Persinggahan yang Kau Yakini Itu Adalah Cinta
Waktu terbenam bersama ribuan gelegat
tentang kesedihan yang buram di penanggalan
semenjak tangis kecil itu terlahir di alam fana
kau himpun benang merah itu
menjadi makna dalam dada yang terus berdoa
Kau tumbuh menjadi pohon-pohon
yang sebentar memayungi para pejalan
ketika musim telah menandai peringatanya
masing-masing
Tapi dalam kelebat itu
kau harus tabah menyerap segala derita
menafsirkannya dalam rupa sahaja
ketika yang berumur akan payah & membuncah
bersama kilatan takdir
meniti kelokan tajam paling mengerikan
Kau telah menjadi ruang bagi cinta yang masuk
menyambut cerita atau mungkin dengung nestapa
mungkin suatu waktu yang lain
kau akan kembali memeluk diri sendiri
dengan tabah meski sedikit payah
- Iklan -
Selepas persinggahan itu
kau tak lagi tampak dalam senyum kekal
tapi dalam riwayat, kau tak henti-hentinya terbaca
begitu juga obrolan sederhana yang mungkin membosankan
menaiki tangga yang kaupun tak tau kapan pamitnya
barangkali, dalam hidup
bayang kepura-puraanlah
yang menjadikan perjalanan menjadi gelap
tak ada yang abadi, selain cinta
yang terus memelukmu dalam keabadian
juga dalam penderitaan yang memanjang
ia terus ada dan tertawa sampai ajal bertaut
di ujung waktu ketika dunia asik menipumu
Semarang, 2021
Menggambar Ingatan
Kutabahkan segala kabar tentangmu
pahatan luka yang kian koyak dan mengelucak
dari bawah arus ingatanmu
Timanglah suara kecil ini pelan-pelan
agar semesta kian tampak dan tersenyum
memayungi dingin tubuhmu yang kelu
Biarlah kenyataan sementara berperang dan berlaga
dalam lipatan stanza bawah alam sadar
utuhkanlah tawamu dalam baris puisimu
Kau tetap menjadi pewarna dalam suka
ketika retak yang kau rasa adalah nuansa doa
yang kau suling sepenuh angin cinta
Kelak, kau akan menjadi kehadiran
membawa nasihat yang tak lekas tamat
bagi pereguk tanya kian nelangsa dan berdosa
Sekali lagi, kembalilah—peluklah dirimu
atas suara dari bilik sunyi hatimu
dan tambatkanlah firman yang benar
agar tamsil tak menjadi usil di belantara masa
Cukuplah delusi itu dari bisu jejakmu
tegakkan miniatur cinta
agar kau kembali suci
menghadapi tilas kebencian yang bergentayangan
di muka bumi ini.
Semarang, 2020
Lelaki yang Terluka Atas Kesunyiannya
Kau masih mendengar siul burung di taman
mengeja rupa semesta yang mahir berdoa
betapa riuh dalam perjalananmu
adalah ibrah yang musti kau rapikan pelan-pelan
Aku belajar mengeja tentang sebuah rasa
tentang takdir payah dan goyah
ketika kau genapi reguk nasib dalam diri
membisu berkabung di jagat delusi
Selayaknya, hanya kuyup doa yang sahaja
meneriakkan uap luka dalam dada
setidaknya itulah tanda bagi semesta
tentang maha rupa atas ujian yang ada
Kau masih seperti yang dulu
membawa kabar baik dan cerdik
tetaplah sedia—seperti doa bagi siapa
untuk mereguk garis masa yang fana
Betapa kehadiran adalah kisah
yang membawamu ke muasal jazirah
merentangkan ingatan sesal dalam meriam
bersujud meraba firman sepenuh keharuan.
Semarang, 2020
Memeluk Sebuah Pagi
Kokok ayam jago milik warga bersuhutan
tak seperti pada pagi yang lain
kini langit sering turun hujan
sepeninggal bulan November
segala muara kegaduhan bersumber
Sebuah pagi yang sederhana
aku menyaksikan orang-orang lebih khusyuk
memeluk dirinya sendiri dalam perjalanan
bergulat pedih tentang lingkar takdir
yang pahit dan bernada getir
Sebuah pagi yang sangat bijak itu
mengajariku cara membaca isyarat waktu
dimana seperti kapal pesiar
melarung diri ke tengah samudra
meski ombak menjadi amukan
setiap kali berlayar
Aku tak lelah menyapa pagi
meski seribu kutukan & bayang kecemasan
mengurungku saban hari
kutahu semesta lebih siaga membaca
tangis hambanya meskipun berpura-pura
Kesenanganku di pagi hari
ketika aku lebih leluasa menghirup udara
membikin teh dan memutar lagu kesukaan
melepas dendam & merapikan keberangkatan
menyaksikan manusia yang gigih
di medan kehidupan—tak mau kalah
pada sebuah pagi di penghujung tahun kebekuan
penuh duka & tawa yang entah kapan akhirnya
aku tetap menikmati pagi
sekalipun dunia hilang diri & mati suri.
Semarang, 2020
Takdir yang Lahir dari Persembunyian Sunyi
Hanya sehimpun sunyi yang tertinggal
ruang tanya, kabar pelarian dan arena kehidupan
kau simpan selusin rahasia
atau bahkan menggunung seperti dendam
yang membuatmu terbakar dan menghilang
Pekik paruh ponselmu hanya mampu memberi ejaan kecil
yang tersangkut sebuah kenangan dan kebencian dalam dada
tak pernah kau suling dan kau hidangkan
pada sebuah pertemuan di sebuah kedai di pinggir kota
Aku masih bertanya, tentang jejak yang musti beranjak
tawamu tergerus belantara semu
dan di luar semesta bergerak dan mengelucak
tapi bayangmu utuh berlarian penuh kecemasan yang tinggal
Barangkali, kau adalah rumah yang butuh arah
sekalipun banyak rute jalan dan persimpangan
kau harus sekali singgah menyederhanakan kegagalan
agar tawamu utuh tak lenyap terempas angin sendu
Bisakah kehadiran lekas diciptakan
agar nada hati terus beranjak dari sisa tangis yang koyak
kemudian kau sulingkan pesan rahasia dan purna
agar kau utuh menjadi manusia
terbebas dari amsal kecemasan
bukankah itu yang sebenarnya kita cari?
2020
*Muhamad Arifin, Lahir di Grobogan, 21 April 1998. Alumnus Universitas Semarang (USM) jurusan Ilmu Komunikasi. Bergiat di Komunitas Orbit Semarang. Karyanya sudah dimuat di beberapa media cetak dan media online. Pada tahun 2019 ia berkesempatan mengikuti Festival Sastra Internasional Gunung Bintan Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau.