kebenaran pendapatnya sendiri dan sekaligus menganggap bahwa di luar itu salah dan tidak penting.
Di film dokumenter garapan Netflix, The Social Dilemma (2020) merekam bagaimana penelsuran secara mendalam akan bahaya yang dihadirkan teknologi dengan berbagai jenisnya. Di sana sederet ahli teori maupun praktisi memberikan gagasan dan pendapatnya atas segala kemungkinan pengaruh yang muncul dari media sosial. Mulai dari pengaruh media sosial yang memberikan efek perubahan perilaku, cara berpikir, hingga jati diri seseorang. Bahkan sampai bagaimana segala percakan dan interaksi terekam dan penyedia jaya layanan membuta model yang kemudian hari berguna untuk memprediksi tindakan seseorang.
Salah satu kutipan dalam film tersebut berupa, “Jika kau tak membayar produknya, berartilah kau produknya.” Itu menandaskan bahwa keberadaan Google bukan sebatas sebagai mesin pencari, Facebook bukan sebatas berbagi kabar berita, Twitter tak sebatas bercuit informasi terbaru, Instagram bukan perkara foto saja, dan TikTok tak hanya pada perkara joget semata. Kesemuanya memiliki jejaring yang kompleks pada kepentingan iklan. Jadi, pada kenyatannya media sosial kewalahan dalam membendung dan mempertimbangkan mana yang masuk akal dan tidak, mana yang kliru, dan mana yang salah.
Perlunya kalangan ilmuwan yang terjun kiranya penting ditekankan di tengah budaya olok-olok terhadap ilmu pengetahuan. Ilmuwan dengan otoritas keilmuan terjun dalam dunia tersebut untuk mengatasi berbagai gejala baik itu berupa kerusakan nalar publik, misinformasi, berita bohong, narasi konspirasi, hingga menguatnya gejala anti terhadap ilmu pengetahuan. Itu sangat risakan, seperti katakanlah saat kebutuhan vaksinasi pada bencana pandemi, justru yang kemudian muncul maraknya narasi anti vaksin. Sungguh tragis.
Media sosial terus melahirkan akan apa yang disebut Karlina Supelli (2013) berupa kemenduaan. Dimana kemenduaan tersebut memaksa kita mengikuti cara kerjanya melalui kenikmatan gaya hidup yang dihasilkan. Dalam ceramah ilmiah berjudul Kebudayaan dan Kegagapan Kita itu pula, Karlina memberikan refleksi akan tugas yang diemban oleh budayawan dan intelektual. Tugas tersebut berupa menghidupkan kembali, pada aras praktik, perbedaan yang ketat antara komentar-komentar acak dan pemikiran yang mengakar di pernenungan yang dalam.
Media sosial tidak sebatas sembarang klik, suka, dan bagi. Ada perkara tanggung jawab yang hendaknya menjadi kesadaran bersama. Tanggung jawab yang menjadikan diri kita senantiasa memiliki kesadaran bahwa bisa saja apa yang terjadi bisa jadi karena ulah diri kita. Kecongkakan intelektual dan narsisme dalam media sosial dapat melenakan orang pada fnatisme. Itu menandaskan bahwa kita harus terus hati-hati dan waspada dalam melakuakan aktivitas di dalam media sosial. Peradaban kita terancam rusak karena kecerobohan yang disengaja. Disengaja oleh tiap diri kita masing-masing. Begitu.[]
*Joko Priyono, Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan.