Oleh Sam Edy Yuswanto*
Judul Buku : Mindful Communication
Penulis : Wida Azzahida
Penerbit : Indiva Mitra Pustaka
Cetakan : I, April 2021
Tebal : 200 halaman
ISBN : 978-623-253-050-8
“Anak bukanlah miniatur orang dewasa. Anak tetaplah anak. Namun, tanpa kita sadari kita sering mengucapkan kata yang tidak layak diberikan kepada anak. Padahal sejatinya, orangtua memiliki tanggung jawab mendidik anak dengan sangat hati-hati”.
Apa yang diungkapkan oleh penulis dalam buku Mindful Communication ini memang benar adanya. Orangtua, disadari atau tidak, pernah bahkan sering memaksakan kehendak pada anak-anaknya. Parahnya bila orangtua sampai menuntut anak agar seperti apa yang dimauinya. Misalnya, ketika orangtua berprofesi sebagai dokter dan pegawai negeri, maka biasanya ia akan mengarahkan (bahkan kalau perlu memaksa dan menuntut) agar anak mendalami profesi seperti orangtuanya.
- Iklan -
Padahal kita tahu bahwa setiap anak terlahir dengan membawa bakat dan potensi beragam yang bisa jadi berlawanan arah dengan orangtuanya. Tak bisa dibayangkan bila kelak anak menjalani kehidupan sebagai seorang dokter atau pegawai negeri misalnya, sementara yang diinginkan anak adalah menjadi seorang jurnalis. Bila sudah begini, saya yakin anak akan merasa sangat tersiksa bahkan bisa jadi mengalami stres dan depresi dalam menjalani profesi yang bertentangan dengan keinginan atau cita-citanya.
Dalam mendidik anak seyogianya setiap orangtua berusaha mengarahkan anak sesuai dengan bakat yang paling dominan dalam dirinya. Tak hanya mengarahkan, tapi juga memfasilitasinya agar anak merasa mendapat dukungan penuh dari orangtuanya. Mestinya sebagai orangtua harus merasa legawa bila melihat potensi (dan cita-cita) anak ternyata berbeda dengan orangtuanya. Maka, jangan pernah sekali pun memaksa anak agar menjadi seperti orangtuanya. Benar kiranya ungkapan bijak yang mengatakan bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa. Anak memiliki kehidupan sendiri dengan pilihan-pilihan (asal positif) dan segala konsekuensinya yang harus didukung oleh orangtuanya. Bila bukan orangtua yang mendukung, lantas hendak ke mana anak akan meminta dukungan?
Selain mengarahkan dan menggali bakat anak, tugas orangtua yang tak kalah penting ialah mendidik anak dengan penuh kelembutan. Pilihlah kata-kata yang baik dan bijaksana ketika berkomunikasi dengan anak. Bicaralah dengan bahasa yang mudah dipahami anak dan usahakan orangtua tidak berpidato sambil ngomel panjang lebar. Karena biasanya selain tak mau menuruti dan mendengarkan apa kata orangtua, anak juga akan semakin marah (hlm. 89).
Dalam buku Good Parenting, Syaikh Muhammad Al-Hamid menjelaskan bahwa pada dasarnya mendidik anak harus menggunakan cara lembut. Hanya saja hukuman kadang diperlukan dalam urusan shalat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur tujuh ahun dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun (jika mereka meninggalkan shalat), dan pisahkanlah tempat tidur mereka (antara laki-laki dan perempuan)”. Tentu saja memukul di sini bukan memukul yang mencederai fisik, misalnya memukul hingga berdarah. Tetapi memukul di sini hanya sebatas agar anak jera dan mau melaksanakan perintah Tuhan (hlm. 90).
Dalam ajaran Islam, kebiasaan menunda-nunda melakukan ibadah termasuk hal yang dilarang. Karenanya, setiap orangtua harus berupaya mendidik anaknya dengan penuh kedisiplinan. Tanamnkan dalam jiwa anak agar jangan jadi orang yang pemalas, suka menunda-nunda sesuatu. Misalnya kebiasaan malas dan gemar menunda melakukan shalat. Tentunya keteladanan orangtua juga sangat berpengaruh dalam hal ini. Artinya, ketika orangtua menginginkan anaknya memiliki kedisplinan maka ia juga harus berjiwa disiplin. Tentu anak akan mengabaikan orangtua yang menyuruh agar cepat-cepat melakukan shalat sementara orangtuanya malah bersantai sambil asyik sendiri bermain gawai.
Dalam buku ini, Wida Azzahida menegaskan, memberikan pendidikan kepada remaja untuk tidak menunda-nunda kewajiban adalah sebuah keharusan. Sebab, Islam sangat membenci dan mengecam sifat malas dengan segala wujud dan bentuknya. Sebaliknya, Islam selalu memerintahkan untuk menjalankan kewajiban yang telah ditetapkan oleh agama dengan segera. Jika melakukan kewajiban terus ditunda-tunda, jiwa akan merasa berat dalam menjalankannya. Ketika sudah mukallaf, seorang remaja memiliki sederet kewajiban yang tak boleh diabaikan apalagi ditinggalkan, misalnya shalat lima waktu, puasa Ramadan, zakat dan haji bila telah mampu.
Selain sikap disiplin, orangtua juga harus berupaya mengajarkan kejujuran pada anak-anaknya sejak usia dini. Sesungguhnya membiasakan diri bersikap jujur dalam diri seorang remaja akan memudahkan jalan hidupnya. Ia akan tumbuh menjadi orang yang dipercaya oleh masyarakat, baik dari sisi ucapan maupun perbuatannya. Al-Qur’an sudah menjelaskan bahwa sifat jujur adalah pilar kehidupan bagi setiap makhluk yang mulia. Jujur merupakan pilar pokok yang bisa membangkitkan dan memajukan masyarakat dan individu (hlm. 102).
Buku ini layak dan penting dijadikan sebagai bahan renungan bagi orangtua di mana pun berada. Membaca buku ini dapat membantu orangtua dalam mendidik anak dengan baik dan penuh kelembutan sebagaimana telah diajarkan dalam agama Islam. Selamat membaca.
***
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.