Oleh Fathorrozi
Hidup di masyarakat, terutama di pedesaan, memang serba muskil. Salah satu misal, jika ada seorang tetangga yang mampu membeli motor, para tetangga lain akan berbisik ke tetangga sebelahnya, dan tetangga sebelahnya akan bergosip ke tetangga sebelahnya lagi. Kadang disertai dengan sangkaan yang bukan-bukan. Hasil ngepet, memelihara tuyul, pesugihan, mencuri, dapat kiriman istrinya yang kerja di luar negeri, atau dugaan lain yang usut punya usut berawal dari sentimen atau rasa iri.
Begitu pula, jika mengarungi hidup di masyarakat dalam kubangan kemiskinan. Hinaan, cercaan, cemoohan kerap jadi sarapan saban pagi. Pengangguran, pemalas, pemakan hasil kerja orang tua, penikmat harta mertua, dan julukan lain yang lebih pedas terus dilontarkan. Belum lagi kondisi kemiskinan yang dikaitkan dengan dosa leluhurnya. Seperti ucapan, “Dia tetap akan miskin meski bekerja keras banting tulang, atau meski kaki jadi kepala, kepala jadi kaki. Sebab, leluhurnya dulu punya ilmu penutup rezeki. Banyak tetangga di sini yang menjadi korban. Tetangga yang punya warung tiba-tiba nasinya basi. Pemilik toko sepi dari pembeli. Kata si pelanggan, toko tersebut tak pernah buka. Padahal realitasnya buka setiap hari.”
Belum lagi soal keringanan tangan. Maksud hati ingin membantu tetangga yang kesulitan meraup pundi-pundi rupiah, namun masih ada saja tetangga yang menilai dengan mata sebelah. Sok baik, pamer, lagi ambil hati, cari perhatian, ada udang di balik batu, atau pandangan picik lainnya. Sementara jika tak acuh terhadap derita sesama, dinilai kurang peduli, tak bermakhluk sosial, tidak peka, tidak punya rasa empati, membelenggu tangan dan sebutan naif lainnya.
- Iklan -
Solusi dan Cara Menyikapi
Jika kita mendapati tetangga kita yang sok jadi hakim, mengklaim gerak-laku kita serba salah. Begini salah, begitu salah. Bersedekah disangka pamer. Mengaji ayat suci dianggap sok suci. Maka, jalan keluarnya adalah terus jalan saja! Fokus pada niat dan tujuan! Jangan toleh-toleh selama yakin kita sedang meniti di jalan yang benar. Pepatah Arab menegaskan, “Amsyi fi thariqillah wala tubalu ahadan, fainna likulli syai’in muhibban wa mubghadhan.” Jalanlah terus di jalan Allah, tak usah kau hiraukan apa pun. Karena setiap hal pasti ada yang menyukai dan ada yang membenci.
Sedangkan jika sifat sok menghakimi itu diam-diam bercokol di hati kita, maka, solusi pertama yang harus kita tempuh adalah muhasabah atau intropeksi diri. Mprop Picoez al-Jingini dalam buku 100 Hari Melihat Diri, menuturkan:
“Masalahnya ada pada sifatmu yang merasa mampu, sehingga ketika ada orang lain yang bisa melakukannya, kamu kesal, kemudian menuduh yang bukan-bukan. Sok hebatlah, pamerlah dan lain sebagainya. Tuduhanmu kepadanya itu sesungguhnya menunjukkan bahwa engkau tak mengenal dirimu. Kamu enggak sadar bahwa kamu punya sifat merasa mampu. Andai saja kamu tak mempunyai sifat itu dalam dirimu, pasti kamu cuek pada apa yang telah dilakukan orang lain. Mengapa? Karena yang dia lakukan tidak akan menyinggung egomu.”
Ketika sifat merasa mampu merasuki jiwa, niscaya lambat laun kesombongan menguasai diri. Sebab sombong yang sesungguhnya adalah saat diri merasa mampu, tapi disimpan rapat di dalam hati, berpura-pura tampil rendah hati biar kelihatan tawaduk.
Cara menyikapi yang kedua adalah dengan ber-husnudzan atau baik sangka. Bila ada tetangga kita yang baru saja ketiban durian runtuh hingga kuat beli mobil keluaran terbaru, seyogianya kita ikut bersuka cita dan tersenyum senang.
Jika tetangga lain membawa bisikan muslihat kepada kita dengan menggiring sangkaan buruk, kita hendaknya menepis dengan argumen positif dan menangkisnya menuju alam yang terang benderang. Sekalipun sangkaan buruknya benar-benar sesuai realitas, maka setidaknya kita terhindar dari sifat su’udzan, dan husnudzan kita menjadi doa baik bagi orang tersebut.
Akhirnya, marilah kita bersihkan hati dari sifat iri. Sucikan jiwa dari buruk sangka dan sok jadi hakim bijak. Jangan membuat asumsi tanpa cek & ricek. Jangan suka menyimpulkan sesuatu sebelum mengetahui kondisi riil. Mari bersama-sama kita menjadi hamba yang baik, ikut senang bila terdapat teman, tetangga dan saudara mendapat nikmat, serta ikut sedih dan turut membantu atas derita sesama. ***
*FATHORROZI, magister UINKHAS Jember, pendidik di Pondok Pesantren Nurul Qarnain Sukowono Jember.