Oleh Ade Mulyono
Ketika sekolah serta perguruan tinggi diliburkan dan diganti study from home atau belajar di rumah akibat efek domino karena penyebaran pandemi covid-19, maka teknologi ialah satu hal yang paling ditonjolkan. Seakan-akan dengan hadirnya teknologi seluruh persoalan pendidikan dapat diselesaikannya. Keadaan semacam ini menjadi problematik, sebab peserta didik yang tersebar seantero negeri dari Aceh hingga Papua jelas tidak seragam baik sosiologi, antropologi, maupun kondisi ekonominya.
Satu hal yang luput dalam dikursus semacam ini ialah ketidakberpihakan negara terhadap kaum miskin. Apakah dengan imbauan belajar dari rumah (SFH) dapat menyelesaikan seluruh persoalan pendidikan? Ketidaksetaraan peserta didik membuka mata kita, bahwa pendidikan kaum miskin yang dibiarkan rapuh dan telanjang tanpa perlindungan sedang digilas globalisasi—dihajar oleh hedonisme teknologi. Apa akar persoalannya?
- Iklan -
Apologia
Tahun 2004 silam Eko Prasetyo menulis buku yang mengentak akal sehat publik dengan judul sarkastis: Orang Miskin Dilarang Sekolah. Karena bagi kaum miskin sekolah ialah komedi yang patut dirayakan. Dan peristiwa kegetiran dalam hidup dimulai. Tentu juga berlaku hukum sebaliknya. Bagi orang kaya sekolah ialah satu langkah awal menuju kejayaan dalam hidupnya yang gemilang. Begitulah hukum sosio-ekonomi dirancang oleh para pemodal—agen tersembunyi. Kaum miskin tidak punya pilihan selain harus menerima warisan kemiskinan orang tuanya: leluhurnya. Tulisan ini ialah manifesto apologi terhadap kaum miskin yang hilang kedaulatannya atas pendidikan.
Dari peristiwa kemanusiaan itu kita dapat belajar, bahwa hukum sosio-ekonomi yang sudah dirancang oleh mekanisme pasar jauh lebih kejam dari hukum alam. Dalam hukum alam manusia bebas bertingkah dan bertindak. Kendati pilihan yang tersedia cenderung aksiologi. Sedangkan dalam hukum pasar hanya mereka yang kuat secara kapital yang akan keluar sebagai pemenang. Begitu pun yang terjadi di dunia pendidikan. Hanya kelas sosial menengah atas yang dapat mengakses pendidikan bermutu.
Misalnya jika orang kaya masuk kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terkemuka yang memberikan afeksi sarana dan prasarana berlebih untuk menunjang proses pembelajaran. Apakah pelayanan pendidikan yang memadai itu bawaan standar operasional lembaga pendidikan terhadap peserta didik? Jawabannya tidak. Pelayanan prima itu tidak diberikan secara cuma-cuma, melainkan lembaga pendidikan mengorganisasi produksi afeksi ekonomistik. Jadi, bukan sifat bawaan lembaga pendidikan. Persoalan itu terjadi karena cengkeraman liberalisasi pendidikan, karena implementasi undang-undang pendidikan: di mana PTN yang dulu dapat diakses oleh publik, sekarang diprivatisasi; orang miskin tidak bisa lagi menjangkau pendidikan karena tingginya biaya pendidikan. Pendek kata, mutu pendidikan ditentukan dengan berapa uang yang dimilikinya.
Jika baca statistik belum lama ini lembaga survei Sosial Ekonomi Nasional (susenas) merilis biaya pendidikan tingkat perguruan tinggi tahun ajaran 2017/2018 mencapai Rp 15,33 juta. Jika kita tengok pendapatan per kapita mengacu pada Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan per kapita masyarakat Indonesia ialah 56 juta/tahun. Dari data itu dapat diketahui pendapatan individu masyarakat Indonesia berkisar 4,6 juta rupiah per bulan.
Dengan demikian, butuh waktu tiga bulan bekerja bagi anak muda Indonesia yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi untuk menanggung biaya pendidikan per tahun. Bahkan kita akan menemukan angka fantastis jika survei itu dilakukan secara terperinci dan spesifikasi pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Hal itu tidak lepas dari pengaruh pasar bebas (tren globalisasi) yang hanya berorientasi pada profit. Mahalnya biaya pendidikan hanya akan menyebabkan disintegrasi sosial; kesenjangan antara yang mapan dan miskin akan kian melebar.
Akibatnya kita merasakan sekarang; mahalnya ongkos pendidikan hanya memproduksi kelas elitis di satu pihak, dan memproduksi struktur kemiskinan di pihak yang lain. Serta melahirkan kesenjangan yang makin lebar antara si kaya yang dapat kuliah di PT-PT ber-BHMN dengan si miskin yang tidak dapat mengakses pendidikan sama sekali. Si kaya akan semakin kaya karena setelah lulus kuliah akan memperoleh posisi yang mapan dengan gaji dan fasilitas yang mapan pula, sedangkan si miskin akan semakin tenggelam ke jurang kemiskinan karena tidak mampu bersekolah sampai tinggi dilembaga pendidikan yang bermutu, maka akhirnya tidak mampu mengakses sumber daya ekonomi yang dapat meningkatkan taraf hidupnya. (1).
Jadi, ada persoalan serius dalam menyelenggarakan pendidikan. Keadilan sosial dalam pendidikan patut dipertanyakan. Pasca-reformasi negara dalam hal ini pemerintah lebih suka memakai kacamata dari luar seperti PISA (Program for Internasional Student Study), TIMSS (Trends in Internasional Mathematics and Sciences Study), dan PIRL (Progress in Internasional Reading Literacy Study) untuk mengukur kualitas pendidikan nasional. Pemerintah tidak melihat potret kondisi riil ketimpangan dalam pendidikan terjadi luar biasa. Ketidakadilan itu tampak pada obsesi pemerintah untuk mendirikan sekolah-sekolah bertaraf internasional (SBI). Salah satunya seperti dapat dilihat pada Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) pasal 50.
[Sekolah Bertaraf Internasional] BSI ini merupakan proyek prestisius karena dibiayai pemerintah pusat 50 persen, pemerintah provinsi 30 persen, dan pemerintah kabupaten/kota 20 persen. Depdiknas sendiri mengeluarkan dana yang cukup besar untuk obsesi SBI tersebut. Untuk SMA dan SMK subsidi yang diberikan Rp. 400 – Rp. 500 juta, sedangkan untuk SMP adalah sekitar Rp. 300 juta.(2). Di saat yang sama banyak sarana-prasarana sekolah yang tidak layak digunakan sebagai tempat kegiatan proses belajar. Namun, pemerintah lebih gemar mengucurkan dana untuk mengejar rangking pendidikan nasional dengan ukuran global daripada mengutamakan kesetaraan dan kepastian pendidikan bagi kaum miskin dalam mengakses pendidikan.
Persoalan kesenjangan dalam pendidikan dengan sendirinya akan membuat kreativitas peserta didik tumpul. Jangan berharap anak dari keluarga miskin akan mendapatkan rangking satu di kelasnya. Atau kelak jika dewasa dapat duduk manis sebagai jajaran direksi di perusahaan BUMN. Jika pun ada maka presentasinya sangat kecil. Hanya segelintir orang. Hanya keajaiban dan bintang keberuntungan yang menaungi hidup orang tersebut. Pendidikan tidak pernah memihak pada kaum miskin. Karena memang pendidikan tidak didesain untuk membuat mobilitas vertikal dari kelas menengah-bawah menjadi kelas atas. Akhirnya kita menyadari apa yang dikritik oleh Freire, tanpa kesadaran tidak akan melahirkan critical language dan critical subjectivity. Sebab, dalam liberalisasi pendidikan bukan kesadaran yang menjadi metode, melainkan kapital yang membuka gembok keberhasilan.
Apalagi mengingat banyaknya angka peserta didik yang putus sekolah, seperti dikutip dari laman IDN Times (2019): pada tahun 2016 sekitar 4,6 juta anak usia 7-18 tahun tidak bersekolah. Artinya akan ada persoalan pembangunan SDM di kemudian hari. Tentu ini menjadi kabar buruk bagi kaum miskin. Di era pasca-fordisme antara buruh dan pengangguran menjadi sumir. Kategori status miskin dan status tidak miskin menjadi politis. Lalu apa yang dapat dilakukan kaum miskin di tengah bencana: kemanusiaan dan sosial seperti hari-hari ini? Terbukti di tengah pandemi covid-19 berbagai persoalan belajar di rumah (SFH) muncul silih berganti. Mulai dari peserta didik ‘berkebutuhan khusus’, dan tema utama dalam tulisan ini; akses pembelajaran ‘study from home’ dibatalkan karena kemiskinan keluarga peserta didik.
Oleh karenanya, otoritas pendidikan harus menyiapkan formula bagi pendidikan kaum miskin. Puja-puji pembelajaran dengan ‘digital ecosystem’ dan berbagai layanan belajar komersial lainnya dengan mekanisme daring (online) terbukti hanya dapat diakses oleh kelas sosial menengah atas. Artinya pendidikan yang setara harus dijawab dengan ketajaman metodologi, bukan dengan memaksakan ideologi.
Tentu kita tidak ingin ekosistem pembelajaran digital yang digembar-gemborkan oleh satu pihak, menyebabkan dehumanisasi di pihak yang lain. Jika pembelajaran digitalisasi ialah sebuah keniscayaan, maka kegembiraan itu tidak boleh melupakan keutamaan kesetaraan dalam pendidikan. Kaum miskin bukan ‘sang Liyan’ yang dipinggirkan.
Mengingat banyaknya kaum miskin tidak dapat mengakses pendidikan harus dibayar dengan ongkos sosial yang mahal. Kaum miskin akan mengorganisir dirinya dalam mencari metode belajarnya sendiri; tanpa pendaftaran, tanpa biaya, tanpa perlu mendapatkan ijazah. Kaum miskin yang di pinggirkan telah mengajarkan kepada negara secara fundamental perbedaan antara belajar dan bersekolah.
-Ade Mulyono. Pemerhati Pendidikan. Tulisannya tersiar di berbagai media. Sedang menyiapkan buku terbarunya “Dehumanisasi Pendidikan”.