Cerpen Mufidah
Pagi ini jalanan pantura padat seperti biasanya. Banyak truk-truk besar yang melintas dan juga bus-bus yang siap mengantarkan para penumpang menuju tujuannya. Namun Ainun dan ayahnya masih berdiri di depan terminal menunggu bus yang akan dinaikinya.
Hari ini Ainun akan berangkat ke Kudus, kota di mana dia berkuliah dan juga nyantri. Jarak antara Brebes – Kudus sebenarnya cukup jauh, namun Ainun memutuskan untuk berangkat sendiri memakai bus karena sang ayah sedang sibuk mengurus sawahnya yang sedang panen raya. Dan akhirnya Rahman—ayah Ainun—hanya mengantarnya sampai terminal.
Sudah hampir setengah jam mereka menunggu, tapi belum juga mendapat bus yang cocok. Ada satu bus yang lewat, tapi keadaan bus itu terlihat sudah rusak. Rahman tidak tega jika anaknya harus naik bus seperti itu.
- Iklan -
Ada lagi bus yang lewat, tapi hanya berhenti di Semarang; nanti malah repot harus mencari bus lagi dari Semarang ke Kudusnya—Rahman juga tidak tega. Ada lagi satu bus yang lewat, berhenti tepat di Kudus. Namun Ainun memilih tidak menaikinya, karena bus itu adalah bus patas jadi pasti harganya akan lebih mahal.
“Ainun naik bus yang ekonomi saja, Pak. Kalau patas terlalu mahal. Eman uangnya,” ucap Ainun.
Rahman menuruti perkataan Ainun, mereka berdua kembali menunggu bus yang akan dinaikinya. Debu jalanan yang menampar tak menghalangi niat Ainun untuk berangkat mencari ilmu, begitu pula Pak Rahman yang setia menemani sang anak.
“Semarang… Semarang… Semarang… Semarang, Pak. Ayo ini langsung berangkat,” suara kernet bus terdengar memanggil-manggil penumpang.
Sekitar sepuluh menit, akhirnya datang lagi satu bus ke terminal ini. Busnya terlihat masih baik, sehingga membuat Pak Rahman berniat menanyakan rute bus tersebut.
“Nyampe Kudus tidak, Pak?”
“Iya, Pak, ini nyampe kudus. Ayo sini langsung naik.”
Segera Ainun menggendong tas ranselnya yang sedari tadi ditaruh di samping motor. Inilah saatnya, ia harus kembali ke perantauan untuk melanjutkan pendidikannya. Ainun menyalami sang ayah, meminta agar ia selalu didoakan.
Rahman hanya memandangi punggung Ainun yang sedang menaiki busnya. Melihat sang anak yang harus kembali pergi meninggalkannya, demi mencari ilmu yang juga akan mengangkat derajat keluarganya itu. Berat bagi Rahman melihat anaknya pergi, tapi ia yakin bahwa ini adalah yang terbaik.
Gadis berusia 20 tahun itu berjalan memasuki bus yang ternyata sudah cukup sesak. Dari pintu depan Ainun berjalan, tapi hampir semua kursi sudah terisi. Kalaupun ada satu kursi kosong, di sampingnya sudah diisi seorang laki-laki. Tentu saja Ainun tak enak dan malu jika harus duduk berdampingan dengan laki-laki lain. Hingga saat Ainun berjalan hampir di bagian belakang, ada seseorang yang mencegat.
“Duduk di sini saja, Mbak,” suara berat itu mengagetkan Ainun.
Terlihat seorang laki-laki yang sepertinya sebaya dengan Ainun berdiri mempersilakan Ainun untuk duduk. Beberapa saat Ainun terdiam, bingung apakah ia akan menerimanya atau mencari kursi yang lainnya.
“Kursi yang lain sudah penuh semua, Mbak. Sekalipun ada yang kosong, tapi Mbaknya tidak dipersilakan duduk, kan?” ucap lelaki itu sambil melihat-lihat barangkali masih ada kursi yang kosong.
Ainun masih berdiri dan sedikit tersenyum kecut.
“Nggak usah takut, Mbak. Saya nggak ada niat jahat kok,” lanjut si lelaki itu.
Akhirnya Ainun terpaksa duduk dengan laki-laki tersebut. Sekarang ia sedang berusaha menaruh tas ranselnya yang lumayan besar ke dalam bagasi di atas kursi. Sayang, badan Ainun yang hanya semampai membuat ia sedikit kesusahan. Apalagi dengan keadaan bus yang sudah melaju membuatnya akan terjatuh.
“Sini Mbak, biar saya bantu,” ucap lelaki itu sambil langsung membantu Ainun.
“Terima kasih.”
“Sama-sama.”
“Mbaknya mau duduk di samping jendela atau di samping sini saja?”
Ainun sedikit menaruh curiga dengan laki-laki ini. Kenapa ia terlihat sangat baik? Padahal dari pakaiannya ia seperti anak jalanan yang putus sekolah. Memakai kaus hitam pendek dengan sablonan yang sudah sedikit terkelupas, celana jeans yang terlihat lusuh, dan rambut sedikit panjang yang acak-acakkan—itu yang membuat Ainun sedikit ragu duduk dengannya.
“Masnya saja yang di samping jendela, saya mau duduk di samping sini.”
Bus melaju dengan pelan, berharap ada penumpang yang sedang menunggunya di pinggir jalan. Sepertinya perjalanan Ainun kali ini akan lama, atau hanya terasa lama.
“Mau ke mana, Mbak?” tanya si lelaki
“Ke Kudus.”
“Mau berangkat ke Pesantren, yah?”
“Iya. Emang kelihatan banget yah mau berangkat Pesantren?” tanya Ainun dengan sedikit tersenyum.
“Nggak sih, cuma nebak saja.”
“Masnya sendiri mau ke mana?”
“Saya mau ke Kendal. Oya, nama saya Zaki,” ucap si lelaki tanpa menjulurkan tangannya.
Namun Ainun hanya diam. Ia masih sedikit takut jika harus mengenalkan namanya. Takut jika ada hal yang tak diinginkan terjadi.
“Kalau Mbaknya takut buat ngasih tau namanya, nggak papa kok. Saya cuma ingin memberi tahu nama saya,” ucap lelaki yang bernama Zaki itu sambil tersenyum.
Ainun tersenyum kecut dan merasa bersalah.
Perjalanan terasa hening. Ainun memilih mendengarkan musik dengan headseat miliknya, sedangkan Zaki terlihat sedang membaca sebuah buku. Ainun berusaha melihat judul buku yang sedang dibacanya, namun tidak terlihat.
“Ah sudahlah, tak usah kepo,” batin Ainun.
Bus berhenti di terminal Pemalang untuk menurunkan beberapa penumpang dan juga menunggu barangkali ada penumpang yang akan naik. Setelah penumpang yang akan turun sudah benar-benar turun, para pedagang asongan mulai menyerbu masuk ke dalam bus.
“Permisi,” ucap si lelaki mengagetkan Ainun yang sedang memperhatikan para pedagang.
Ainun mempersilakan si lelaki lewat. Dia tak terlalu mempedulikan ke mana si lelaki itu akan pergi dan lebih memilih untuk sibuk membeli makanan dari para pedagang asongan. Ainun membeli dua bungkus tahu, sebungkus manisan mangga, dan juga sebotol minuman teh. Lumayan untuk mengganjal perutnya yang lapar karena bosan.
Gadis itu menyandarkan punggungnya dan melihat ke arah luar jendela. Tidak sengaja Ainun melihat si lelaki itu, ternyata ia sedang merokok. Di saat penumpang lain ada yang merokok di dalam bus, dia memilih untuk merokok di luar. Untung saja jendela bus ini terbuka, sehingga asap rokok dari penumpang lain bisa langsung keluar.
Bus sudah akan jalan dan lelaki itu pun kembali masuk. Terlihat rokok yang sedang dihisapnya belum habis, tapi dia buang dan langsung masuk ke dalam bus. Dan bus pun sudah kembali melaju di jalurnya.
“Kenapa tadi keluar?” tanya Ainun saat lelaki itu sudah kembali duduk.
“Tadi saya ingin merokok. Nggak sopan kan kalau saya merokok di sini, banyak orang tua, anak-anak, sama perempuan.”
Sejenak Ainun tertegun dengan jawaban pria itu. Ternyata dia masih memikirkan kesopanan yang sudah mulai hilang. Hal ini membuatnya tambah penasaran, siapa sebenarnya lelaki ini.
“Kamu ke Kendal mau apa?” tanya Ainun menuntaskan rasa ingin tahunya.
“Mau pulang.”
“Saya habis dari Cirebon, ada acara di sana. Dan sekarang acaranya sudah selesai, jadi saya pulang,” lanjut Zaki.
“Acara apa?”
“Saya kira kamu tidak ingin tahu tentang saya, tapi ternyata penasaran juga yah.” Sial. Ainun dibuat malu dengan perkataan lelaki itu yang menyindir.
“Oh, maaf.”
“Nggak apa-apa kok, kamu nggak salah. Saya di Cirebon habis mengawasi anak-anak buah saya.”
Kali ini Ainun hanya mengangguk, tak ingin bertanya lagi. Takut nanti dibilang penasaran lagi. “Gengsi dong,” batin Ainun. Ainun bukan termasuk anak yang sombong, dia hanya sangat jarang bergaul dengan lelaki lain apalagi yang masih sebaya. Itu yang membuatnya sedikit grogi dan takut jika harus berkomunikasi dengan lelaki asing.
“Kamu sendiri dari Tegal yah?” tanya si pria setelah menengguk minuman bersoda miliknya.
“Saya bukan orang Tegal. Tapi tadi sengaja nunggu busnya di terminal Tegal, biar gampang.”
Bus ternyata sudah sampai di Pekalongan, jalanan padat dan banyak dijumpai toko-toko batik. Terlihat banyak toko grosir besar-besar, dan berbagai macam model batik dipajang di depan toko.
Ainun tersenyum menatap si ibu. Pikirannya masih tertuju kepada lelaki yang sedari duduk di sampingnya, Zaki. Ternyata sedari tadi ia melakukan berbagai kebaikan kecil dan sopan santun yang sudah mulai ditinggalkan. Rasanya Ainun sudah sangat jarang melihat laki-laki sebayanya yang bersikap seperti itu.
“Turun di mana, Nduk?” tanya si ibu memecah lamunan Ainun.
“Turun di Kudus, Bu. Panjenengan sendiri turun di mana?”
“Di Banyuputih. Deket kok, di Batang.”
“Itu temen kamu?” tanya si ibu sambil menunjuk Zaki yang sedang berdiri menatap ke jendela.
“Bukan Bu, baru kenal di sini.”
“Sekarang tuh Ibu sudah jarang banget lihat pemuda seperti dia. Hampir saja Ibu berdiri terus selama perjalanan, untung saja ada dia. Eh, Nduk, kamu tahu namanya?”
“Kalau tidak salah namanya Zaki.”
Mereka berdua kembali melanjutkan perbincangan yang panjang. Mulai cerita dari anak si Ibu yang tidak mau masuk pesantren, suaminya yang baru meninggal satu tahun yang lalu, dan cerita Ainun yang sejak SMP harus meninggalkan rumah untuk melanjutkan pendidikan.
Sekali lagi, tak terasa bus sudah berada di Batang. Tepat di terminal Banyuputih bus ini berhenti, menurunkan si ibu dan juga beberapa penumpang lainnya. Dari percakapannya dengan ibu paruh baya itu Ainun mendapat banyak pengetahuan dan pelajaran baru yang ia ketahui. Bahwa hidup ini keras dan juga pahit. Tapi sepahit-pahitnya hidup, tetaplah berbuat baik kepada orang lain. Percayalah, suatu saat pasti kebaikan itu akan kembali kepada diri kita sendiri.
Para penumpang yang turun meninggalkan kursi-kursi kosong dan langsung diduduki oleh dua pemuda yang sedari tadi berdiri. Begitu juga Zaki, langsung kembali duduk ke kursinya di samping Ainun.
“Minum?” Ainun menawarkan minuman teh yang tadi dibelinya di terminal Pemalang.
“Terima kasih, minuman saya masih ada kok.”
Mereka berdua tampak sudah tidak terlalu canggung lagi. Mungkin setelah apa yang dilihat Ainun tentang lelaki di sampingnya itu membuatnya membuang pikiran buruk tentang Zaki. Ainun membagi tahu sumedang yang tadi dibelinya kepada Zaki, mungkin bisa dibilang sebagai tanda perdamaian.
“Pas pertama kali lihat saya Mbaknya pasti takut, kan. Saya nggak marah sama mbaknya kok kalau sempat berpikir buruk tentang saya. Karena itu sudah seperti konstruksi di masyarakat kita. Bahwa yang penampilannya seperti ini, biasanya orang nggak baik.”
Ainun terdiam malu, merasa bahwa dirinya tidak ada apa-apanya dibanding lelaki di sampinya itu. Ainun tidak tahu apa yang ada di pikiran lelaki itu, dan siapa sebenarnya dia.
Jendela bus yang sedikit terbuka membiarkan angin sejuk masuk menelisik kulit. Membuat Ainun menerawang jauh tentang bagaimana dirinya yang sering menilai buruk orang lain sebelum mengenalnya. Padahal puluhan kitab sudah ia kaji, berbagai diskusi tentang etika sudah ia ikuti, tapi ternyata ia masih belum bisa menyikapi hal itu.
“Maaf, saya sudah berpikir buruk tentang kamu,” ucap Ainun sedikit lirih. Yang diajak bicara hanya tersenyum, dan kembali memakan tahu sumedangnya yang belum habis.
“Nama saya Ainun.”
“Indah. Seperti mata kamu, indah.”
Bukan kali pertama Ainun diberikan kata-kata seperti itu, tapi entah kenapa Ainun merasa bahwa ucapan itu tulus. Tak ada maksud menggoda apalagi merayu. Untuk beberapa detik Ainun terdiam dan kemudian tersenyum.
“Eumm… terima kasih.” Senyum indah terlukiskan di wajah gadis berkerudung biru itu.
Belum sirna senyum di wajah Ainun, ia dikagetkan suara Zaki yang meminta izin untuk lewat. Ia mengambil tas punggung yang ia taruh di bagasi atas, seperti bersiap akan turun.
“Kamu turun di sini?”
“Iya. Ini udah deket.”
Ainun melihat ke luar jendela. Jalanan dan bangunanya seperti tidak asing. Ia tahu tempat ini.
“Kaliwungu? Kamu turun di Kaliwungu?” tanya Ainun mengerutkan keningnya. Namun lagi-lagi, hanya dijawab dengan anggukan disertai senyuman yang cukup susah untuk diartikan.
“Wungu… Wungu… Wungu… Kaliwungu… ayo, Kaliwungu.” Suara kernet itu membuat sedikit gaduh suasana bus oleh para penumpang yang bersiap turun.
“Ayo yang tadi dari Buntet,” teriak kernet lagi.
“Iya, Pak,” Zaki menjawabnya
Ainun bingung, menghubungkan setiap kata yang dia dengar. “Buntet? Kaliwungu? Habis apa dia di Buntet? Mengawasi anak buah? Rumahnya di Kaliwungu?” batinnya berusaha memahami tentang lelaki yang telah menemaninya itu.
“Kalian ke depan duluan saja,” ucap Zaki kepada empat orang laki-laki yang berpakaian layaknya santri, mereka yang duduk di belakang dan di samping Ainun.
“Nggih, Gus,” ucap salah seorang pria.
Ainun tambah bingung dengan apa yang didengarnya. Gus? Maksudnya apa ini?
“Kamu sebenarnya siapa sih?” tanya Ainun kepada Zaki yang masih sibuk memasukan rokok dan bukunya ke dalam tas ransel miliknya.
“Semoga suatu saat Allah mempertemukan kita kembali. Dan jika kita ditakdirkan untuk bertemu kembali, maka pasti ada maksud lain mengapa kita dipertemukan. Assalamu’alaikum,” ucap Zaki diiringi senyumnya meninggalkan Ainun yang masih bingung dengan apa yang dia lihat dan dengar.
Bus berhenti dan Zaki beserta teman-temannya sudah turun. Ainun langsung tersadar dan melihat ke arah jendela. Terlihat lelaki itu sedang mengenakan peci hitam yang sedari tadi disimpan dalam tas ranselnya. Tatapan mereka bertemu; tatapan kebingungan Ainun dan tatapan misterius Zaki.
Sebuah anggukan dan senyuman kecil diberikan lelaki itu sebagai tanda sampai jumpa, yang juga dibalas oleh Ainun dengan sejuta tanya yang masih menggantung.
Bus mulai kembali berjalan dan lelaki itu mulai tak terlihat lagi; menyisakan Ainun yang masih terdiam menatap jauh ke luar jendela. Hingga tak sadar ia tersenyum mengingat lelaki yang telah menemani setengah perjalannya itu dan berucap, “Siapa sebenarnya dia?” ***
*MUFIDAH, lahir 20 tahun lalu di Kabupaten Brebes. Ia menamatkan pendidikan SLTA di MAN 1 Tegal dan sekaligus nyantri di Pondok Pesantren Ma’hadut Tholabah Babakan, Tegal.
Saat ini ia melanjutkan jenjang pendidikan di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang.