Oleh Sam Edy Yuswanto*
Judul Buku : Membeli Ibu
Penulis : Riawani Elyta
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan : I, Maret 2021
Tebal : 240 halaman
ISBN : 978-623-253-033-1
Disleksia adalah suatu gangguan belajar pada anak-anak, yang ditandai dengan kesulitan membaca, menulis, mengeja, atau berbicara dengan jelas. Gangguan belajar ini masuk ke dalam gangguan saraf pada bagian batang otak. Bagian otak inilah yang memproses bahasa. Disleksia bisa dialami oleh anak-anak dan juga orang dewasa. Meski pengidapnya bisa mengalami kesulitan dalam belajar, disleksia tak memengaruhi tingkat kecerdasan seseorang (halodoc.com).
Orangtua dan para guru tentu dituntut memiliki kesabaran ekstra dalam menghadapi anak-anak yang mengidap disleksia. Karena secara psikologis mereka berbeda dari anak-anak kebanyakan yang memiliki kelambanan ketika menyerap apa yang disampaikan oleh orang dewasa. Tak hanya itu, biasanya mereka juga memiliki kesulitan dalam menjelaskan sesuatu hal. Misalnya, kalimat yang diucapkan patah-patah sehingga menjadi tantangan besar bagi orangtua saat menghadapinya.
- Iklan -
Selain kesabaran ekstra, orangtua dan guru seyogyanya memperkaya diri dengan beragam buku-buku bacaan seputar disleksia agar dapat memberikan penanganan yang tepat dalam menghadapi anak-anak disleksia. Buku ini misalnya, meskipun berupa novel, akan tetapi memiliki muatan edukasi yang penting dibaca oleh para orangtua, guru, bahkan para remaja. Edukasi tentang cara menghadapi anak disleksia yang memiliki sederet persoalan dalam kehidupannya.
Athifa, gadis berusia 14 tahun, merupakan tokoh utama dalam novel ini yang dikisahkan mengidap disleksia sejak kecil. Sayangnya sejak kecil ia kurang mendapat penanganan yang tepat sehingga ia tumbuh menjadi anak yang tertutup dan minder. Selain dianggap sebagai anak yang bodoh di sekolahnya, anak-anak sebayanya juga merasa malas bergaul dan bersahabat dengannya.
Perkembangan psikologi Athifa kian mengkhawatirkan ketika ayahnya yang semula memiliki sifat penyayang tiba-tiba berubah menjadi kasar. Bahkan beberapa waktu kemudian sang ayah pergi entah ke mana meninggalkan putri semata wayangnya. Sementara ibunya Athifa sudah sejak lama bekerja sebagai TKW di luar negeri.
Akhirnya, ia diasuh oleh Bik Esih, bibinya yang memiliki dua anak yang masih kecil dan hidup dalam kemiskinan. Menanggung tiga anak sekaligus lama-lama dirasa sangat berat bagi Bik Esih. Hal inilah yang membuatnya memutuskan untuk menitipkan Athifa ke sebuah panti asuhan.
Selanjutnya, persoalan demi persoalan datang silih berganti ketika Athifa tinggal di panti asuhan. Misalnya, ketika ibu pengurus panti kurang memiliki pengetahuan tentang penyakit disleksia, sehingga ia kurang begitu memahami cara memberikan penanganan yang tepat untuk anak-anak seperti Athifa. Tak hanya itu, anak-anak panti juga seolah enggan berteman dengan Athifa, bahkan teman satu kamarnya yang bernama Putri bersikap kurang ramah dan senang mengerjainya.
Ada satu hal yang selalu Athifa ingat, bahwa ketika ia ingin bertemu ibunya, ia harus memiliki uang yang banyak. Sebelum ayah pergi meninggalkannya, ayah pernah bilang pada Athifa bahwa kalau mau ketemu ibu, ia harus membelinya (hlm. 173). Maka tak heran bila Athifa berusaha untuk menabung, bahkan ia tak mau melanjutkan sekolah.
Bagi Athifa sekolah hanya membuat kepalanya terasa pusing karena sulit memahami mata pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Ia hanya ingin mencari pekerjaan agar bisa segera mendapat uang banyak untuk membeli ibu. Ia sudah sangat kangen ingin bertemu ibunya.
Belakangan, akhirnya terkuak sebuah rahasia besar mengapa ayah dulu pernah mengatakan hal yang tak pernah bisa dipahami oleh Athifa. Ternyata, di luar negeri, ibunya tengah bermasalah dengan hukum dan harus mengeluarkan uang yang sangat banyak agar bisa bebas dan kembali pulang ke kampung halaman.
Athifa merasa beruntung ketika ia akhirnya dipertemukan dengan Fairuz, sosok gadis muda dan cantik yang bercita-cita menjadi psikolog dan berusaha memahami segala keterbatasan yang ada dalam dirinya. Fairuz yang berasal dari keluarga berada tersebut bertemu secara tak sengaja dengan Athifa ketika Athifa tersesat saat hendak menuju ke panti asuhan (hlm. 50).
Namun di balik kecantikan yang dimiliki oleh Fairuz, ternyata ia memiliki kekurangan yang membuatnya merasa minder saat bergaul dengan para lelaki. Ia mengidap penyakit ganas yang mengharuskannya melakukan operasi sekaligus mengangkat rahimnya. Artinya, bila kelak berumah tangga, ia tidak akan bisa mengandung dan memiliki anak. Ia merasa pesimistis, tak ada lelaki yang mau menikah dengannya karena ia pikir mana ada lelaki yang mau menikah dengan perempuan yang tak bisa memberikan keturunan?
Kisah Athifa dalam novel yang menjadi juara satu dalam kompetisi menulis novel remaja beberapa waktu lalu ini selain menarik dan diwarnai edukasi seputar penyakit disleksia dan cara mengatasinya, juga meninggalkan sederet hikmah yang bisa dipetik oleh para pembaca. Misalnya, tentang pentingnya memiliki kebiasaan membaca buku sejak usia dini.
Dengan membaca kita akan tahu banyak hal sehingga tak mudah terpengaruh oleh kabar berita yang belum terbukti kebenarannya.
Hikmah lain yang tak kalah pentingnya direnungi oleh para pembaca ialah: bahwa setiap anak memiliki kemampuan berbeda-beda, sehingga orangtua dan guru harus memberikan cara pengajaran yang berbeda-beda pula kepada mereka.
***
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.