Oleh Hamidulloh Ibda
Mendengarkan orang tua bercerita dan “nguda rasa” bagi saya adalah aktivitas ibadah. Sebab, dengan duduk mendengarkan seksama dari apa yang ia katakan akan melahirkan energi baru. Banyak ide, konsep, best practice, strategi dan pengalaman empirik sesuai masanya yang bisa kita terapkan di masa kini.
Ini sesuai dengan keyakinan saya bahwa orang yang dapat menguasai atau minimal dapat beradaptasi dengan peradaban adalah yang bisa membaca dan menundukkan zeitgeist (spirit zaman). Maka kita perlu menimba ilmu pada mereka yang sudah berpengalaman daripada kita.
Ketika kita mendengarkan, mereka juga bisa “plong”, ada katarsis, kepuasan dan kesenangan karena didengarkan. Bukan berarti mereka butuh perhatian atau kurang perhatian. Namun bagi saya, mendengarkan para sepuh adalah wahana menimba sekaligus menguras ilmu laku untuk mencari ruang perbaikan bagi diri kita maupun skala yang lebih luas adalah lembaga.
- Iklan -
Hal itulah yang sehari-hari saya alami. Bertemu dan ngopi bersama para sepuh yang sudah banyak makan asam garam. Salah satunya Ketua Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Babussalam NU Kabupaten Temanggung H. Rohmadi. Pria pensiunan berkacamata ini banyak memberikan ilmu praktik kepada saya khususnya dalam pengelolaan lembaga.
Lisensi Publik
Bagi Mbah Rohmadi, membangun lembaga pendidikan dibutuhkan lisensi publik. “Lisensi publik itu ra iso digawe-gawe”. Demikian ungkapan beliau yang masih menancap di kepala saya.
Kini, bagi saya bekerja di sebuah lembaga pendidikan tinggi yang usianya lebih dari setengah abad memang membutuhkan banyak cara-cara gila. Termasuk kegilaan dalam aspek manajerial dan sangat erat dengan manajerial.
Manajerial sangat erat dengan manajer dan kepemimpinan. Bagi Mbah Rohmadi, lisensi publik tidak bisa didesain dan dibuat-buat karena alamiah. Dalam konteks ini, seorang manajer, pemimpin, owner lembaga harus memiliki lisensi publik.
Artinya, kepercayaan publik itu tidak bisa dicapai dalam waktu singkat, dicitrakan, dibuat-buat karena prosesnya alamiah. Hal ini setelah saya sandingkan dengan konsep GNU General Public License (Lisensi Publik Umum GNU) yang intinya serangkaian lisensi perangkat lunak bebas yang digagas Richard Stallman.
Lisensi Publik Umum GNU tentu dalam konteks teknologi. Sedangkan lisensi publik dalam konteks kelembagaan bagi saya adalah kepercayaan publik yang harus dilaksanakan secara alamiah. Tujuannya agar masyarakat percaya dengan lembaga yang kita kelola yang itu riil berdasarkan good governance atau dalam konteks perguruan tinggi adalah good university governance (GUG).
Bagi saya, rangkuman lisensi publik dari Mbah Rohmadi ada beberapa variabel. Pertama, perlu keseriusan dari perencanaan sampai evaluasi. Dalam konteks lembaga swasta harus bisa membuktikan lebih maju dari lembaga plat merah (negeri). Sebab, lembaga negeri itu dogmatis (digedhok otomatis) jalan.
Jika ada lembaga negeri maju itu biasa bahkan wajar dan wajib, sebut saja SDN, SMPN, MAN, dan lainnya. Namun jika ada lembaga pendidikan swasta kok maju, itu baru luar biasa dan perlu diacungi empat jempol.
Kedua, lisensi publik dibuktikan dengan kinerja yang terukur dan terbukti. Artinya, sebuah lembaga pendidikan yang bermutu dilihat dari bukti riil mutunya, manajemennya, perkembangan sarprasnya. Itulah indikator lisensi publik. Tidak bisa hanya dibranding melalui media massa.
Ketiga, lisensi publik bagi saya adalah kemampuan di luar alur berpikir linier. Apa maksudnya? Kemampuan yang di luar rata-rata dalam membaca peluang dan kesempatan. Tanpa harus mengaku bisa dan kompeten mengerjakan proyek, namun secara otomatis publik melisensi kita berkompeten dalam bidang tertentu.
Keempat, lisensi publik saya bagi ke dalam dua ranah. Lisensi publik dari sisi personal dan lisensi publik secara kelembagaan. Namun, untuk mencapai lisensi publik kelembagaan tentu dimulai dari lisensi publik personal.
Rumusnya sangat sederhana. Bagi Mbah Rohmadi dapat dicapai melalui power, manuver dan pressure. Bisa jadi seperti itu. Bisa jadi juga berbeda sesuai konteks, objek, ruang dan waktu yang berbeda. Yang penting, bagi saya praktik lisensi publik yang sudah diterapkan Mbah Rohmadi dalam mengelola KBIHU Babussalam NU ini dapat diterapkan di berbagai bidang sesuai local knowlede, local genius dan local wisdom masing-masing lembaga.
Namun, praktik ini tentu berbeda dengan strategi pengembangan lembaga pendidikan saat ini. Branding tiap hari, pencitraan publik tiap waktu, namun tidak diimbangi dengan mutu dan kualitas dimulai dari input, proses, output, outcome dan impact yang jelas.
Bagi saya, lisensi publik tidak dapat diciptakan, dan itu bukan tujuan melainkan sekadar alat. Meski bagi dunia industri hal itu dapat dicitrakan, diviralkan lewat media demi lisensi publik, justru bagi saya itu adalah kamuflase dan kebohongan publik.
Mengapa demikian? Sebab, konsekuensi lisensi publik adalah kepercayaan publik. Sangat mengecewakan ketika sudah dipercaya publik tapi tidak “sumbut” dengan kinerja, mutu dan kualitas sebagaimana yang dicitrakan dan melahirkan lisensi publik buatan tersebut. Jika kita tidak memiliki kualitas dan mutu mumpuni, apakah kita logis mengejar lisensi publik?
-Penulis adalah dosen dan PJs Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan INISNU Temanggung.